sepenggal sabar




            Waktu SMA, aku punya guru cewek, orang Jogja dari keturunan ningrat. Beliau punya nama ningrat, demi kenyamanan saya gak akan nyebut satu huruf pun dari nama beliau. Jadi, beliau ini mulai ngajar saya ketika saya duduk di kelas 2 SMA. Saya dulu pure menganggap bahwa beliau guru killer yang emang ga pernah senyum, apalagi bermurah hati sama siswa. Kenapa? Karena kakak-kakak kelas saya pun diperlakukan sama. Ga ada satu orang pun yang dapat perlakuan spesial.
            Sejak beliau ngajar di kelas saya, nilai mata pelajaran saya yang diajar sama beliau bener-bener dikorting. Kalo dulu saya bisa dapet nilai 8 di raport, sama beliau paling banter 6,5. Kalo ada ulangan harian, beliau suka melototin saya dan bilang kalo nilai saya itu jelek, Cuma dapet 2 atau 3, padahal saya dapet 6. Heran memang. Tapi saya diem aja. Toh buat apa ngebales melototin beliau? Mata saya jauh lebih sipit dan mau semelotot apa pun, ya yang keliatan mata geuneuk kayak baru bangun tidur.
            “Itu loh, anak Ibu, Deri, gara-gara pacaran, nilainya jadi turun. Apalagi pacarnya, makin turun. Mereka berdua kerjaannya pacaran saja. Nah itulah kenapa pacaran waktu masih jadi siswa itu dilarang, karena tidak ada manfaatnya.” Tutur beliau panjang lebar di sela-sela mengajar mata pelajarannya. Tidak terlewat, beliau memelototi saya lagi. Saya hanya diam.
            Guru saya itu adalah seorang walikelas untuk kelas nomor 9. Di kelas itu, Deri bertugas sebagai ketua kelas. Deri pacaran dengan teman sebangku saya, namanya Dini. Deri dan Dini memang bukan anak yang sangat pintar, seperti anak pada umumnya aja, kalo nyontek, nilainya baru bisa dikatrol ke angka 7 sampai 8, kalo usaha sendiri ya 2 atau 3 pun sudah lumayan.
            Di kelas 3 semester 2, saat itu saya sedang duduk berkumpul bersama teman-teman saya tanpa Dini. Guru itu kemudian menghampiri saya. “Hey Dini, kamu itu jangan pacaran saja. Liat nilai Deri, nilai Deri turun. Sebentar lagi mau UN, kamu seharusnya belajar. Kamu tau engga, lembar jawaban kamu di mata pelajaran saya itu salah semua. Saya kasihan aja jadi saya tambahin jadi 5.”
            Setelah beliau selesai meluapkan kemarahannya selama ini, saya pun mulai bicara. “Bu, saya Lukita, bukan Dini. Dini itu temen sebangku saya.”
            “Tapi saya sering liat kamu pulang sekolah bareng sama Deri. Berdua-duaan di kantin.”
            “Oh, kalo itu, saya sama Deri satu organisasi, Bu. Deri ketuanya, saya sekretarisnya. Jadi saya sama Deri sering kerjasama untuk mengarsipkan kegiatan organisasi setiap minggu, Bu.”
            “Kamu bukan Dini?”
            “Bukan Bu.”
            “Berarti selama ini saya salah orang. Saya kira kamu yang pacaran sama Deri. Kamu namanya siapa?”
            “Lukita.”
            “Sebentar.” Beliau kemudian mengambil daftar nilai di dalam tasnya. Telunjuknya dengan aktif mencari huruf L kemudian mencari nama saya, Lukita. Ketika beliau sudah menemukannya. “Oh, Lukita. Iya, saya salah. Nilai kamu bagus.” Katanya, lalu beliau tersenyum. Dan itu adalah senyum pertamanya sejak beliau menjadi guru di kelas saya. “Tingkatkan lagi ya. Sudah bagus ini.”
            Dan akhirnya saya tau, alasan mengapa beliau sering memelototiku di kelas dan menyebut nama Deri sambil hidungnya seolah menunjuk ke arahku. Beliau salah orang. Ketika semester baru dimulai, beliau berubah menjadi super baik pada saya. Beliau jadi sering ramah dan sering meminta saya untuk menjelaskan atau memberi contoh pada bahasan-bahasan yang beliau berikan. Dampak dari sikap baik beliau adalah beliau sekarang seolah memusuhi Dini teman saya. Tidak jarang Dini menangis selama pelajaran guru saya itu. Saya tidak bisa membela Dini, karena Dini dan Deri saling mencintai meski pun mungkin terlalu dini untuk mengikrarkan cinta di masa SMA sebagai cinta sejati.
            Sore tadi, 4 tahun setelah saya lulus dari SMA, beliau mengajak saya berbincang di perpustakaan SMA. Tempat dimana beliau tahu bahwa saya bukan Dini. Beliau pun membuka obrolan dengan basa-basi menanyakan bagaimana kabarku, kuliahku dan apa yang sedang kukerjakan sekarang ini hingga akhirnya beliau bercerita tentang putranya. “Anak Ibu, yang paling besar. Kamu tahu?”
            “Engga Bu.”
            “Dia itu bilang sama Ibu, dia menyukai seorang gadis, gadis ini bukan gadis biasa, dia adalah gadis luar biasa. Kenapa? Karena dulu, saya pernah memusuhi anak gadis ini. Saya benci pada anak gadis ini karena saya dulu mengira bahwa dia adalah anak perempuan yang suka pacaran dan anak gadis yang malas belajar. Tapi memang saya heran, gadis ini tidak pernah menghindar ketika bertemu dengan saya. Selalu mengucapkan salam meski pun saya hanya membalasnya dalam hati.
“Dan dia tidak pernah bermain-main ketika saya sedang mengajar, dia menulis semua yang saya katakan dan selalu mengerjakan tugas dengan baik. Saya memberikan nilai yang kecil karena hasil pekerjaannya memang sangat jelek. Ternyata, saya salah orang. Gadis itu bukan gadis yang suka pacaran dan malas belajar. Saya salah menilai penampilan seseorang. Dan anak saya sudah mencintai gadis itu dari sejak gadis itu masuk SMA kelas 1.
“Saya sendiri tidak mengerti kapan mereka berdua pernah bertemu. Tapi putra pertama saya itu bilang bahwa gadis itu adalah cinta pertamanya. Dan putra saya, karena cintanya, maka ia memilih untuk mengejar cita-citanya, kemudian mencari pekerjaan yang layak agar kemudian bisa ta’aruf pada gadis itu. Sayang seribu sayang, ketika putra saya melihat facebook gadis itu, gadis itu sudah berpacaran dengan orang lain.
“Tidak hilang akal, pacarnya masih anak kuliahan. Putra saya pun meneruskan mengejar pekerjaan yang layak agar bisa mencukupi kehidupan bersama gadis itu nanti. Tapi ketika melihat facebook gadis itu lagi, gadis itu ternyata ditinggal jauh oleh pacarnya. Putra saya tidak mau hilang akal, dia menginginkan gadis itu. Tapi saya bilang, jangan. Ketika seorang gadis berani untuk melepaskan kekasihnya pergi jauh, maka dia pun sudah menambatkan hatinya pada kekasihnya itu dan tidak akan berbalik pada siapa pun.
“Putra saya patah hati. Gadis itu adalah kobaran semangatnya selama ini. Saya tau pasti, butuh waktu lama agar hati putra saya itu sembuh, maka saya bilang pada anak perempuan saya, adik dari putra saya yang patah hati itu untuk menikah lebih dulu. Adik-adikmu datang kemarin ke pernikahan putri saya, kenapa kamu tidak?” Tanya beliau pada saya. Saya kaget, saya kira beliau akan terus bercerita hingga malam menjelang, karena beliau tidak memberikan jeda untuk saya berkomentar.
“Saya sedang ada acara film di Jakarta, Bu.” Kata saya bohong. Jelas bohong. Ibu saya menyuruh saya agar ikut, tapi saya menolak dan saya lebih memilih untuk nonton tivi di rumah.
“Putra saya berharap bisa bertemu dengan kamu lagi, seperti dulu saat kamu dan dia bertemu. Tapi mungkin suratan Tuhan juga bahwa kalian tidak bisa bersama.”
“Maksud Ibu, gadis itu saya?” Tanya saya. Saya tidak terlalu memperhatikan detil ceritanya, beliau selalu menggunakan kata ganti Gadis untuk menceritakan Dini di kelas, dan saya tidak merasa bahwa saya adalah si Gadis yang diceritakan oleh beliau.
“Iya. Siapa lagi? Cuma kamu yang tetap ramah sama saya padahal saya sudah jelas ketus sama kamu. Kamu tidak ingat putra saya? Putra saya bilang dia pernah ngobrol sama kamu waktu kamu baru masuk SMA.”
Saya menggeleng perlahan. Saya sama sekali tidak ingat kalo saya pernah ngobrol dengan anak dari guru yang dulu melakukan perang dingin sengit pada saya. Saya pun tidak pernah sedetik pun terpikir bahwa putra beliau yang jurusan kedokteran itu akan jatuh cinta pada saya. Saya memang sering mendengar beliau menceritakan putra-putra dan putrinya. Tapi saya tidak berpikir bahwa itu adalah sebuah undangan terbuka agar saya bisa membuka hati.
Sebenarnya, dua minggu lalu saya sempat membuka facebook putra guru saya itu. Saya memperhatikan foto profil, foto-fotonya lalu status-statusnya. Tapi hanya sekedar ingin tahu saja, tidak lebih.
“Jadi, bagaimana?” Tanya beliau.
“Apanya Bu?”
“Tetap pada pilihan kamu? Kamu tidak akan menyesal jika putra saya nanti dengan gadis lain?”
“Bu, jodoh sudah diatur Tuhan. Kalau memang berjodoh, kenapa saya dipertemukan dengan orang lain? Saya tidak mau kehilangan apel di dalam keranjang untuk mengejar apel di atas pohon. Saya tidak mau terjatuh dan saya memang tidak mahir memanjat.” Saya pun akhirnya mengutip kata-kata beliau ketika beliau dulu menceritakan tentang majas perumpamaan.
Beliau tersenyum lagi. Dan saya baru mengerti apa itu kesabaran dari putra guru saya itu yang bahkan saya tidak tahu namanya. Kesabaran itu bukan tentang seberapa lama menanti, tapi seberapa setia selama penantian itu. Ya, sebelum saya pura-pura jadi orang bijak, saya cukupkan sepenggal kisah hidup saya.

0 komentar:

Posting Komentar