Aku tidak pernah melewatkan upacara 17 Agustus sebelumnya. Aku selalu setia menantikan Sang Saka Merah Putih berkibar di angkasa di tanggal 17 Agustus pagi dan tertidur kembali di kotaknya saat sore tiba.
Aku cinta Indonesia, aku cinta Indonesia seperti aku mencintai Furkon dan mencintai diriku sendiri. Ada rasa "klik" saat aku bertemu dengan Sang Saka. Ada rasa rindu juga. Meski pun hanya pada selembar kain merah putih.
Tapi ada yang tidak "hanya" pada selembar kain itu. Ada rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata. Dan entah mengapa aku selalu melawan titah Ayahku untuk diam di rumah saat tanggal 17 Agustus. Huh... Apakah ada pemuda dan pemudi lain di luar sana yang merasakan seperti yang kurasakan?
Di dekat lebaran ini, aku justru lebih tegang menghadapi penaikan bendera Sang Saka dari pada shalat ied di masjid. Aku tidak bisa tidak khawatir pada bendera itu. Aku tidak bisa untuk tidak khawatir pada pasukan benderanya. Juga pada angin yang akan mengibarkan sang bendera. Juga pada penggerek benderanya.
Ayahku, memintaku untuk diam di rumah, entah sudah berapa puluh kali kuabaikan. Tahun ini pun, tepatnya besok, aku sedang merencanakan untuk mengikuti upacara bendera lagi. Well, datang atau tidak besok, dirgahayu, Indonesia-ku...
0 komentar:
Posting Komentar