Hai yang di sana. Aku berani menyebut namamu dengan lantang di setiap pembicaraan, puisi dan laguku karena aku tahu kau adalah milikku. Hari ini hari Sabtu. Sungguh dua minggu ke belakang adalah hari yang paling melelahkan bagiku. Bayangkan saja, saking inginnya aku segera lulus, aku menyegerakan mengerjakan BAB 1, 2 dan sekaligus instrumen penelitian. Itu demi kamu, Furkon.
Aku merindukanmu. Rasanya kalau tidak ingat ada sidang komprehensif bulan depan dan aku harus menyelesaikan bimbingan BAB 1-3 ku, aku pasti sudah berangkat ke sana menghampirimu meskipun hanya untuk bertegur sapa.
Apakah kau sehat di sana, kekasihku? Aku benar-benar dimabuk kerinduan di sini. Jerawat demi jerawat muncul tanda ketidakstabilan hormonku yang merindukanmu. Aku rindu sensasi hormon kebahagiaan di tubuhku saat kau duduk di sampingku.
Setiap kali aku menyandarkan kepalaku di bantal dan berpikir untuk malas-malasan. Tiba-tiba saja sosok wajahmu muncul di kepalaku. Semakin aku mencoba menghapusnya, semakin kuat juga wajahmu terbayang. Aku pun jadi teringat obrolan kita dulu. Kau dulu bilang bahwa kau sedang bekerja untuk masa depanmu bersamaku. Seketika aku diliputi rasa malu. Bayangkan saja, kau mati-matian mencari uang untuk menyegerakan niat ibadah kita, sedangkan aku justru santai sambil bermalas-malasan. Menulis ini pun adalah hal yang paling buang-buang waktu. Aku tidak perlu menulis panjang lebar agar kau tahu bahwa aku begitu mencintai dan merindukanmu. Untuk membuka facebook saja susah, sekalipun kau membukanya, itu hanya untuk melihat apakah aku menulis sesuatu untukmu. Dan tulisan ini adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan tulisan yang sudah kubuat dan takkan pernah kau baca.
Ya, kau benar, aku tidak perlu menjadi penulis, filsuf atau pun seorang sineas untuk dicintai olehmu. Karena aku pun mencintaimu bukan karena kau tidak bisa menulis, kau suka berfilsafat dan karena kau seorang sineas muda berbakat.
Ingin sekali rasanya aku mengirimkan kata demi kata ini dalam sebuah surat yang dilabeli kecupanku tepat untuk hatimu. Setiap hari. Selalu. Tapi aku tahu, tanpa itu pun aku sudah mengecup hatimu berkali-kali, setiap hari dan selalu.
Hey, pria dengan rambut gondrong yang cantik parasnya. Aku merindukanmu. Aku tahu, semakin banyak menulis, orang-orang akan menilaiku bahwa aku semakin membual. Aku tidak pernah membual ketika dulu kuucapkan aku (belum) mencintaimu dan aku (sudah) mencintaimu. Karena sekarang, aku sedang dan selalu berusaha untuk terus mencintaimu.
Kau bukan tipe pria yang suka diberi puisi gombal. Meskipun kau sering memberikan puisi-puisi yang kutahu bahwa puisi itu hasil jerih payah mencari katamu hingga berbulan-bulan. Terimakasih.
Semoga suratku mengecup hatimu lagi, kekasihku, kikindeuwan-ku...
0 komentar:
Posting Komentar