Saya dulu merasa punya organisasi non formal yang kemudian semua orang di dalamnya saya sebut keluarga. Rasanya memang seperti keluarga, saya punya seorang pria dan wanita yang saya sebut ayah dan bunda. Lalu saya punya dua saudara.
Ya, dulu. Semuanya berhenti di kata dulu. Berbeda dari sekarang. Sekarang yang saya panggil keluarga itu tak lagi harmonis dan menentramkan hati saya. Saya justru mereka membakar perasaan saya dan saya merasa bahwa saya harus pergi menjauh.
Saya seperti kawin lari dengan pacar saya dari keluarga itu karena pernikahan kami tidak disetujui oleh orangtuaku dan orangtuanya dalam organisasi non formal itu.
Lalu saya membangun keluarga saya sendiri bersama pacar saya. Kami berdua menolak memiliki anak dalam keluarga baru itu, kami hanya akan memiliki anak dalam kehidupan nyata. Saat saya dan pacar saya menikah dan tercatat di catatan sipil.
Ada banyak kerinduan pada keluarga saya yang dulu. Mereka yang banyak menemani saya. Merubah saya yang begitu rapuh menjadi terlapisi baja. Mencairkan es dalam hati saya. Tapi, sekaligus membakar diri saya dalam situasi sulit di mana kanan mentok dan kiri mentok.
Mereka membuat saya sedikit berpikir bahwa mereka boleh berganti pacar berkali-kali, tapi saya yang baru sekali ini punya pacar itu tidak boleh.
Perasaan konyol muncul saat saya berada di dekat keluarga yang saya bangun. Mereka tidak pernah mempedulikan hal-hal yang pernah saya lakukan, bahkan yang akan saya lakukan pun mereka tak peduli. Hal yang dibicarakan adalah bagaimana caranya perut terisi meskipun dengan nasi liwet dan sepotong ikan asin murah.
Saya pun terbawa. Saat bersama mereka, saya lupa bahwa saya adalah orang baru yang di bawa masuk ke kehidupan mereka oleh pacar saya. Saya seolah memiliki mereka juga seperti saya sudah mengenal mereka sejak lama. Tak ada lagi kata canggung.
Saya merasa tidak perlu main tewak curuk untuk jujur karena mereka lebih tahu mana yang merupakan kejujuran dan mana yang merupakan kepalsuan yang dibalut dengan senyuman manis.
Duduk di terasnya dan berbicara tentang pacar saya membuat seolah saya sedang menunggu pacar saya yang sedang membeli rokok ke warung. Lamat-lamat saya lupa bahwa pacar saya bukan sedang membeli rokok, dia belum akan pulang sore ini, mungkin sore besok dan besoknya pun belum.
"Kangen pisan ka si Aang." Kata mereka hampir bersamaan. Aku hanya bisa tersenyum menghibur. "Kapan sih budak eta pulang?"
"Sebentar lagi."
"Kangen pisan euy urang mah ka si Aang teh. Kamu juga nya? Sigana teh kangen na geus ka ubun-ubun."
Lebih. Lebih dari sekedar ubun-ubun. Pria yang biasanya selalu mengantar jemput, mengajakku bicara, mengajakku jalan-jalan, makan baso dan yang paling sering memohon agar aku mau bertemu dengannya di jeda kuliahku. Huuuhhh... Ada kekonyolan yang kurasakan, lebih dari sekedar kangen.
"Geura balik, Ang, abdi sono." Bisikku di telepon saat dia meneleponku sore tadi.
0 komentar:
Posting Komentar