nonton wayang

Waktu hari sabtu (21/4) saya nonton wayang. Itu pertama kalinya saya menyaksikan pertujukan wayang. Saya bukan orang yang bisa diajak kesana kemari dengan mudah. Proses ijin dan pengkonfrimasian kadang begitu berbelit-belit dan diperpanjang. Tapi untungnya untuk acara itu saya diperbolehkan ikut. Itu pun bukan beralasan untuk menonton, tapi jadi panitia. Sebenernya saya memang panitia dari acara pertunjukan wayang yang diadakan oleh Museum Konperensi Asia-Afrik dalam memperingati hari jadinya yang ke 57.
Saya sebenarnya tidak terlalu fasih berbahasa Sunda, terlebih lagi wayang yang ditampilkan itu menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantarnya. Dalang dari pertunjukan wayang itu adalah Apep Sunandar Sunarya yang membawakan cerita Arjuna Wiwaha. Tapi sedikit-sedikit, saya mengerti jalan cerita dan dialognya karena saya memang pernah membaca cerita tentang Pandawa 5 dan para Kurawa yang memperebutkan kerajaan Astina.
Ada beberapa alasan mengapa saya tidak menyukai cara hidup dari lakon wayang itu, karena menurut saya raja dan ratu dalam cerita itu seperti sinetron di salah satu stasiun tv yang menayangkan sinetron yang alurnya bolak-balik dari jam 6 sampai jam 10 malam. Ada perselingkuhan, pertukaran anak, anak pungut, mengangkat anak, anaknya yang tertinggal, ah macam-macam saja dan semuanya tertebak. Tapi karena wayang adalah sesuatu yang berbeda, maka meskipun saya tidak menyukai alur ceritanya, saya tetap menontonnya.
Saya sangat menyukai pagelaran seni. Dulu waktu saya SMP, saya pernah ikut andil dalam sebuah pagelaran seni. Saya bermain seni peran dalam sebuah drama musikal (kabaret) bersama teman-teman saya. Waktu SMP dulu, saya menonjol di bidang kesenian, mulai dari memainkan alat musik, berpuisi, melukis, memahat, menggambar, membuat sketsa dan lain-lain. Saya dulu sempat berpikir untuk masuk STSI dan masuk jurusan seni lukis atau teater karena waktu SMA saya pernah masuk ekskul teater dan saya suka. Tapi Ayah saya menolak mentah-mentah ide itu.
Kalau Ayah saya menolak sekarang, saya bisa memberikan banyak alasan hingga beliau bisa merestui. Sayangnya itu terjadi dulu, saat saya tidak punya banyak pengetahuan untuk menentang kuasa orangtua. Hahaha. Jadilah saya mengurungkan niat saya untuk masuk jurusan kesenian. Seperti sebuah laknat, Ayah saya memang tidak menginginkan saya menjadi seorang seniman, apa pun yang terjadi.
Di kuliahan, selama kuliah saya memendam perasaan saya yang ingin ikut UKM teater. Saya terlalu takut untuk ikut teater secara backstreet. Saya menganggap melanggar aturan yang dibuat di rumah meski pun Ayah saya tidak tahu adalah sebuah dosa.
Di semester 6, saya berpacaran dengan seorang pria yang ternyata dia adalah salah satu dari pendiri teater di kampusku. Usianya terpaut 5 tahun dariku. Namanya Ang Furkon. Dia seperti mengasah keinginanku untuk ikut teater. Dia mengajakku menonton latihan anak-anak teater di STSI, mengenalkanku pada teman-temannya hingga seluruh temannya mengenalku.
Saat saya sedang naik gunung ke Manglayang bersamanya, saya mengajaknya untuk masuk sekolah teater atau seni setelah lulus dari kampus. Dia menyetujui usulku. Kemudian saya mulai merancang jalan keluar agar saya bisa sekolah di sekolah kesenian tanpa Ayah saya tahu. Tapi kemudian saya sadar bahwa berkhianat pada Ayah saya adalah dosa besar, meski pun baru dalam taraf niat. Saya kembali ke jalan saya. Tapi karena saya suka dengan kesenian, Ang Furkon terus mengajak saya pergi ke pagelaran teater.
Saya suka tari-tarian tradisional. Sayangnya di kampus saya, UKM tarian tradisional dimasukkan dalam UKM Pramuka. Dari dulu saya tidak suka dengan organisasi yang cadu mandi itu.
Sekarang, setelah saya semester delapan. Saya kemudian sadar bahwa yang saya butuhkan bukan sekolah di bidang seni. Saya pandai melukis, pandai menggambar, bisa bermain seni peran, bisa bermain alat musik, suka dengan tari-tarian. Tapi itu hanya sebagai sampingan saja. Selebihnya saya hidup di dunia nyata, di mana ketika perut saya lapar, maka saya harus punya uang untuk membeli makanan. Dan uang itu tidak sekonyong-konyong muncul dari lipatan-lipatan dompet. Uang itu harus diusahakan keberadaannya.
Sambil menonton pagelaran wayang di Museum kemarin, saya memikirkan Ang Furkon dan semua rencana yang dulu saya dan dia pernah pikirkan. Ang Furkon dulu masih labil, begitu juga saya. Apa yang kami pikirkan adalah bagaimana menggapai hal-hal yang tidak bisa kami gapai sendirian. Tapi sekarang, Ang Furkon mengajariku bagaimana cara menggapai hal-hal yang menghasilkan kehidupan lebih baik dan bagaimana caranya untuk hidup bersama selamanya.
Saya pun berterimakasih pada Ayah saya, mungkin jika saya menuruti keinginan saya menjadi seorang seniman, saya tidak akan pernah bertemu dengan Ang Furkon dan kehidupan yang seperti ini. Ketidakmampuan saya untuk menolak titah Ayah saya mengajarkan saya untuk tidak berkhianat. Tidak dalam hati pun pikiran.
Sambil menonton wayang, Ang Furkon menanyakan tentang kesetiaan saya padanya. Seperti pada Ayah saya, memikirkan untuk mengkhianatinya saja bagi saya itu sudah termasuk dosa. Saya tidak mau berkonflik dengan para kurawa seperti kehidupan wayang. Saya mungkin terlihat brutal, tapi selama saya hidup, tak pernah sedikit pun saya melakukan hal yang jelas menjadi haram.
Terimakasih juga, Ang Furkon. Kamu mengajari saya banyak hal yang tidak pernah saya tahu sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar