Sejak pertama kali aku mengungkapkan pemikiranku dalam kata di kelas Kajian komunitas Rumput, pertanyaan itu selalu muncul setiap kali aku sedang merenung. Kenapa Tuhan menurunkanku ke bumi? Kenapa Dia tak bertanya dulu apakah aku mau atau tidak diturunkan ke bumi?
Tapi pertanyaan itu seperti pertanyaan retoris. Aku dianggap Ateis ketika pertanyaan itu kulontarkan. Bagaimana tidak? Mana mungkin aku, yang dulu berumur 3 bulan dalam bentuk janin, berani membuat perjanjian dengan Tuhan, sang pemilik jagad raya dan seisinya? Kalau aku seberani itu, mengapa aku tak sekalian jadi Tuhan saja?
Hari ini pun aku masih mempertanyakan mengapa Tuhan menurunkanku ke bumi. A Hafidz bilang bahwa aku tidak perlu mempertanyakan mengapa Tuhan tidak bertanya terlebih dahulu, karena segala sesuatu di alam raya ini adalah milik-Nya, dan Dia berhak melakukan apa pun pada ciptaan-Nya, sesuka hati-Nya. Tapi, bukankah Tuhan terlihat sangat otoriter dalam kalimat itu? Bukankah Tuhan menciptakan Qada' dan Qadar, takdir yang bisa dirubah dan tidak bisa dirubah? Lalu jika semua hal bergerak sesuai keinginan-Nya, mengapa harus ada neraka ketika surga lebih baik?
Furkon bilang bahwa tujuanku diturunkan ke bumi adalah untuk mengingat kembali perjanjian apa yang pernah kubuat dengan Tuhan dahulu di dalam rahim Ibuku. Bukankah Tuhan juga terlihat curang dengan membiarkanku lupa sehingga Dia bisa merubah isi perjanjian sesuai keinginan-Nya?
Hari ini aku bertanya, mengapa Tuhan menciptakan gunung yang menjulang tinggi, dipenuhi pohon-pohon kayu yang lebat, yang kayunya bisa dijual dengan harga mahal, tanpa sebuah pagar pembatas? Bukankah Tuhan sengaja membiarkan agar hutan-Nya digunduli seenak manusia dan membiarkan longsor itu ada?
Lalu tiba-tiba saja terbesit di pikiranku sebuah pertanyaan. Mana yang akan kamu pilih, tidak pernah diturunkan ke bumi dan tidak pernah punya ayah, ibu adik dan Furkon atau diturunkan ke bumi dengan bertemu mereka dan merasakan segala nikmat--sesak hidup?
Aku sepertinya dulu sering mengobrol dengan Tuhan. Dan perjanjian yang kami buat tidak terjadi dalam satu atau dua hari, tapi jutaan bahkan hingga angka pun tak sanggup menghitungnya. Tuhan memberikan detil-detil yang akan terjadi padaku, memberikan bahagia dan ketidakbahagiaan padaku. Lalu aku sadar, pertanyaannya bukan mengapa aku diturunkan ke bumi. Tapi, mampukah aku bersyukur atas segala sesuatu yang kumiliki dan tidak kumiliki?
Andai saja aku tidak pernah diturunkan ke bumi, mungkin takdir Ayah dan Ibuku untuk bersama tidak akan pernah ada. Andai saja aku tidak pernah ada, maka Furkon pun tidak akan pernah bertemu dengan gadis yang akan sangat dicintainya. Mana yang kupilih?
Jawabanku sudah jelas, sama seperti jawabanku saat aku dan Tuhan membuat perjanjian. Aku mau diturunkan ke bumi, merasakan bahagia dan ketidakbahagiaan, mensyukuri segala hal, berusaha tetap takwa pada-Nya dan aku mau merasakan kasih sayang dari mereka yang menyayangiku.
Setelah itu, aku baru sadar bahwa aku perlahan mengingat kembali perjanjianku dengan-Nya. Thanks for the answer, G!
0 komentar:
Posting Komentar