Hari ini, ada kejadian yang membahagiakan perasaanku. Rasanya aku kembali hidup dan bersemangat lagi untuk melakukan banyak hal yang kreatif. Kemarin-kemarin, aku sempat berpikir bahwa aku tak jauh beda dari mahasiswa Tarbiyah (baca: jurusan pendidikan di kampusku—red) pada umumnya. Tak pernah bolos kuliah, lulus cumlaude dan kemudian menjadi pengangguran sambil menunggu pendaftaran CPNS. Malam kemarin, aku meng-update status twitter-ku dengan bilang, “Tidak cocok berada di dekat manusia yang normal!”, padahal aku sendiri sedang memikirkan apa yang kumaksud dengan manusia normal.
Nah, hari ini adalah hari yang membuatku menjadi hidup kembali, seolah membuang cangkang kenormalanku sebagai manusia. Bayangkan saja ini seperti salah satu iklan rokok di TV yang menyebutkan, “Orang lain sandiwara, gue apa adanya.”
Sandiwara menjadi manusia normal perlahan menjadi gaya hidupku. Aku sadar aku berubah. aku sadar bahwa pemikiranku tidak se-radikal dulu. Aku tak lagi suka merajuk pada Tuhan dan memaki-Nya. Hehehe, meski sesekali kadang aku lupa dan masih melakukannya.
Today, aku bertemu dengan teman backpacker-ku, Nabilla. Hari ini aku ikut menjadi relawan di Museum Konperensi Asia-Afrika. Tak sengaja, mataku menangkap sosok wanita dengan kerudung berwarna hijau tai kuda yang ke-autisan-nya saat sedang diam terdeteksi sebagai temanku. Aku mengiriminya pesan untuk memastikan bahwa dialah si Nabilla. Ternyata benar, dia adalah Nabilla.
Nabilla kemudian mendekatiku sambil cipika-cipiki. Karena terbiasa menjadi manusia normal, aku pun langsung reflek membalasnya, padahal dalam keadaan biasa, aku paling jarang ber-cipika-cipiki dengan orang yang sangat kukenal dekat.
Bebek, begitu aku memanggilnya, bertanya mengapa aku tak lagi suka berkongkow di kampus atau sekedar ninyuh kopi dan membicarakan cerpen basi yang banyak bualannya. Aku hanya tertawa sambil menjawab bahwa jika aku selesai mengerjakan BAB 3, maka aku akan kembali seperti dulu lagi. Bebek tertawa renyah dan bilang, “Ah, geuleuh pisan!”
Bebek adalah perempuan yang aku anggap sebagai saudaraku. Entah mengapa aku selalu senang untuk bercerita panjang lebar padanya. Aku ingat dulu saat aku sedang backpacker dengannya, dia menyadarkanku saat aku sedang sangat jatuh cinta pada sosok Furkon. Dia menyadarkanku dengan kalimat-kalimat simpelnya yang bilang, “Aku gak nyangka da, Teh eL bisa kayak gitu.”
Otakku berputar jika diberi stimulus perangsang agar aku introspeksi diri. Aku mengerti apa maksud Bebek, aku pun teringat kata-kata Furkon dulu, Furkon pernah bilang, “Kita punya tujuan hidup. Itu harus kita capai. Entah bersama atau masing-masing.”
Tujuanku yang awalnya blur karena ketiban lope pada Furkon kemudian mengerucut dan jelas kembali. Aku kembali ingat segala hal yang ingin kugapai dalam hidup ini dan aku kembali ingat, mana tanah yang kupijak dan langit yang menaungiku. Dalam hati ini, Bebek bukan adik kelas yang hanya tahu caranya mendebat A Apuy, tapi bagiku, Bebek seperti partner.
Bebek adalah satu dari sekian banyak orang yang kuanggap sebagai guru dalam hidupku. Ada pula Nezar, entah Nezar dan yang lain sadar atau tidak, ketika aku bertemu dengan mereka, aku selalu memanggil mereka dengan suara lantang dan tertawa. Ya, aku bersumpah di perut ini ada makhluk yang menggelepar bahagia dan perlahan keluar saat aku tertawa. Aku bahagia saat bertemu dengan mereka.
Seperti Bebek, Nezar pun banyak mengajariku tentang segala hal. Aku tak tahu apakah Bebek atau pun Nezar merasakan hal yang sama denganku atau tidak, tapi aku merasa nyaman berada di dekat mereka.
Pertemuanku dengan Bebek hari ini membuatku kembali teringat bahwa ada sensasi yang aku lupakan setelah lama berjauhan dari Furkon. “Bek, kata siapa aku tahan untuk tidak bertemu Furkon? Aku pun rasanya mau mati. Apalagi sekarang sudah empat bulan. Tapi... aku tahu, Furkon lebih tersiksa lagi jika aku memperlihatkan betapa merananya aku tanpanya.” Itulah kata-kata yang ingin kuucapkan pada Bebek pagi tadi, sayangnya di Museum tadi terlalu banyak orang dan aku tak mau dianggap wanita tukang gombal.
Bebek mengingatkanku untuk menjadi berani. Jadi aku memilih acara Pagelaran Wayang dari jam 8 malam sampai jam 4 pagi. Bukan karena sok berani, aku sebenarnya suka teater, aku suka seni bermain peran, sayangnya ada satu dan lain hal yang membuatku justru bersandiwara menjadi manusia normal berdasi dan bersepatu pentopel.
Di penghujung hari ini, tepat jam 11 malam, aku teringat banyak hal tentang teman-temanku, guru-guruku. Aku pun ingat mengapa aku mencantumkan Bebek, Nezar, Purwa dan yang lain sebagai saudaraku di Facebook. Sebenarnya aku ingin mencantumkan mereka di daftar orang yang menginspirasiku, sayangnya tidak bisa. Padahal mereka adalah orang-orang yang membuatku banyak terinspirasi.
Aku merindukan obrolan canggungku dengan Nezar dan menikmati kegiatan Nezar merokok yang santai itu. Aku merindukan jalan jauh bersama Purwa sambil saling melempar puisi. Aku merindukan diberi pencerahan oleh Bebek di Jogja yang panas. Dan aku merindukan lebih banyak lagi di dunia ini.
Aku memang lebih tua dari Bebek, tapi aku tak menganggapnya remeh. Dia, Nezar, Purwa, adalah guru yang baik. Menuntun muridnya yang bodoh dan sering terjatuh dalam meniti jalan kehidupan ini dengan sabar. Hahahaha... begitulah aku mendeskripsikan diriku.
Mungkin hanya aku yang merasakan bahwa aku senang berada di dekat mereka. Tapi tak apa-apa, kalau mereka tidak suka pun mereka bisa menjauh perlahan, lalu kurangkul lagi, begitu terus pun tetap tak apa.
Aku dalam proses belajar bahwa jika aku terlalu banyak menulis, maka semua perasaanku takkan lebih sebagai bualan semata. Dan aku bukan seorang pembual yang sedang membual. Aku sedang menerjemahkan rasa bahagiaku.
Rasa bahagia yang sama saat aku bertemu dengan Furkon dan dia menjemputku di kampus saat aku selesai kuliah, padahal dia baru saja mengantarkanku ke kampus. Rasa bahagia, jatuh cinta berulang-ulang.
8 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar