Surat dari Arya


                Aku masuk ke sebuah kelas bernama XI IPA 2. Aku terus berdoa semoga hari ini aku bisa mencerdaskan siswa-siswi terbaik bangsa, bukan menjerumuskan mereka. Aku juga berdoa agar aku bisa mengajar dan tetap tersenyum manis pada para siswa.
                Aku mengucapkan salam saat langkah kakiku pertama masuk. Rasanya jarak pintu dengan meja guru begitu jauh sekali. Nafasku yang berpacu dengan waktu dan detak jantungku membuat adrenalinku semakin meningkat. Aku semakin nerveous.
                Seperti biasa, hal yang selalu kulupakan adalah mengabsen, tapi tidak kali ini. Kuabsen satu persatu siswa dengan santai dan tetap untuk tidak lupa tersenyum.
                “Arya Pandu?”
                “Saya Bu.” Sahut seorang anak lelaki yang duduk di bangku belakang. Bajunya sengaja dia keluarkan dari celananya. Mukanya kusut dan saat menyahut, dia sedang menggaruk kepalanya sehingga rambutnya tambah terlihat acak-acakan.
                Pertemuan pertamaku dengan kelas IPA 2 itu begitu berkesan, bagiku. Pasalnya aku baru merasakan mengajar di SMA, di dalam kelas dan bersama seorang guru pamong. Waktu aku PPL, aku hanya sekali ditunggui oleh guru pamong, lalu pertemuan selanjutnya dibiarkan hingga akhirnya ujian. Dan waktu itu siswa SMP yang kuajar, belum pernah aku mengajar siswa SMA.
                Di pertemuan kedua, siswa bernama Arya Pandu memasukkan makanan ke dalam mulutnya saat aku sedang menerangkan tentang fungsi dan struktur dari alat ekskresi. Aku memperhatikan anak itu terus menerus. Dia dengan lihai terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya saat mataku berpaling darinya.
                Hampir 20 menit dia memakan makanannya. Aku kemudian berpikir untuk menghukumnya agar dia jera. Sempat terpikir untuk mengeluarkannya dari kelas, tapi aku ingat, aku bukan guru Biologinya yang asli, bisa saja dia mengadu pada guru pamongku dan penelitianku di sekolah ini dibatalkan. Aku cepat cari cara lain agar bisa membuat Arya jera.
                Aku kemudian berpikir untuk menegurnya langsung. Tapi sepertinya Arya punya andil yang cukup besar di kelas ini. Mood di kelas naik ketika Arya yang aktif, lalu turun ketika Arya diam. Keberadaan Arya di kelas ini adalah kunci.
                “Arya Pandu?”
                “Saya Pandu, Bu.”
                “Kamu sama temen sebangku kamu, coba ke depan dan bawa soal di buku.” Kataku. Teman sebangkunya yang bernama Fadlan dengan cepat berjalan ke depan dengan membawa buku. Arya masih sibuk merapikan bajunya.
                Setelah berdiri di depan kelas, aku meminta Fadlan membacakan soal dan membiarkan Arya yang memberikan jawaban beserta alasan dari jawabannya. Benar saja, mood siswa lain untuk belajar bertambah besar saat Arya ke depan dan menjelaskan dengan jawaban, “Saya tau jawabannya, Bu, tapi saya gak tau alesannya kenapa.”
                Tawa meledak di kelas setiap kali Arya kebingungan menjawab pertanyaan dari Fadlan. Sedikit demi sedikit, aku memandunya untuk mengingat materi yang sudah kuajarkan. Aku bisa melihat di balik tubuh yang dekil dan lusuh itu, Arya punya otak yang cerdas. Terbukti dengan jawabannya yang hampir semua benar tapi tidak beralasan.
                Setelah hampir sepuluh soal dijawab, aku mempersilakan Arya dan Fadlan duduk. Aku bisa melihat Arya menghapus keringat di keningnya saat dia kembali duduk di kursinya. Lalu aku mulai menjelaskan mengapa aku menyuruh Arya ke depan. Kubilang bahwa makan di kelas adalah hal yang tidak sopan untuk dilakukan, apalagi ketika ada guru yang sedang mengajar. Aku memberi dispensasi untuk minum, tapi tidak untuk makan.
                Hari ini adalah hari terakhir aku mengajar di kelas Arya. Aku memberikan soal post-test, lembar angket dan meminta siswa mengkritik cara mengajarku dan segala hal yang ada sangkut pautnya dengan pembelajaranku.
                Aku membaca satu persatu sambil tersenyum senang. Rasanya meskipun kritik itu seolah menjustifikasi ketidakadilan padaku, aku bisa menerimanya dengan lapang dada. Ada sebuah surat yang membuatku tertawa.
                “Ibu sangat jeli. Guru saya sendiri pun belum pernah melihat atau mengetahui saya makan di kelas. Tapi Ibu Lukita tau. Hebat! Saya InsyaAllah akan berubah.”
                Aku tahu siapa penulis dari surat itu. Aku kemudian berpikir, andai saja waktu itu aku tidak mensiasati untuk membuat Arya jera. Mungkin dia akan menulis bahwa dia membenciku karena mempermalukannya di depan teman-temannya.
                Aku pun akan berubah, Arya. Banyak mendengarkan kritik dan saran yang kalian berikan. Terimakasih untuk doa, dukungan, kritik dan sarannya. Hidup Adiparo!

0 komentar:

Posting Komentar