sesuatu yang hilang

Ucapan selamat tidur dan selamat pagi dari pria itu mengingatkanku bahwa ada yang hilang di antara kita. Ada sesuatu yang mengganjal namun tidak teraba oleh kata. Apa? Apa? Apa? Aku terus bertanya. Sambil berjalan bergandengan tangan denganmu, sambil tertawa denganmu dan sambil tidur di sampingmu. Aku terus menerus menanyakan hal yang "hilang" itu. Hal yang membuat hari indah kita menjadi sesak di malam hari kemudian berujung pada mimpi buruk dan menyalahkan bantal atau posisi miring.
Bukan, yang salah bukan aku atau kamu. Tapi hal yang hilang itu adalah sebuah kesalahan besar. Tapi apa? Aku tidak bisa merabanya dengan kata. Berkali-kali kuucapkan padamu bahwa ada yang salah di antara kita. Ada yang tidak "beres", ada yang mengganjal seperti jakun di lehermu, tapi lebih besar, lebih sesak dari sekedar tersedak nasi di kerongkongan.
Aha, aku tahu. Sesuatu yang hilang itu terkikis karena kesibukan. Terlupa karena rutinitas yang monoton. Akhirnya menjadi suatu yang salah ketika kita berdua bersama. Aku ingin mengadu padamu tentang hal yang hilang ini. Tapi, kataku terhenti saat menatap matamu yang sayu menahan kantuk. Terhenti juga saat kamu menyandarkan kepalamu di bahuku dan memintaku membangunkanmu setengah jam lagi. Terhenti juga karena kamu begitu lahap makan dan aku tak tega mengganggu jam makanmu.
Ini Ramadhan kedua kita bersama. Dan pesan dari pria itu masih saja mengganggu pikiranku selama ini. Tentang yang hilang itu. Tentang yang harus kukatakan kepadamu meski pun perih. Tentang keegoisanku. Tentang tuntutanku. Tanpa pembelaanmu di dalamnya.
Aku merindukanmu yang dulu. Kamu yang dulu selalu bilang kapan akan tidur dan kapan akan bangun. Kamu yang selalu mengucapkan kata cinta dan sayang dan takkan berhenti sebelum aku membalasnya. Kamu yang tidak pernah mempertimbangkan setitik nila dapat merusak susu sebenggala. Kamu yang selalu bercerita tentang apa pun, bukan menyalahkanku atas segalanya. Itu yang hilang.
Saat aduanku tersirat, aku kemudian memikirkan tentangmu. Selalu dirimu. Kamu yang selalu memulai pembicaraan. Kamu yang selalu membuat inisiatif untuk bertemu denganku. Kamu juga yang selalu meminta maaf duluan. Aku terlalu egois untuk memintamu kembali seperti dirimu yang dulu. Tapi, apakah aku salah jika aku ingin kamu menghadirkan kembali sesuatu yang hilang itu?
Apakah hidup kita lebih baik ketika kita tidak bersama sesuatu yang hilang itu? Atau kita lebih bahagia dengan situasi yang seperti ini? Jujur saja, kata selamat pagi dan selamat tidur itu lebih mengena di hatiku jika kamu yang mengucapkannya.

0 komentar:

Posting Komentar