Aku
bersungguh-sungguh berniat untuk memberikanmu pelajaran. Namamulah yang akan
kutulis di daftar undangan pernikahanku nanti. Lalu kamu juga yang nantinya
akan kuberikan undangan itu secara langsung. Aku sungguh berniat merobek dirimu
dalam kepingan. Aku membencimu, sangat! Sekaligus… menyayangimu.
Aku
tidak tahu apakah itu hanya trik agar aku memaafkanmu atau kamu justru sudah
tahu rencanaku ini dari membaca tulisan-tulisanku yang dulu. Kamu pintar
membuatku merasa bahwa kamu itu seperti adikku, yang kadang menyebalkan tapi
juga berhati malaikat, yang mudah membuatku malu jika pernah terbersit perasaan
benci padamu.
Aku
malu pernah punya perasaan benci padamu. Karena sekarang, aku melihatmu seperti
adikku, yang barusan menyebalkan tapi kemudian kembali menyenangkan dan
peluk-able. Kamu benar-benar kembali padaku meski pun kamu tahu kemungkinan aku
menolak keberadaanmu lagi. Ya, kamu memang pintar!
Tadi sore
ada seekor tikus di rumahku yang keluar dari kolong lemari sempoyongan. Aku buru-buru
mengambil sapu dan segera ingin memukul dengan sangat keras kepala tikus itu
hingga pecah dan mati. Tapi, sejurus aku melihat sorot mata tak berdaya. Bodoh memang,
aku kasihan pada tikus yang selama ini mencuri makanan di rumahku.
Pikiranku
saat itu hanya, kasihan. Kalau aku jadi tikus, aku juga ingin punya uang dan
bisa membeli makanan, tapi Tuhan memang tidak mengijinkan seekor tikus untuk
berpikir, bekerja lalu membeli makanan, Tuhan mentakdirkan tikus untuk mencuri,
dan hanya dari mencuri itulah tikus itu hidup.
Kalau
aku bisa punya perasaan kasihan pada seekor tikus, kenapa aku tidak bisa punya
rasa kasihan pada manusia? Kemarin aku menangis karena luka yang dibuat olehmu,
kamu benar-benar mengacak-acak hidup orang lain, ah bukan, kamu bahkan
menghancurkannya. Tapi, sekarang aku menangis bukan karena hal itu lagi, tapi
aku menangis karena ingat bahwa aku dan kamu pernah berteman bagai ulat yang
berharap jadi kupu-kupu.
Seperti
Tuhan yang memberikan takdir pedih pada tikus, mungkin saja Tuhan memberikan
takdir yang sama untuk kita, untukmu, untukku dan untuknya. Kita harus terlibat
dalam hubungan yang begitu rumit dan ucapan yang sangat menyakitkan sebelum
akhirnya sadar bahwa semua hal itu bermuara pada kematian. Memang harus begini
jalannya, kurasa.
Kemarin,
ketika aku putus asa, aku berharap ada dia yang minimal ‘mau’ saja mendengar
keluhanku. Dan kurasa, itulah fungsi dirimu di dalam cerita ini, untuk
menegaskan padaku, siapa yang sebenarnya bisa bersamaku, hehe, benarkah Tuhan?
Sekarang, kamulah yang ada di
dalam posisiku. Putus asa dan tak ada yang mau mendengar. Dan aku sombong, aku
masih sakit hati dan kecewa. Maka aku mendengarkan keluhanmu, kenapa? Karena jika
aku meninggalkanmu, maka aku sama buruknya denganmu. Aku tidak akan pernah mau
menghancurkan hidup orang lain, aku tidak mau membunuh eksistensi orang lain,
aku tidak mau meninggalkan siapa pun di belakang. Meski pun pedih dan gersang
untuk menggapai harapanku, aku percaya bahwa orang yang baik itu dicari, bukan
mencari.
Tuhan mengabulkan permintaanku,
aku ingin selalu bisa mengingat kebaikan semua orang di dalam hidupku, dan
kehadiranmu di dalam cerita ini memperkuat terkabulnya doaku itu. Dan aku ingin
selalu ingat bahwa apa pun yang terjadi, aku sudah memilih untuk pertama dan
terakhir, jika ternyata pilihan itu bukan pilihan yang baik, aku tak akan
pernah memilih lagi.
Terimakasih untukmu, kamu
benar-benar membuat segala hal jelas. Dan kita bisa kembali berteman, kita
curhat di depan api unggun lagi, mendengar bualan dan harapan kosongmu, kemudian
besok jika kamu sakit hati lagi karena diselingkuhi pacarmu, aku akan menampung
ceritamu lagi di depan api unggun. Kamu meyakinkanku bahwa aku pemaaf. Aku malu
pernah membenci orang yang mengajarkanku begitu banyak hal… maaf yah.
Nobody said it was easy
Oh it's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be so hard
I'm going back to the start
the scientist - coldplay
0 komentar:
Posting Komentar