ipeka


Semester ini adalah pertama kalinya aku menganggur hampir lima bulan lebih. Bagaimana tidak, aku sudah semester 8, semester akhir. Tak ada mata kuliah yang mengulang atau harus mengambil ke bawah. Prestasiku di kuliahan memang tidak begitu baik. Tidak pernah masuk rangking karena di kuliahan memang tidak ada sistem rangking. Tapi aku cukup puas dengan IPK-ku yang tidak pernah kurang dari 3,00.
Rasanya mungkin baru saat kuliah ini aku merasa telah membanggakan orangtuaku. Yah, meskipun hanya masuk universitas yang menurutku biasa saja. Rivalku di kampus pun tidak terlalu banyak, itu tidak berarti tidak banyak orang pintar di kampusku, tapi di dunia kemahasiswaan, hanya orang idiot yang mempermasalahkan IPK. Well, come on guys! IPK aja jadi masalah? Childish. Tapi herannya justru semakin banyak orang yang mempermasalahkan IPK. Aku sendiri tidak suka menyebut-nyebut IPK-ku di depan orang-orang kecuali pada orangtua, keluarga besarku yang seringkali memandang rendah aku dan teman-teman yang sangat dekat. Aku bahkan tidak pernah menyebutkan IPK-ku di depan pacarku, padahal aku sering bercerita tentang segala hal yang terjadi di kampusku padanya. Pokoknya aku punya aturan sendiri, menyebut IPK itu haram. Sama haramnya seperti berzinah. Karena dari IPK, semua masalah bisa terjadi. Memfitnah, adu domba, merampok bahkan membunuh.

Aku, adalah saksi nyata efek dari membicaran IPK. Sebenarnya bukan aku yang menyebut-nyebut IPK, karena seperti yang sudah kubilang aku anti mengumbar-umbar nilai IPK. Bagiku, nilai IPK itu seperti mendapatkan pasangan yang sudah dinikmati ribuan orang dan aku tahu akan ada ribuan orang lagi yang akan menikmatinya.
Difitnah, diadu domba, dirampok kebebasan, bahkan dibunuh eksistensiku. Aku pernah merasakan semua itu. You know what, kalo kamu gak cukup tangguh untuk hidup, jangan pernah mengumbar nilai IPK di depan para idiot mahasiswa.
Setelah mengalami berbagai efek dari IPK itu, saya mulai menyendiri. Malas rasanya harus bergaul dengan manusia yang otaknya kerdil. Aku tidak sedang menghina seseorang dengan tinggi tubuh yang kurang, tapi maksudku otaknya. Aku juga tidak sedang menghina seseorang yang mengidap sindrom down. Manusia yang kubilang berotak kerdil adalah jenis manusia yang berproporsi tubuh normal, memiliki cakrawala dan pengetahuan yang luas, memiliki volume otak yang normal meskipun tidak sebodoh Einstein. Tapi sayangnya mereka tidak memiliki perasaan tenggang rasa. Tapi mereka tidak tuna rasa. Toh mereka masih mengupdate status sedih jika mereka diputuskan oleh pacarnya.
Yah, seperti itulah manusia dengan otak kerdil. Jangan sekali-kali bicara dengan manusia macam itu. Apalagi tentang filsafat, apalagi tentang agama. Mereka menolak untuk direkonstruksi cara berpikirnya, karena ketidakmampuan mereka mencerna bagaimana cara berpikir. Mereka pun menolak untuk diteguhkan imannya karena mereka merasa bahwa mereka sudah menjadi manusia yang paling benar padahal nonsense.

Kadang, sesekali dalam hidupku. Aku merasa bahwa aku pun berotak kerdil. Tapi aku segera bangkit dan membuka jendela kepalaku lebar-lebar. Meskipun aku tidak menyukai salah satu konsep, aku tidak langsung menjudge bahwa sesuatu itu salah dan aku benar. Tentunya aku sudah belajar filsafat. Hahaha... Aku patut berbangga untuk hal itu. Jadi, aku mendengarkan, mencari fakta, mencari jalan tengah dan aku menarik kesimpulan untuk diriku sendiri.
Tidak mudah memang untuk menjadi manusia yang tidak berotak kerdil. Tapi, kadang dengan membuka jendela otak, mendengarkan dan lebih banyak diam lebih berguna dari pada terus berdebat dan memperlihatkan ketololanmu.
Istilah otak kerdil pun aku dapat dari salah satu temanku, namanya Teh Unyil. Aku tidak tahu nama aslinya. Tapi tulisannya dan komentarnya di setiap tulisanku membuatku mengartikan sendiri apa yang dimaksud dengan berotak kerdil.

Jalan hidup orang-orang memang berbeda. Aku, lebih memilih menyendiri namun tetap dengan keramahan. Ada juga yang memilih untuk ramah namun berotak primitif kerdil. Aku pun suka berada di atas panggung dan menjadi bintang, tapi aku tidak bisa melihat langit dan tanahku jika aku berada di tempat seperti itu. Jadi aku lebih suka di bangku penonton atau di balik layar.
Ya seperti Tuhan saja, rasanya jika aku banyak diam dan memperhatikan. Aku merasa Tuhan dekat denganku dan kebijaksanaannya seolah meluncur melalui otakku. Tahu tidak, Tuhan-ku adalah Tuhan yang asyik yang tidak pernah meninggalkanku hingga aku harus berteriak atau menangis memanggilnya. Dia mendengar apa yang tidak kuucapkan.
Begitu juga masalah IPK. Dia tunjukan siapa yang salah dan siapa yang benar melalui diamku. Hohoho... Aku ingin sekali bertemu Tuhan, menjabat tangannya dan mengucapkan banyak terimakasih.

Terimakasih, Tuhan...

25 April 2012 

0 komentar:

Posting Komentar