Dari kejauhan, aku mendengar guru ngajiku
mendendangkanshalawat nariyah. Ah, ya, seperti baru kemarin sore, aku
duduk di hadapan guruku itu. Di ujung pertemuan bibir atas dan bibir
bawahnya selalu berbuih ketika dia bicara, pun bershalawat. Dan aku
mendengarkan beliau dengan seksama, menghafalkanshalawat nariyah.
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ketika pertama kali pindah ke kampung ini, aku, si anak baru diperbolehkan oleh orangtuaku untuk pertama kalinya, belajar mengaji di sebuah masjid bersama teman-teman sebayaku. Saat itu, baru dua kali mendengarkan shalawat nariyah, tapi aku langsung hafal shalawat itu. Dan aku mengajarkan shalawat itu kepada Ibuku. Ibuku waktu itu masih menganut agama Katholik. Karena aku tidak tahu apa doa sebelum tidur, maka Ibuku akan menuntunku untuk membaca shalawat nariyah sebelum tidur.
Agar perkembangan membaca al-Qur'anku lebih baik, Ibuku meminta guru di masjid itu untuk mengajarkanku mengaji di rumah. Aku diajari cara menulis huruf, ayat, hingga surat. Kemudian aku diajari 'iqra hingga akhirnya aku mampu mengkhattamkan al-Qur'an. Dan aku sudahkhattam al-Qur'an sebelum aku naik ke kelas 2 SD.
Di kelas 2 SD, aku diminta untuk membacakan beberapa ayat di dalam buku teks Pendidikan Agama Islam. Selesai membaca ayat-ayat itu, guru Agama Islamku itu bilang, "bagus yah baru kelas 2 SD baca al-Qur'annya udah lancar. Udah khattam berapa kali?" Tanyanya. Dan aku menjawab, "Dua kali." Seperti tidak puas, beliau kemudian bilang,"Tapi sayang, meski pun baca al-Qur'an kamu bagus. Ibu kamu bukan orang Islam. Dia gak akan masuk surga. Dan pahala baca Qur'an kamu gak akan pernah nyampe untuk Ibu kamu."
Aku memang masih kelas 2 SD, aku belum tahu apa itu norma, apa itu hukum dan apa itu tatakrama. Aku hanya tahu satu hal, bahwa wanita berjilbab di hadapanku, yang telah memuji cara membaca al-Qur'anku dan telah menanyakan berapa kali akukhattamal-Qur'an tiba-tiba menghakimi Ibuku untuk tidak akan masuk surga dan aku pahala yang kulakukan tidak akan pernah disematkan dalam kitab kebajikan Ibuku. Aku sakit. Sakit sekali, seperti aku dipaksa menelan batu yang tersangkut di dalam kerongkonganku.
Wanita berjilbab. Dengan kacamata plus minus menggantung di antara hidungnya yang pesek. Dengan kaos kaki dan sepatu sandalnya. Roknya yang terseret hingga tanah. Telapak tangannya yang tertutup oleh kain bernama manset. DIA BERANI MENGHINA IBUKU.
Ibuku hanya tahu aku malas membaca al-Qur'an lagi setelah itu. Guru ngajiku hanya tahu bahwa aku sudah bisa membaca sendiri tanpa bantuannya. Dan yang semua orang tahu bahwa aku sudah tidak perlu dites dalam hal membaca dan menulis al-Qur'an. Tapi aku menyimpan dendam.
Aku tidak tahu apa itu filsafat saat aku masih kelas 2 SD. Aku tidak tahu ada agama yang bisa berdiri tanpa harus menghakimi seseorang dengan pilihan surga dan neraka yang absurd. Aku hanya tahu bahwa aku tidak perlu membaca al-Qur'an lagi. Dan setiap hari, doaku hanya satu, aku ingin menanyakan Tuhan mengapa menciptakan manusia, si wanita berjilbab itu, yang pakaiannya bisa menutupi seluruh auratnya kecuali hatinya yang dengki, yang bisa menghakimi Ibuku padahal dia tidak mengenal Ibuku?Mengapa,TUHAN?
Ketika semua orang mencambukku. Memaksaku untuk membaca al-Qur'an lagi. Aku bergeming. Diam seolah marah. Ya, diamku selalu dianggap marah dan dianggap juga bahwa aku tidak mampu untuk melawan. Aku tidak mau masuk surga jika Ibuku tidak ada di sana.
Kemudian Tuhan memberikan ilhamnya sendiri. Ibuku kemudian masuk agama Islam. Sebuah agama yang kata wanita berjilbab itu mungkin adalah salah satu jalan untuk mencapai surga. Aku hanya bisa bilang, "bu, orang yang bilang Islam itu justru adalah orang-orang yang nantinya paling banyak masuk neraka. Kenapa? Karena mereka terus menerus melakukan dosa kecil yang nyaman untuk diulang. Tidak shalat 5 waktu, tidak puasa Ramadhan, menggunjing, iri, dengki, menghakimi tanpa bukti, mengumbar aurat, mencuri, membunuh, mengambil hak orang lain... Apa Ibu siap?"
Lidahku kaku karena kebencianku sendiri. Aku benci tidak bisa membela Ibuku saat orang lain berani menginjak-injaknya di hadapanku. Aku benci tidak bisa bilang tidak dengan keras saat orang lain bilang Ibuku akan masuk neraka. Aku benci.
Hingga saat ini, aku masih diam. Karena jika aku bicara, mungkin aku tidak akan sanggup menahan keinginanku untuk membunuh wanita itu dan semua orang yang sengaja merendahkanku. Ketika aku diam, orang lain menganggap aku kalah, menganggap aku tidak mau untuk melanjutkan semuanya kembali seperti sebelumnya. Bukan, sungguh bukan. Aku selalu merasa menang jika tidak ada kata pahit keluar dari mulutku, dan aku jangan tambah kemenanganku ketika aku ternyata mampu tetap diam dan menyimpan sakit ini untukku sendiri.
Ada begitu banyak pelajaran yang kudapat. Maaf sekali, aku tidak pernah menghormati hampir seluruh guru agamaku sejak SD hingga aku memasuki jenjang perkuliahan. Karena mereka adalah orang yang sama, jelmaan si wanita berjilbab yang hanya bisa menghakimi. Dan aku tidak suka. Aku benci orang yang hanya bisa menghakimi.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan salah satu dosen yang membuatku tertarik. Bukan karena fisiknya, namun karena pelajaran yang dia berikan padaku. Ada, ada kepercayaan yang tidak menghakimi antara surga dan neraka. Ada orang yang satu agama denganku dan dia tidak perlu menghakimi Ibuku dan keluargaku. Dan agama itu bukan tentang manusia menghakimi manusia. Tapi tentang manusia dengan Tuhannya masing-masing.
Maka aku berkesimpulan, bahwa hamba yang baik akan menjadi manusia yang baik. Dan hamba yang buruk, akan menjadi manusia yang hanya mampu menghakimi manusia lain. Aku mengerti bahwa Tuhan hanya memberikan pencerahan bagi seluruh hamba-Nya, tapi hanya mereka yang mau mengerti yang akan sadar.
"Roh..." Kudengar suara Ibuku memanggil namaku. "Siti Rohmah." Panggilnya lagi. "Ayo masuk, kita shalat maghrib berjamaah." Lalu aku melangkahkan kakiku, menghampiri Ibuku kemudian memeluknya erat. Tidak akan ada lagi orang yang boleh menghakimimu, Bu...
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
Parakan Muncang, 11 Januari 2013.
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Ketika pertama kali pindah ke kampung ini, aku, si anak baru diperbolehkan oleh orangtuaku untuk pertama kalinya, belajar mengaji di sebuah masjid bersama teman-teman sebayaku. Saat itu, baru dua kali mendengarkan shalawat nariyah, tapi aku langsung hafal shalawat itu. Dan aku mengajarkan shalawat itu kepada Ibuku. Ibuku waktu itu masih menganut agama Katholik. Karena aku tidak tahu apa doa sebelum tidur, maka Ibuku akan menuntunku untuk membaca shalawat nariyah sebelum tidur.
Agar perkembangan membaca al-Qur'anku lebih baik, Ibuku meminta guru di masjid itu untuk mengajarkanku mengaji di rumah. Aku diajari cara menulis huruf, ayat, hingga surat. Kemudian aku diajari 'iqra hingga akhirnya aku mampu mengkhattamkan al-Qur'an. Dan aku sudahkhattam al-Qur'an sebelum aku naik ke kelas 2 SD.
Di kelas 2 SD, aku diminta untuk membacakan beberapa ayat di dalam buku teks Pendidikan Agama Islam. Selesai membaca ayat-ayat itu, guru Agama Islamku itu bilang, "bagus yah baru kelas 2 SD baca al-Qur'annya udah lancar. Udah khattam berapa kali?" Tanyanya. Dan aku menjawab, "Dua kali." Seperti tidak puas, beliau kemudian bilang,"Tapi sayang, meski pun baca al-Qur'an kamu bagus. Ibu kamu bukan orang Islam. Dia gak akan masuk surga. Dan pahala baca Qur'an kamu gak akan pernah nyampe untuk Ibu kamu."
Aku memang masih kelas 2 SD, aku belum tahu apa itu norma, apa itu hukum dan apa itu tatakrama. Aku hanya tahu satu hal, bahwa wanita berjilbab di hadapanku, yang telah memuji cara membaca al-Qur'anku dan telah menanyakan berapa kali akukhattamal-Qur'an tiba-tiba menghakimi Ibuku untuk tidak akan masuk surga dan aku pahala yang kulakukan tidak akan pernah disematkan dalam kitab kebajikan Ibuku. Aku sakit. Sakit sekali, seperti aku dipaksa menelan batu yang tersangkut di dalam kerongkonganku.
Wanita berjilbab. Dengan kacamata plus minus menggantung di antara hidungnya yang pesek. Dengan kaos kaki dan sepatu sandalnya. Roknya yang terseret hingga tanah. Telapak tangannya yang tertutup oleh kain bernama manset. DIA BERANI MENGHINA IBUKU.
Ibuku hanya tahu aku malas membaca al-Qur'an lagi setelah itu. Guru ngajiku hanya tahu bahwa aku sudah bisa membaca sendiri tanpa bantuannya. Dan yang semua orang tahu bahwa aku sudah tidak perlu dites dalam hal membaca dan menulis al-Qur'an. Tapi aku menyimpan dendam.
Aku tidak tahu apa itu filsafat saat aku masih kelas 2 SD. Aku tidak tahu ada agama yang bisa berdiri tanpa harus menghakimi seseorang dengan pilihan surga dan neraka yang absurd. Aku hanya tahu bahwa aku tidak perlu membaca al-Qur'an lagi. Dan setiap hari, doaku hanya satu, aku ingin menanyakan Tuhan mengapa menciptakan manusia, si wanita berjilbab itu, yang pakaiannya bisa menutupi seluruh auratnya kecuali hatinya yang dengki, yang bisa menghakimi Ibuku padahal dia tidak mengenal Ibuku?Mengapa,TUHAN?
Ketika semua orang mencambukku. Memaksaku untuk membaca al-Qur'an lagi. Aku bergeming. Diam seolah marah. Ya, diamku selalu dianggap marah dan dianggap juga bahwa aku tidak mampu untuk melawan. Aku tidak mau masuk surga jika Ibuku tidak ada di sana.
Kemudian Tuhan memberikan ilhamnya sendiri. Ibuku kemudian masuk agama Islam. Sebuah agama yang kata wanita berjilbab itu mungkin adalah salah satu jalan untuk mencapai surga. Aku hanya bisa bilang, "bu, orang yang bilang Islam itu justru adalah orang-orang yang nantinya paling banyak masuk neraka. Kenapa? Karena mereka terus menerus melakukan dosa kecil yang nyaman untuk diulang. Tidak shalat 5 waktu, tidak puasa Ramadhan, menggunjing, iri, dengki, menghakimi tanpa bukti, mengumbar aurat, mencuri, membunuh, mengambil hak orang lain... Apa Ibu siap?"
Lidahku kaku karena kebencianku sendiri. Aku benci tidak bisa membela Ibuku saat orang lain berani menginjak-injaknya di hadapanku. Aku benci tidak bisa bilang tidak dengan keras saat orang lain bilang Ibuku akan masuk neraka. Aku benci.
Hingga saat ini, aku masih diam. Karena jika aku bicara, mungkin aku tidak akan sanggup menahan keinginanku untuk membunuh wanita itu dan semua orang yang sengaja merendahkanku. Ketika aku diam, orang lain menganggap aku kalah, menganggap aku tidak mau untuk melanjutkan semuanya kembali seperti sebelumnya. Bukan, sungguh bukan. Aku selalu merasa menang jika tidak ada kata pahit keluar dari mulutku, dan aku jangan tambah kemenanganku ketika aku ternyata mampu tetap diam dan menyimpan sakit ini untukku sendiri.
Ada begitu banyak pelajaran yang kudapat. Maaf sekali, aku tidak pernah menghormati hampir seluruh guru agamaku sejak SD hingga aku memasuki jenjang perkuliahan. Karena mereka adalah orang yang sama, jelmaan si wanita berjilbab yang hanya bisa menghakimi. Dan aku tidak suka. Aku benci orang yang hanya bisa menghakimi.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan salah satu dosen yang membuatku tertarik. Bukan karena fisiknya, namun karena pelajaran yang dia berikan padaku. Ada, ada kepercayaan yang tidak menghakimi antara surga dan neraka. Ada orang yang satu agama denganku dan dia tidak perlu menghakimi Ibuku dan keluargaku. Dan agama itu bukan tentang manusia menghakimi manusia. Tapi tentang manusia dengan Tuhannya masing-masing.
Maka aku berkesimpulan, bahwa hamba yang baik akan menjadi manusia yang baik. Dan hamba yang buruk, akan menjadi manusia yang hanya mampu menghakimi manusia lain. Aku mengerti bahwa Tuhan hanya memberikan pencerahan bagi seluruh hamba-Nya, tapi hanya mereka yang mau mengerti yang akan sadar.
Ketika shalawat nariyah itu berakhir. Aku tersadar, kejadian belasan tahun itu masih melekat di dalam ingatanku. Mengukir sejarah tentang siapa aku dan apa yang telah kulakukan sejauh ini. Aku tidak takut pada cambukan, kesendirian, gunjingan orang atau kejahatan manusia. Aku justru takut jika Tuhan tidak memberikan kesempatan untuk membuatku sadar lebih lama dan menjadikanku manusia yang sama dengan wanita berjilbab yang menghakimi Ibuku dulu. Aku tahu, Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati manusia.كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَDemikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami. (Ar-Rum :59)
"Roh..." Kudengar suara Ibuku memanggil namaku. "Siti Rohmah." Panggilnya lagi. "Ayo masuk, kita shalat maghrib berjamaah." Lalu aku melangkahkan kakiku, menghampiri Ibuku kemudian memeluknya erat. Tidak akan ada lagi orang yang boleh menghakimimu, Bu...
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
Parakan Muncang, 11 Januari 2013.
0 komentar:
Posting Komentar