kangen

Perlahan kuketik sebuah status baru. Kangen kuliah ih...
Lima detik kemudian, aku menambahkan kata-kata.
Lalu aku menghapus kata status dusta itu. Iya, aku kangen kuliah. Eh, apa iya?
Waktu SMA, aku tidak pernah kangen sekolah. Aku kangen sekolah hanya untuk bertemu pujaan hati, si cinta monyet yang membuat hatiku dag dig dug lalu patah hati, huh padahal aku hanya "mencintai" monyet, untuk apa patah hati? Tapi waktu SMA, aku benar-benar pernah sangat tergila-gila padanya. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya aku tahu bahwa dia memang jelmaan monyet. Haha.
Setelah itu, aku tidak pernah merasa kangen untuk sekolah, apalagi kuliah. Satu-satunya alasan mengapa aku enggan meninggalkan perkuliahan dalam kondisi paling buruk sekali pun adalah karena aku tahu bahwa biaya kuliah itu tidak gratis. Dan Ayahku mati-matian membela putrinya untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah sepantasnya, aku, sebagai orang yang dibela mati-matian itu mempersembahkan hasil yang memuaskan untuk orangtuaku. Maka, hujan atau panas, sakit separah apa pun, bahkan ngantuk sengantuk-ngantuknya, aku tetap ada di ruang perkuliahan.
Tapi, aku tidak hanya sekedar menghadirkan tubuhku di dalam majelis itu, aku menghadirkan otak dan perasaanku di dalamnya. Lalu istilah aku diabsen maka aku ada menjadi salah satu mottoku. Aku menanggalkan seluruh problematika remaja dan kisah putus cinta ketika aku kuliah dan berusaha tetap fokus pada materi yang diberikan dosen meski pun aku sering kehilangan kesadaran beberapa menit, beberapa kali, karena saking ngantuknya. Haha.
Demi orangtuaku juga, begadang mengerjakan tugas kulakoni, meski pun sebenarnya aku bisa saja memilih tidur dan melupakan tugas-tugas itu, membiarkannya membusuk bersama KRS yang lecek dan jas almamater yang tak jua dicuci meski pun telah lusuh. Ya, demi orangtuaku.
Tapi belakangan, aku merasakan bahwa aku kangen, bukan karena kuliahnya, tapi karena setelah kuliah, ada yang menjemputku dengan vespa biru dan mengajakku nonton film baru di kostannya. Haha, dan itu menjadi alasan keduaku untuk tetap pergi ke kampus meski pun hujan dan panas.
Kuliah, ngantuk, tugas-tugas, semua itu hanya cobaan "kecil" untuk membentuk diriku yang sebenarnya. Aku sempat berbincang dengan temannya A Apuy, A Abad namanya, dia bilang bahwa lulusan UIN paling dicari di dunia kerja. Aku heran, mana mungkin lulusan UIN yang notabene "paling banter" mulus masalah agama bisa dicari di dunia kerja? Lalu jawaban A Abad membuatku terenyuh, ternyata lulusan UIN dicari di dunia kerja karena hanya lulusan UIN yang mau mengerjakan tugas kantor hingga larut malam tanpa meminta uang lembur. Bayangkan, jadi tugas-tugas itu diberikan untuk membentuk mental seorang pekerja. Haha. Sebenarnya tidak, tapi memang jika ingin berhasil, maka harus bekerja dua kali lebih banyak dari orang biasa. Jadi, tugas yang banyak itu sebenarnya dinikmati saja, seperti badai, nantinya akan berakhir jua.
Dulu aku sering memprotes tugas yang banyak itu, tapi sebenarnya, hikmah dari aku mengerjakan tugas-tugas itu adalah akhirnya aku pandai merangkai kata. Bahkan sempat-sempatnya ketika mata sudah lelah dan kasur berantakan oleh buku-buku, aku menulis antologi cerpen tentang si buku merah bersama teman baikku. Meski pun imbasnya adalah teman-temanku merasa terusik dengan keberadaan puisi itu. Tapi bagusnya, aku bisa bebas mengeluhkan tugas yang banyak tanpa harus merasa munafik, sedangkan yang lain harus pura-pura tersenyum padahal di belakang mereka mengutuki tugas-tugas itu. Well, siapa sih yang mau begadang setiap hari mengerjakan pekerjaan yang begitu banyak? Just ask your self frankly!
Meski pun sebenarnya yang aku kangeni adalah sosok pria yang sekarang ada di waktu Indonesia bagian tengah alias WITA, tapi dalam aku pun tidak menolak untuk kuliah lagi, apalagi S2, apalagi beasiswa, apalagi Ausie... Haha.  Amiiinn...
Sebenarnya ingin kuketik sebuah status kangen pacar... Tapi, takut disangka alay dan manas-manasin tetangga yang lagi putus cinta. Jadinya just kangen, kangen sama semua orang yang mengangeni aku. Kalian kangen? Jelas, karena aku memang sangat ngangenin... :p

jangan buat aku bertanya


kenapa aku selalu bertemu orang yang seperti itu? apakah karena aku terus menerus berkubang di lingkaran orang-orang yang jenisnya seperti itu? ataukah karena aku tidak layak mendapatkan orang-orang yang lebih baik?
aku mencoba mendeterminasi kemungkinan bahwa aku ini tidak baik dan tidak patut mendapat yang lebih baik. lalu, apa lagi alasannya?
aku dikubangi dengan orang-orang yang salah, perbedaan antara satu dengan yang lainnya hanya satu derajat atau bahkan hanya beberapa myu mikron. Lalu, apa?
hey, apa juga alasanku mencari orang yang benar? apa aku siap untuk dibenarkan?
aku ini kan besi yang tak tahu diri, rusuk yang semakin bengkok karena kesalahan-kesalahan yang kubuat dengan sengaja.
lalu, perlukah aku bertemu dengan si pandai besi agar aku menjadi besi yang tahu diri? perlukah aku bertemu dengan kumpulan rusukku?
ataukah justru aku hanya akan diludahi seperti besi-besi lain oleh si pandai besi? ataukah aku justru hanya akan dihina sebagai rusuk yang tidak pas, cacat yang tidak bisa dipoles oleh bedak atau pun foundation?
hm.
apa sih fungsinya aku mencari tahu?
dari dulu aku selalu berusaha untuk tahu. agar tidak menjadi daun yang bebas digugurkan oleh ranting dan dipermainkan angin. lalu, bukankah itu fungsi ranting dan angin? untuk menjatuhkan dan mempermainkan?
untuk apa aku selalu bertanya tentang ini dan itu? untuk apa aku selalu menjadi seorang yang berbeda ketika semua orang lebih suka sesuatu yang sama?
aku ingin ngopi di pagi hari tanpa memikirkan apa yang akan kulakukan siang hari. lalu aku bebas gogoleran di siang hari tanpa harus terganggu dengan omongan tetangga tentang status pengangguranku. lalu aku bangun jam 9 malam dan mulai surfing di internet, mencari diriku dalam laman-laman situs maya. iya, mengepakkan sayap dalam kardus, ceritanya. sejauh apa aku bisa terbang?
hm.
lagi-lagi aku bertanya.
"Sabar."
ah itu lagi kata-kata yang keluar. aku. bosan. sabar.
aku lebih suka ditolak dari pada dibiarkan menunggu tanpa kejelasan. tolak aku! jangan buat aku bertanya-tanya. aku tak peduli dengan status pengangguran, daun kering, rusuk yang cacat, atau apa pun. aku bahagia ketika aku hidup untuk diriku sendiri.
jangan buat aku bertanya!


220812

dirgahayu


Aku tidak pernah melewatkan upacara 17 Agustus sebelumnya. Aku selalu setia menantikan Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa di tanggal 17 Agustus pagi dan tertidur kembali di kotaknya saat sore tiba.
Aku cinta Indonesia, aku cinta Indonesia seperti aku mencintai Furkon dan mencintai diriku sendiri. Ada rasa "klik" saat aku bertemu dengan Sang Saka. Ada rasa rindu juga. Meski pun hanya pada selembar kain merah putih.
Tapi ada yang tidak "hanya" pada selembar kain itu. Ada rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata. Dan entah mengapa aku selalu melawan titah Ayahku untuk diam di rumah saat tanggal 17 Agustus. Huh... Apakah ada pemuda dan pemudi lain di luar sana yang merasakan seperti yang kurasakan?
Di dekat lebaran ini, aku justru lebih tegang menghadapi penaikan bendera Sang Saka dari pada shalat ied di masjid. Aku tidak bisa tidak khawatir pada bendera itu. Aku tidak bisa untuk tidak khawatir pada pasukan benderanya. Juga pada angin yang akan mengibarkan sang bendera. Juga pada penggerek benderanya.
Ayahku, memintaku untuk diam di rumah, entah sudah berapa puluh kali kuabaikan. Tahun ini pun, tepatnya besok, aku sedang merencanakan untuk mengikuti upacara bendera lagi. Well, datang atau tidak besok, dirgahayu, Indonesia-ku...

karinding

Satu klakson kecil dan sebuah senyuman meruntuhkan dinding kaku di antara kita. Lalu, mengapa baru dimulai? Ada apa dengan sebelum-sebelumnya? Apakah kau terlalu takut untuk menyapaku duluan karena sekarang aku sudah memiliki seorang pacar yang dandanannya seperti preman pasar yang selalu mengawalku bersama genknya?
Aku masih orang yang sama. Masih aku yang dulu. Masih si nona novelist yang butek ide dan selalu murung. Dan aku yakin kau pun masih si tuan striker, pencetak gol terbanyak di setiap kompetisi bola di kampus. Ya, terakhir aku dengar kau menjadi striker terbaik di kampus kita. Selamat!
Aku selalu khawatir dan selalu berdoa untuk kekalahanmu setiap kali kau bertanding, agar kau tak perlu sakit lagi disliding oleh lawanmu atau dibody oleh lawanmu. Tapi sepertinya kau menyukai dunia yang keras seperti itu.
Kapan terakhir kali kita bicara dalam ikatan "teman"? Oh ya, hampir dua tahun lalu. Kau begitu marah hingga menendangku secara tidak terhormat dari jabatan ketua bidang PAO, sejak saat itu aku tak pernah lagi bicara denganmu. Sepertinya ada arus yang membawaku semakin jauh darimu dan ada godaan lain yang muncul di hadapanmu lalu kau menangkapnya. Hehe.
Hidup memang seperti itu, kemarin kau mengantarku memilih buku di toko buku, kemudian aku sendirian berdiri di depan rak buku dalam toko buku berjam-jam hanya untuk memilih satu buku. Kemudian aku jarang membeli buku lagi dan akhirnya aku berubah menjadi gadis gunung. Tapi kau semakin terkenal dengan jabatanmu, semakin mahsyur dengan gadis-gadis yang kau dekati. Haha. Lucu.
Well, mungkin hanya bahasan tentang karindinglah satu-satunya alasan aku masih bicara denganmu. Selain dari itu, mungkin kita takkan bicara apa-apa lagi.
KARINDING URANG, WOY!

13 Agustus 2012

menghitung kancing


Aku sering kepikiran kenapa tulisanku gak sebagus tulisan orang-orang yang notabene adalah seorang "penyair". Well, i'm trying to be like them, but semakin aku nyoba, semakin tulisan aku acak-acakan kemana-mana. Aku udah bikin beberapa prosa, tapi aku sendiri belum ngeh prosa itu sebenernya apaan. Kadang aku iseng-iseng nyari di mbah google, tapi gak juga bikin aku inget apa sebenernya prosa itu. Akhirnya, aku lebih sering bikin tulisan yang gak jelas berisi curhatan aku.
Pengen banget sih bikin cerpen yang bakal "dipuji-puji" karena susunan katanya yang unik dan se-pop Dewi Lestari, tapi alah pop-nya aja aku gak ngerti, gimana mau bikin tulisan yang nge-pop? Kadang kepikiran juga pengen bikin kumpulan cerpen kayak Filosofi Kopi atau Rectoverso, atau kumcernya Djenar Masayu yang buat aku begitu vulgar dan "kasar". Tapi nurani aku bilang kalo aku gak perlu bikin tulisan seberani itu untuk sekedar ingin dipuji. Tujuannya pengen dipuji, yang ada malah aku dicela karena bahasa yang gak pantes diumbar dimuka umum. Kayak tulisan aku yang judulnya "ibu-ibu yang tidak lagi ibu", setelah aku posting, rasanya hati kecil aku bilang bahwa aku terlalu ekstrim ngedeskripsiin apa yang aku liat di sekeliling. Aku kepikiran juga tentang diri aku sendiri, apa aku udah lebih baik dari mereka?
Dari dulu aku emang gak kepikiran buat jadi penulis terkenal, cuma pengen jadi penulis best seller aja. PLAK! Tapi aku masuk jurusan keguruan yang notabene bakal jadi guru, bukan penyair. Dan udah kebukti puisi-puisi yang aku bikin itu kontroversial di jurusan aku karena menghujam ke masing-masing personal.
Aku sempet mikir, kenapa aku gak bikin tulisan yang layak untuk dijual? Tapi, malu juga sama temen-temen yang real penyair, mereka aja gak berpikiran buat ngejual tulisan, masa aku yang gak ada skill sama sekali malah pengen ngejual tulisan? 
Akhrinya, aku malah ngitung kancing tentang milih masa depannya aku. Antara jadi guru, penulis dan wiraswastawati. Heumh, atau bahkan pengangguran. Tapi yang jelas, dengan atau tanpa tulisan, aku harus tetap hidup. Meski pun aku pengennya jadi penyair kayak orang-orang yang pinter nulis itu, tapi aku sadar, mereka juga pada akhirnya nyari kerja kok, tidak menghidupi diri dari tulisan. Jadi, aku pun sama.
:)

ibu-ibu yang tidak lagi "ibu"

Ibu adalah sosok penyayang. Sosok yang lekat di pikiran kita dengan pakaian rumahan, terdiri dari baju daster sepanjang lutut dan berlengan 3/4. Warna daster yang terlihat kusam dengan motif bunga atau batik. Ah, itu dulu! Ibu-ibu kini menjelma menjadi sosok "gadis" muda, dengan celana jeans skinny dan kaos oblong yang jika duduk maka setengah pantatnya akan terlihat dan WOW, sosok "ibu" itu hilang begitu saja. Rasanya seperti melihat pelacur tua saja, bedanya pelacur itu memiliki seorang suami, kehidupan yang layak dan anak-anak yang sah secara agama dan hukum.
Bedanya antara ibu dan gadis muda hanya pada pantatnya saja. Gadis muda berpantat kencang, sedangkan ibu-ibu berpantat lembek dan "turun". Apalagi ketika mereka memakai celana legging lalu dipadu dengan kaos oblong yang hanya menutupi seperlima pantatnya. BEUH, semua lekuk tubuh terlihat, tak ada bedanya antara ketika mereka berpakaian dengan telanjang. Menggoda? Ingin meludahi iya.
Ibu-ibu itu sudah kehilangan "wibawa"-nya sebagai seorang ibu. Ibu yang terlihat "keibuan" di jalanan sekarang bisa dihitung dengan jari, yang lainnya sudah menjual karisma mereka di toko obral legging, skinny jeans dan hot pants dengan harga lima hingga delapan puluh ribu.
Entah apa yang ada di pikiran ibu-ibu itu. Mataku sering nakal dengan memperhatikan lekuk tubuh ibu-ibu itu, andai aku lelaki, maka akan kuseret ibu-ibu itu satu persatu ke tempat sepi lalu kuperkosa saja, biar mereka tahu diri sedikit. Seluruh ibu di Indonesia, terutama, wajib memiliki anak yang berani mengomentari pakaian ibu mereka jika pakaiannya dirasa "tidak pantas" untuk dipakai seorang ibu.

Untuk seluruh ibu, dimana pun kalian berada, termasuk aku nanti,
ibu, modislah dengan pengetahuan dan kecerdasan, bukan dengan pakaian, Anda seorang ibu, bukan seorang pelacur. Terimakasih.

toleransi di Ngabuburit Komunitas

Sore tadi saya ikut acara ngabuburit komunitas di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara itu adalah acara ngabuburit bersama 15 komunitas yang ada di UIN. Bagi saya yang sudah ex-mahasiswa, 15 komunitas itu sudah terbilang sangat banyak. Bagaimana tidak, selama ini saya hanya mengenal beberapa komunitas diantaranya Sasaka, Verstehn, Kabel Data, Kaum Desainer dan beberapa komunitas di bawah HMJ. Lalu bagaimana dengan sisanya yang amat banyak itu? Ternyata UIN juga punya komunitas shuffle dance, sumpah andai aja saya tau ada komunitas itu dari dulu, mungkin saya udah gabung deh. Atau komunitas yang gak kalah keren, komunitas biola gitu, saya kan pengen banget bisa mahir main biola, ah sayangnya saya baru ngeh setelah lulus. Dan setelah lulus ini bukan lagi waktunya main-main. Tapi yang mau saya ceritain di sini bukan tentang komunitas di UIN, masalahnya saya juga kenal bukan sama komunitasnya, tapi sama orang-orangnya aja. Haha.
Di depan acara Ngabuburit Komunitas itu muncul sebuah stand, tiba-tiba mereka memasang speaker yang begitu keras dan mengudarakan sebuah pidato off air tentang keislaman. Saya tau kok bulan Agustus ini bulam Ramadhan. Saya tau kok dengan lambang bendera khilafah itu mereka adalah UKM keislaman, lalu apakah harus memasang speaker sekeras itu saat "tetangganya" sedang melakukan hajat besar?
Acara Ngabuburit Komunitas itu dimulai sekitar jam setengah 5, suara si MC terdengar samar dari jarak 3 meter. Lalu, si speaker itu muncul dan menenggelamkan semua suara yang ada. Jujur saja saya tersinggung dengan perlakuan orang-orang berbendera khilafah itu. Mereka pikir yang sedang bikin acara di depan rektorat UIN itu non-muslim?
Pahala puasa saya muruluk ketika saya dengan sengaja mengeluarkan ucapan, "sirem aja speaker-nya!", lalu pria-pria di stand itu melotot sama saya. Sekalian saja saya tambahkan, "tajong weh tajong!". Tolonglah, manusia, saya sedang berusaha memperbaiki diri menjadi berprikeislaman. Tapi yang muncul di hadapan saya bukan sikap toleransi, justru malah sikap arogansi dan keegoisan.
Saya kemudian teringat pada kejadian tahun lalu. Tahun lalu komunitas Rumput akan membuat acara kajian sore sambil ngabuburit. Saya sudah berancang-ancang dari sebulan sebelumnya untuk meminjam sound system dari salah satu HMJ, mereka sudah bilang oke dan sehari sebelum acara, justru pihak HMJ saling lempar melempar tanggung jawab yang akhirnya saya tidak bisa meminjam sound system tersebut. Kecewa jelas, kena tegur ketua komunitas saya pun jelas. Akhirnya karena saya kesal, saya maki-maki si sekretaris HMJ itu beserta ketua HMJ-nya (setelah buka puasa). Sungguh, sikap saya tahun lalu bukan sebuah cerminan yang patut ditiru oleh siapa pun. Tapi saya tidak menyesal, masalahnya saya juga kena marah atasan saya. Haha.
Nah, tadinya sempat terbersit untuk memaki si UKM itu. Tapi lalu saya beristighfar dalam hati. Saya sudah espede yang artinya sarjana, orang yang harus berpikir lebih luas dan lebih bijak dari pada yang belum sarjana alias tidak lulus-lulus dan alias tidak akan pernah lulus. Jadi akhirnya saya memilih meninggalkan tempat itu hingga speaker SIALAN itu berhenti berbunyi dan saya bisa menikmati acara Ngabuburit Komunitas.
Saya suka berpikir, apa mereka tidak pernah ngeliat iklan di TV tentang toleransi antar umat beragama? Mereka berkoar tentang kapitalisme bla bla bla, tentang sekulerisme bla bla bla, sedangkan mereka tidak berkaca bahwa mereka sendiri berlaku seperti kafir orang yang bukan islam. Sesama saudara seagama saja tidak ada toleransinya. Lalu, pintu surga manakah yang akan terbuka untuk manusia yang seperti itu.

CATET!
PINTU SURGA MANAKAH YANG AKAN TERBUKA UNTUK MANUSIA SEPERTI ITU?
saya emang gak kenal kalian siapa. kalian pun juga pasti gak kenal saya siapa. tapi bukankah lebih indah kalo kita bisa damai dalam sikap? toh kalian bukan khawarij, kan?

berubah



emang banyak perubahan yang terjadi, kadang eh bukan kadang sih, aku emang egois soalnya gak mau nerima perubahan yang terjadi. hampir setiap perubahan yang ada aku protes. kalo gak ada yang mau denger, aku ambil sikap untuk walk out. dan udah banyak hal yang "berubah" itu aku tinggalin. dimulai dari orang, haemje, organisasi sampe yang terakhir adalah komunitas.
sekilas aku emang makhluk paling egois. but, buat aku, yang berubah itu yang kayak gimana dulu. kalo untuk berubah ke arah yang kurang baik, kenapa harus berubah? stagnan juga gak apa-apa buat aku mah asal tidak menjadi lebih buruk. tapi gak semua orang sependapat sama aku. lagipula aku cukup sadar diri bahwa aku bukan siapasiapa. jadi, dari pada berkecamuk di otak aku, lebih baik aku tinggalin.
sumpah, kalo dipikirpikir, aku tega banget ninggalin komunitas yang udah seanget kopi di puncak kerenceng. tapi mau gimana lagi,  kan aku berpikir maka aku ada. aku berpikir, maka aku pergi. istilah kerennya nih, aku keluar gua dan bertemu komunitas. kukira komunitas itu adalah dunia luar, ternyata komunitas itu masih bagian dalam gua. jadi sekarang aku keluar lagi dari gua komunitas untuk nyari cahaya. kalo udah dapet, nanti aku balik lagi ke dalam gua untuk ngajak semua orang ngeliat dunia luar.
lalu aku bikin komunitas baru? sebenernya engga juga. toh buat aku, komunitas itu tetep wadah yang special di hati. tempat pertama aku ngerasain nyaman sama orangorang asing. tempat aku bisa samasama gogorowokan tapi aku yang paling cepet sadar bahwa gogorowokan tidak menyelesaikan masalah. tempat buayabuayaan, kadang juga jadi tempat curhat paling oke. hahaha. tapi, karena namanya komunitas, bukan perkumpulan orang karena kedekatan personal, jadinya aku tetep harus tegas.
aku masih tetep berpegang teguh pada pemikiran aku. "tidak mengerti adalah proses berpikir". toh gak semua orang diciptakan dengan taraf berpikir yang sama. kalo gak sejalan, ya buat apa dipaksain?
berubah dan berubah. semua orang berubah. aku juga berubah sedikit demi sedikit, meski pun aku sendiri gak punya ukuran kemana arah perubahanku, tapi setidaknya ketika ada karya dan masih ada proses berpikir, maka setidaknya juga aku masih dalam proses berubah menjadi yang lebih baik.


"apakah metamorfosis adalah proses evolusi? kata siapa masyarakat baduy adalah kaum jadul, justru mereka itu adalah masyarakat postmo, kita yang justru masyarakat jadul! siapa Derrida? bagaimana pandangan semiotik ala Roland Barthes?"
aku merindukan masamasa 'bodoh' dan 'tidak mengerti'.

alhamdulillah


dari satu hari, kita nginjek dua bulan. terus terus terus sampe akhirnya setengah taun. waktu terus berjalan sampe akhirnya kita setaunan. aku gak tau kita bakal terus barengan sampe berapa lama lagi. just alhamdulillah. alhamdulillah yang disebut sama ayah aku waktu dia nanya, "dia sayang sama kamu dan baik sama kamu?"
alhamdulillah yang disebut sama ibuku waktu dia nanya, "dia setia sama kamu?"
yeah, just alhamdulillah aja. Toh apa lagi yang bisa diharepin? Di dunia ini pangeran yang belum sold out kan cuma adiknya pangeran William, masih bocah. ntar kalo aku makin keriput, eh dia malah puber. gak lucu kan!
aku gak sempet ngitung berapa hari tepatnya kita udah bareng. aku juga gak sempet ngitung berapa bulan tepatnya kita ngabisin waktu buat berbagi tawa. dan tahun pun aku lupa kalo bukan kamu sms kamu yang ngingetin kalo kita udah ngelewatin satu kali anniversary.
whadda journey!
nanti, di tulisan yang ntar ntar akan ada cerita kalo kita ngelewatin hari hari sebagai pasutri alias pasangan suami isteri. terus cerita lagi tentang anak dan cerita tentang perkembangannya dia dari hari ke hari.
aku masih penasaran pengen punya tato. aku masih gak suka sayap ayam apalagi cekernya. aku juga masih suka gogorowokan. gak ada yang berubah karena kamu itu ada untuk melengkapi, not to fix me. soalnya kayak kata evanesence, don't try to fix me i'm not broken. i am not a broken thing, so you don't have to try to fix me. just complete me, inside and out, you're my whole universe...
sudahi saja dulu, aku mau merasakan nikmatnya tidur sebelum sahur...

kena gombalan


"Ka! Itu liat coba, bulannya full, mantep deh kalo kita naik gunung, gak perlu pake senter. Tinggal jalan aja kayak jalan siang-siang."
"Hayu atuh yu kita naik gunung sekarang."
"Engga ah. Akunya gak sehat. Ntar gak bisa nikmatin pemandangan."
"Tapi sebagus apa pun bulan itu. Ada yang lebih bagus."
"Apaan?"
"Kamu. Ye ye ye."
Aku tersenyum. Menyandarkan pipiku ke bahunya. Untung saja ini malam, coba kalau siang, dia pasti berjingkrak senang sudah membuatku geer.
"Ye ye ye..." Serunya lagi.
"Apaan?"
"Kikitku cepet sembuh yah...." Katanya sambil memegang tanganku yang melingkar di perutnya.
"Iya."


i miss that beautiful moment. really...
dan ada sesak di dada saat menulisnya, sing sungguh yawloh.

gerafik


gerafik aktivitas aku setaun terakhir begitu mengecewakan. Apa coba? Gak ada satu gunung pun yang berhasil aku taklukan. Gak ada satu lembah pun yang aku datangi. Pantai? Backpacker? Tempat wisata? Semuanya cuman jadi kumpulan bulesyit di benak aku.
Iri jelas kerasa pas ngeliat orang lain bisa ngelakuin lebih. But, akhirnya aku juga sadar kalo aku emang udah milih untuk fokus ke sekeripsi dulu selama setaun terakhir. Dan gerafik aku yang mengalami penurunan derastis itu gak jadi sesuatu hal yang ganjil buat aku.
okelah taun ini hubungan aku ngalamin peningkatan, istilahnya tunangan or khitbah tapi aku ngerasa tunangan yang gak perlu. toh emangnyah aku mau sama cowok yang mana lagi? aku gak perlu tali di jari aku, gak ditaliin aja aku mah gak bakalan kabur kok. peningkatan juga buat semangat aku tapi penurunan fisik aku. ya namanya juga udah gak pernah olahraga.
kacaw kacaw kacaw! mentang mentang ada istilah fiancee, jadinya aku kalo mau pergi kemana mana mesti atas sepengetahuan si pacar aku. selain tau, beliau juga mesti nganter. Dan kalian pasti gak bakal bisa ngebayangin betapa sibuknya pacar aku. long distance pula. gak masalah sih buat aku mah. malah rada mending kalo pacar aku jauh dari aku, jadinya aku bisa ngarenghab dari "keingintahuannya". si pacar aku itu terobsesi untuk segera mengucapkan ijab kabul dan aku mengacungi jempol aku buat semangetnya yang adubillah itu. ya semoga aja kecengan bulan si pacar aku itu tepat. ahaha.
masalahnya, aku udah gak sabar pengen jalan jalan. dan aku benci banget dikekang begini. lah nikahnya masih beberapa bulan lagi, masa dipinggitnya dari sekarang? gak tahan nih jiwa aku! rasanya aku pengen ngelemparin tivi tiap kali iklan rokok yang punya semboyan my life my adventure. nah aku? my life your decision. ampun deeeehhh.
salah kromosom X aku sih, kenapa coba ada duwa? kalo aja satunya Y, pastinyah aku tuh bakal bebas kemana pun aku mau pergi. jleb jleb jleb moment-lah kalo ngebayangin setaun ini aku teh gaweannya ngerem diri di kamar, dikelilingin sama buku-buku, duduk di depan leptop, autis sekeriptis tea.
tapi setelah ini aku mau usaha bikin gerafik aku naik lagi. tentunya setelah aku sehat. soalnya digeder syuting 5 hari 5 malem aja aku langsung tepar begini. semoga akunya ge cepet sehat. pengen naek gunung ah!


Jodoh ada di tangan Tuhan, tapi Tuhan tidak bertangan. Jadi, jodoh ada pada pilihanku dan pilihanmu. Jika aku tidak berjodoh denganmu karena ingin-Nya, aku akan tetap menjalani hidup seperti manusia normal, membangun kembali perasaan dengan orang yang lain dan mulai mencintai orang yang baru.
Bodoh itu adalah ketika tidak berani kehilangan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik. Kalau begitu, sebut saja aku bodoh karena prinsipku. Karena kau telah menjadi bagian dari prinsipku. Bahwa jika bukan kamu, maka aku tidak akan memilih lagi selamanya. Bodoh seumur hidup tak apa asalkan tidak kehilanganmu, karena kamu bukan baju yang bisa dipilih dan dibuang begitu saja.
Aku tidak peduli meski pun nanti aku akan diberi istilah "jomblo ditinggal kawin", "jomblo ditinggal mati", "jomblo ditinggal yang lebih baik", terserah! Tapi aku tidak akan membiarkan titel itu menghampirimu. Kamu tidak akan pernah tahu betapa berharganya kamu di hidupku. Kamu adalah pilihan pertama dan terakhir.
Aku mencintaimu dalam hati ini. Biarlah tulisan ini terbaca gombal. Amiiin.

reuni



Aku malas bereuni. Karena;

"Ya iyalah kamu lulus duluan, kamu kan kuliahnya di UIN, jurusan Biologi lagi. Biologi kan gampang."
Itulah kalimat yang akan terucap ketika mereka bertanya tentang status kemahasiswaanku. Lulus duluan dan dapat IPK cumlaude tidak akan membuat puji-pujian keluar untukku.
Lain cerita jika yang lulus duluan adalah temanku yang jurusan Kimia. "Hebat ya! Kimia loh, kimia kan susah!"

"Pacar aku kan suka ngejemput aku naik ferari."
"Minggu kemarin aku tunangan."
"Bulan depan aku nikah."
"Anakku udah bisa ngerangkak."
"Aku punya cincin berlian baru."
Semuanya berisi obrolan busuk. Sebuah kebohongan yang dililit oleh rasa gengsi.
Lalu, apa aku juga harus membuka cerita-ceritaku dengan Furkon dalam forum bodoh itu?
"Iya, aku punya pacar sekarang. Namanya Furkon. Aku sayang dia, dia sayang aku."
Lalu hening.

Reuni itu membuka rasa sakit dan dendam masa lampau. Waktu bekerja keras untuk membuat segala hal tampak baik-baik saja dan memplester luka-luka yang ada. Namun nyatanya, reuni adalah gerbang untaian bunga yang isinya neraka.
Silaturahmi apanya?
Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang.
Cih!

5 Agustus 2012

pertanyaan



Sejak pertama kali aku mengungkapkan pemikiranku dalam kata di kelas Kajian komunitas Rumput, pertanyaan itu selalu muncul setiap kali aku sedang merenung. Kenapa Tuhan menurunkanku ke bumi? Kenapa Dia tak bertanya dulu apakah aku mau atau tidak diturunkan ke bumi?
Tapi pertanyaan itu seperti pertanyaan retoris. Aku dianggap Ateis ketika pertanyaan itu kulontarkan. Bagaimana tidak? Mana mungkin aku, yang dulu berumur 3 bulan dalam bentuk janin, berani membuat perjanjian dengan Tuhan, sang pemilik jagad raya dan seisinya? Kalau aku seberani itu, mengapa aku tak sekalian jadi Tuhan saja?
Hari ini pun aku masih mempertanyakan mengapa Tuhan menurunkanku ke bumi. A Hafidz bilang bahwa aku tidak perlu mempertanyakan mengapa Tuhan tidak bertanya terlebih dahulu, karena segala sesuatu di alam raya ini adalah milik-Nya, dan Dia berhak melakukan apa pun pada ciptaan-Nya, sesuka hati-Nya. Tapi, bukankah Tuhan terlihat sangat otoriter dalam kalimat itu? Bukankah Tuhan menciptakan Qada' dan Qadar, takdir yang bisa dirubah dan tidak bisa dirubah? Lalu jika semua hal bergerak sesuai keinginan-Nya, mengapa harus ada neraka ketika surga lebih baik?
Furkon bilang bahwa tujuanku diturunkan ke bumi adalah untuk mengingat kembali perjanjian apa yang pernah kubuat dengan Tuhan dahulu di dalam rahim Ibuku. Bukankah Tuhan juga terlihat curang dengan membiarkanku lupa sehingga Dia bisa merubah isi perjanjian sesuai keinginan-Nya?
Hari ini aku bertanya, mengapa Tuhan menciptakan gunung yang menjulang tinggi, dipenuhi pohon-pohon kayu yang lebat, yang kayunya bisa dijual dengan harga mahal, tanpa sebuah pagar pembatas? Bukankah Tuhan sengaja membiarkan agar hutan-Nya digunduli seenak manusia dan membiarkan longsor itu ada? 
Lalu tiba-tiba saja terbesit di pikiranku sebuah pertanyaan. Mana yang akan kamu pilih, tidak pernah diturunkan ke bumi dan tidak pernah punya ayah, ibu adik dan Furkon atau diturunkan ke bumi dengan bertemu mereka dan merasakan segala nikmat--sesak hidup?
Aku sepertinya dulu sering mengobrol dengan Tuhan. Dan perjanjian yang kami buat tidak terjadi dalam satu atau dua hari, tapi jutaan bahkan hingga angka pun tak sanggup menghitungnya. Tuhan memberikan detil-detil yang akan terjadi padaku, memberikan bahagia dan ketidakbahagiaan padaku. Lalu aku sadar, pertanyaannya bukan mengapa aku diturunkan ke bumi. Tapi, mampukah aku bersyukur atas segala sesuatu yang kumiliki dan tidak kumiliki?
Andai saja aku tidak pernah diturunkan ke bumi, mungkin takdir Ayah dan Ibuku untuk bersama tidak akan pernah ada. Andai saja aku tidak pernah ada, maka Furkon pun tidak akan pernah bertemu dengan gadis yang akan sangat dicintainya. Mana yang kupilih?
Jawabanku sudah jelas, sama seperti jawabanku saat aku dan Tuhan membuat perjanjian. Aku mau diturunkan ke bumi, merasakan bahagia dan ketidakbahagiaan, mensyukuri segala hal, berusaha tetap takwa pada-Nya dan aku mau merasakan kasih sayang dari mereka yang menyayangiku.
Setelah itu, aku baru sadar bahwa aku perlahan mengingat kembali perjanjianku dengan-Nya. Thanks for the answer, G!