filsafat sains

Waktu pertama kali masuk komunitas, yang saya pilih cuma kelas kajian. Tujuannya? Mempermudah pemahaman saya tentang filsafat, yang kebetulan mata kuliahnya ada di semester itu. Jadi saya paling rajin ikut kelas kajian. Kelas kajian itu udah kayak mata kuliah tambahan yang harus saya ambil tiap hari jumat sore.
Padahal tiap jumat sore itu saya praktikum sampe jam 4 sore, udah cape, otak udah gak bisa diajak konsen, laper pula. Tapi tetep maksain ikut, karena dianggap kuliah tambahan itu. Kalo orang lain ikut kelas kajian gara-gara mau ngeceng si kakak ganteng (pacar saya), saya mah boro-boro. Ya tau sih si kakak ganteng itu suka sama saya (bangga), tapi gak saya tanggepin.
Pas mata kuliah filsafat dan saya harus presentasi tentang David Hume, eh abis dong dimarahin sama si dosennya. Haha. Pasalnya, meskipun udah ngikut kelas tambahan, tetep aja saya tuh gak begitu ngerti sama "kemauan" dari para filsuf. Nah kalo misalnya masalah ke-biologi-an kan jelas, mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang bersifat benda. Tapi kalo filsafat itu kan ke proses berpikir. Terus apa bedanya David Hume sama John Locke?
Hahaha. Meskipun saya ini bodoh dan gak ngerti-ngerti juga tentang kerangka berpikir, tapi akhirnya dapet nilai A di mata kuliah filsafatnya. Bahkan pas ujian akhir semester yang lisan, saya itu yang paling banyak ngejawab dari pada temen-temen sekelompok saya yang lain.
Belajar filsafat engga bikin saya ngerti tentang sejarah dan metode dari para tokohnya. Tapi mengubah saya secara permanen. Saya ngerasa punya banyak alesan buat memprotes segala hal yang ada di sekitar saya. Saya ngerasa punya patok sendiri. Dan patok saya itu si kakak ganteng, eh salah, maksud saya si David Hume.
Ini adalah rangkuman hasil belajar saya selama satu semester sama bapak dosen saya. Dosen filsafat saya yang satu ini jadi dosen favorit saya, soalnya cara ngajarnya enak. Kalo ngedengerin dia lagi ngejelasin, rasanya otak yang ditindih sama benang kusut dari bacaan di buku itu langsung dapet pencerahan dan ngerti semua. Haha, gaya.
Yang saya tulis di bawah ini itu berdasarkan pemahaman saya selama belajar filsafat. Banyak benernya, tapi gak harus selalu bener juga. Kalo mau bener ya baca sendiri bukunya. Ini cuma rangkuman biasa, merinci pengetahuan yang saya dapet karena udah dapet nilai A, masa ilmunya gak dibagi-bagi? Haha.

Francis Bacon bermetode induktif, teori kebenarannya bersifat fakta, subjek dari penelitiannya adalah ilmuwan yang objektif. Objeknya adalah fakta, bukan sains. Pandangannya tentang agama, Bacon memisahkan antara agama dengan sains. Menurut Bacon juga, hipotesa itu tidak penting.

Rene Descartes bermetode deduktif, teori kebenarannya berasal dari sesuatu yang inderawi atau bisa dirasakan. Subjeknya adalah manusia dan hewan. Objeknya adalah materi yang tidak pasti dan kesadaran yang pasti. Agama diragukan oleh Descartes, sehingga agama menjadi menjadi sesuatu yang kritis dan berkembang. Kata-kata paling booming dari Descartes itu adalah cognito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Inilah kenapa objeknya adalah kesadaran, karena yang berpikir itu yang sadar.
Oh ya, jangan juga berpikir Descartes itu tokoh yang atheis, saya disemprot sama dosen filsafat saya gara-gara nyangka Descartes itu atheis. Descartes itu gak atheis, dia meragukan untuk memajukan agamanya. Begitu temans. Haha.

John Locke bermetode sensasi dan refleksi. Teori kebenarannya bersifat empiris (berdasarkan kebenaran). Objeknya adalah materi dan gagasan. Menurut Locke, agama kristen adalah agama yang paling masuk akal. Menurut Locke juga, batasan sains itu ada pada keraguan.
Nah, hal yang saya pelajari dari filsafat itu salah satunya adalah tentang ke-aku-an dan ke-kamu-an. Maksudnya, pendapat para filsuf itu bukan pendapat saya, begitu juga pendapat saya. Saya juga harus bisa membedakan mana yang pemikiran saya dan pemikiran orang lain. Mana yang menjadi hasrat saya dan menjadi hasrat orang lain. Bahasa kerennya, jangan ikut campur urusan orang lain. Haha. Jadi, ketika Locke bilang agamanya adalah agama yang paling masuk akal, keun weh atuh, da itu mah kata Locke, bukan kata saya. Begitu temans.
Sebenernya saya itu sok-kritis, jadi pengennya  nanya, terus apa bedanya keraguan-nya Locke sama teori probabilitasnya Hume?

David Hume bermetode induktif. Teori kebenarannya bersifat probabilitas. Subjeknya tersubordinasi. Objeknya adalah pengalaman. Dalam urusan agama, Hume itu adalah seorang penganut kristen yang taat. Menurut Hume, pengetahuan itu hanya pada tahap probabilitas.
Nah meski pun dalam beberapa buku dideskripsiin Hume sebagai orang yang sangat kritis pada agama, tapi tidak berarti Hume adalah seorang atheis. Sama kayak Descartes. Kritis tapi tidak atheis. Haha. Menurut Hume, matahari terbenam di barat itu cuma dalam taraf kemungkinan saja, mungkin saja matahari terbenam di timur kalau hari akhir nanti. Jadi segala hal itu dalam taraf kemungkinan. Mungkin bla. Mungkin bla. Mungkin bla.

Immanuel Kant bermetode sintesa apriori. Subjeknya setara. Tuhan menurut Kant adalah pengetahuan yang murni dan tidak bisa dialami.
Kalo ngejelasin Kant, rada lieur oge, pasalnya si Kant ini punya dua macam sintesa, yang satu namanya sintesa priori, yang satunya apriori. Maksud sintesa di sini itu adalah pengetahuan. Menurut Kant, pengetahuan itu ada yang murni (Tuhan) yang tidak berasal dari pengalaman, ada juga yang berasal dari pengalaman. Kant punya beberapa prinsip priori, silahkan dibaca dan dicari sendiri. Haha.

August Comte adalah seorang positivistik. Teori kebenaran menurut Comte adalah benar segala sesuatu yang telah diuji coba dan diverifikasi. Subjeknya jelas manusia. Objeknya adalah fakta. Comte penganut humanitas. Ilmu yang dikembangkan oleh Comte adalah sosiologi.
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap-tiap manusia, tiap-tiap ilmu dan suku bangsa melalui tiga tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif. Comte mengenal hukum 3 tahap, yang pertama adalah logika, hipotetiko dan verifikasi.
Selebihnya tentang si Comte ini kurang begitu saya ngerti, soalnya Comte itu bukan dari aliran sains, tapi aliran sosio. Begitu temans.

Alfred Jules Ayer bermetode verifikasi. Teori kebenarannya adalah segala sesuatu yang diverifikasi. Subjeknya manusia. Objeknya adalah premis atau pernyataan-pernyataan. Ayer dikenal dengan tes veritifkasinya.
Tes verifikasi adalah pengujian kebenaran sains yang mencakup pengujian analisa kalimat, bahasa, moskular dan hukum. Syaratnya : apa teori tadi bisa diobservasi? bagaimana cara mengobservasinya?
Nah, kalau syarat tadi sudah dipenuhi, maka teori itu disebut ilmiah. Tapi ilmiah itu tidak selalu benar.
Menurut Ayer, tentang teori kebenarannya (verifikasi), benar atau salah itu tidak penting, yang penting itu apakah bisa diobservasi dan ada cara mengobservasinya alias relatif.
Contoh yang bisa diverifikasi : Bandung adalah ibukota Indonesia. Apa bisa diobservasi? Bisa, bandung itu tinggal diliat di peta. Bagaimana observasinya? Bisa tanya orang atau bisa liat buku. Begitu, nah meskipun Bandung itu bukan ibukota Indonsesia, tapi itu disebut ilmiah karena bisa diobservasi dan ada cara mengobservasinya.
Contoh yang tidak bisa diverifikasi : Tuhan itu adil. Apa bisa diobservasi? Toh Tuhan tidak bisa dimintai keterangan. Adil? Adil itu kata siapa dulu. Banyak yang bilang Tuhan tidak adil dan adil, tergantung subjeknya. Nah yang seperti ini tidak ilmiah.

Karl Raimund Popper bermetode ilmiah. Teori kebenarannya disebut koroborasi (kokoh dan tahan uji). Subjeknya adalah ilmuwan, dan ilmuwan ini memiliki posisi yang penting. Menurut Popper, agama itu tidak mutlak, karena ilmu itu tidak ada yang pasti. Popper berfokus pada metode ilmiah.

Thomas S. Khun bermetode revolusi ilmiah. Teori kebenarannya adalah tentang paradigma (incommonsurable). Subjeknya manusia. Objeknya adalah historis. Khun berfokus pada sejarah sains.
Khun adalah salah satu tokoh favorit saya. Kenapa? Soalnya teori kebenarannya itu adalah teori paradigma.  Paradigma di sini bermaksud teori satu menggantikan teori yang lain. Tapi bukan menyalahkan.
Contohnya : dulu orang-orang berpikir bahwa manusia itu adalah pusat dunia dan orang lain yang mengelilingi dirinya. Tapi sebenarnya setiap manusia itu adalah pusat bagi dirinya sendiri.Kemudian ditemukan bumi adalah pusat dari dunia, di mana seluruh benda di jagad raya ini mengelilingi bumi. Tapi itu belum perubahan paradigma. Perubahan paradigma terjadi ketika Galileo Galilei menemukan teropong dan menyatakan bahwa bumi dan segala isinya mengelilingi matahari. Galilio kemudian dibunuh. Haha. Maklumlah, namanya juga orang primitif. Nah, perubahan paradigma itu terjadi, dari bumi ke matahari. Kemudian muridnya Galileo, Copernicus, mengutarakan teori ini lagi, tapi kali ini gak dibunuh.
Sial banget buat Galileo. Yah, namanya juga pencetus. Wajar. Haha.

Richard Rorty bermetode pragmatis. Teori kebenarannya tidak pasti (pragmatis). Subjeknya adalah manusia. Objeknya adalah kebenaran. Rorty berfokus pada budaya.
Menurut Rorty, suatu kebenaran sains akan kuat jika ada hubungan dengan teori (fakta). Tak ada kebenaran yang objektif, tapi yang ada hanya kebenaran pragmatis karena persetujuan para ilmuwan objektif menurut landasan yang disepakati (solidaritas). Rorty tidak peduli pada fondasi sains. Subjeknya adalah kelompok / konsentrus commonsurable. Jika ada perbedaan pendapat, maka akan diadakan dialog.
Nah, kalo Rorty ini penganut solidaritas, jadi menurut Rorty, semua hal itu benar, yang membedakan itu apa? Quorum.
Matahari terbit dari barat, itu benar, buktinya juga benar. Dan semakin benar ketika semua orang sependapat.
Pada bulan Maret, hujan berhenti, buktinya belum tentu benar, tapi dibenarkan karena semua orang sependapat.
Jadi intinya, Rorty itu mirip-mirip kayak pemilu, kalo yang banyak suara, ya dianggap menang. Haha.



Buku yang saya pelajari wakut belajar filsafat itu TOKOH-TOKOH FILSAFAT SAINS DARI MASA KE MASA oleh dosen saya IRAWAN, M.HUM. Penerbitnya INTELEKTA PRATAMA 2007.
Tanpa mata kuliah itu, mungkin sampe sekarang saya masih blah-bloh gak ngerti tentang filsafat. Haha. Mendinganlah kalo diajakin diskusi sama orang-orang Aqidah Filsafat, jadi gak begitu malu-maluin meskipun saya banyak banget gak taunya. Maklum aja namanya juga calon guru. Haha.

4 komentar:

  1. terima kasih profil para tokoh filsafatnya..

    BalasHapus
  2. di cari blognya teteh gk ketemu az, eh taunya ada disini..

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum diprbaiki yg blog dulu mah,, hahaha... terlalu banyak fans, pusing,,

      Hapus