untuk tuanku...

Jam 11 siang. Aku berdiri di tempat saat kita duduk bersama, seperti DUNIA TAKKAN PERNAH MELIHAT KITA. Semuanya telah berlalu dan saat itu aku sungguh tak berharap akan bertemu denganmu.

Maafkan aku tuanku karena aku telah berani muncul dihadapanmu, seharusnya kusembunyikan tubuh hinaku ini dari pandanganmu.

Aku mendengar suaramu begitu jelas. Aku berusaha selama mungkin untuk terus memunggungimu, namun kau tetap disana, berbicara dengan suara keras seolah hatimu berteriak padaku, "Enyahlah kau dari pandanganku! Aku tidak pernah ingin melihatmu lagi."

Ampuni aku tuanku, aku sungguh tak bermaksud muncul dihadapanmu dan membuatmu begitu marah padaku.

Aku berbisik perlahan, menundukan kepalaku, berharap kau tak perlu mendengarku dan aku tak perlu mendengarmu.

Aku merendahkan pandanganku, mengagungkan namamu dan berusaha untuk menurunkan frekuensi untuk bertemu denganmu, tuanku, ada hal lain yang bisa membuatmu lebih bahagia? ataukah kau akan berbahagia saat kau juga membunuhku, tuanku ?


Aku mengingatnya dengan jelas, beberapa bulan yang lalu, kita berpapasan di jalan ini, aku menatapmu, menunggu reaksimu saat bertemu denganku, saat itu kau tersenyum padaku, seakan aku adalah kawanmu, dan saat itu aku berpikir kau menganggapku ada.

Tuanku, maafkan kesalahan dalam penafsiran tingkah lakumu, maafkan kesalahanku dalam mengartikan kata-kata yang kau ucapkan padaku. Bunuh saja aku tuanku agar semua kesalahanku dapat tertebuskan.


Aku baru saja berjalan melewatimu di jalan ini untuk kedua kalinya dan aku dengan penuh kerendahan tak akan mengangkat kepalaku di hadapanmu lagi.

Aku terlalu hina untuk menatapmu dan kau terlalu agung untuk menatapku, tuanku. Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk kebahagiaanmu, tuanku. Tuhan lebih menyayangimu dan anda juga yang telah membuatku mematahkan beberapa janjiku, maafkan aku tuanku.


Aku dulu berpikir bahwa kau mungkin adalah sebuah jawaban untukku. Penghapus rasa bersalahku. Orang yang mengajariku untuk selalu meminta maaf terlebih dahulu. Memaafkan sebelum orang itu memintanya. Dan kau juga yang menahanku disini. Ternyata aku salah.

Tuanku, aku terlalu berharap besar padamu. Ternyata kesalahanku tak termaafkan dan aku masih saja mengharapkan kau adalah sebuah hadiah untukku. Tuanku, aku merasa begitu bersalah telah berani berharap lebih padamu. Aku merasa berdosa telah mengira kau datang sebagai kawan untukku. Maafkan aku tuanku. Ternyata aku telah salah karena pelajaranmu untuk meminta maaf, kau membuatku lemah, tuanku. Ternyata aku salah untuk selalu memaafkan orang lain, kau telah membuatku seperti orang bodoh yang kehilangan jati dirinya. Ternyata kau juga salah telah membuatku tertahan disini, seharusnya aku lebih baik pergi ke negeri antah berantah, berada sendirian disana, mencari sesuatu yang tak ada, mengejar sang bintang. Aku benar tentang kesalahan-kesalahan penafsiranku. Maafkan aku tuanku... Aku benar bahwa aku adalah orang jahat, dan orang jahat akan selalu mendapatkan balasannya, berlipat ganda sakitnya dan berlipat ganda juga akibatnya. Aku juga benar bahwa aku adalah musibah terbesar dalam hidup seseorang, sebuah kesalahan, tuanku, ketika kau harus berada di sisiku, berjalan bersamaku sebagai teman dan berbicara denganku seolah kita sederajat. Maafkan aku tuanku, aku bukanlah sahabat yang merubah ulat menjadi kupu-kupu, aku adalah ular yang berganti kulit dan aku tetaplah ular.


Aku merasa bersedih, tuanku, atas kesalahan-kesalahanku untuk menganggapmu sebagai fren-ku. Maafkan kelancanganku, tuanku.

0 komentar:

Posting Komentar