minder

Aku minder saat harus bertemu dengan orang-orang banyak. Aku tidak terbiasa bicara di depan orang banyak karena sebelumnya tak ada orang yang menginginkanku untuk bicara. Aku terbiasa untuk duduk di belakang, dikucilkan dan dihina.
Hingga suatu ketika, si gadis yang selalu dihina ini menjadi bintang, guru-guru memujiku karena kemampuanku dalam pelajaran komputer. Dulu orang yang bisa dengan mahir memakai komputer hanyalah para sekretaris atau perkantoran saja. Lalu aku, seorang gadis berumur 13 tahun dapat dengan mahir mengoprasikannya. Hal itu sedikit membuatku punya "muka" untuk bertemu dengan orang-orang di dunia ini dan untuk bicara di depan umum.
Kemudian di SMA, saat aku berumur 16 tahun, guru komputerku lagi-lagi memanggilku, dia memintaku untuk menjadi orang pertama yang mengisi tempat "ketua" dari organisasi teknologi informasi sekolah. Sebuah komunitas yang bergerak di bidang programming dan desain. Karena aku merasa bahwa aku bisa karena terbiasa, maka aku mengundurkan diri dan mengajukan orang lain. Aku semakin punya "muka" untuk menghadapi dunia.
Lalu di perkuliahan, saat orang lain sudah sibuk dengan handphone-nya yang canggih, aku hanya memiliki sebuah handphone jadul dengan layar yang pecah, sehingga aku hanya bisa membaca pesan dari layar di bawahnya. Tapi dosen komputerku lagi-lagi memuji kemampuanku dalam hal teknologi informasi. Aku kini punya "muka" setelah mendapatkan nilai A, bahkan dosen itu bilang bahwa dia belum pernah bertemu dengan mahasiswa mana pun yang semahir aku.
Sekarang, tanpa komputer pun aku bisa punya muka untuk menghadapi dunia. Bahkan meski pun kemampuanku hanya bercerita dan menulis tanpa ilmu tentang kepenulisan, aku masih bisa berkarya dan punya pembaca.

Aku kemudian teringat cerita kakak kelasku, Acil namanya. Dia berasal dari dusun terpencil, pinggiran kota, yang tidak ada sinyal handphone apa pun dan untuk bersekolah, harus melewati banyak tanjakan dan turunan. Dia pun dulu merasa minder. Tapi Tuhan menganugerahinya kemampuan melukis. Dari lukisannya, dia bisa memberi vespa, membiayai kuliahnya, menghidupi dirinya dan melakukan banyak perjalanan yang "wow".
Aku kemudian melihat pacarku sendiri, Furkon. Dia pun berasal dari daerah terpencil, tapi dengan kepintarannya, dia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Aku bahkan kagum padanya karena dia mempelajari begitu banyak hal. Dan itu tidak kulihat dari orang-orang yang dulu menghinaku. Seujung tai kukunya pun tidak.

Lalu kita (manusia) harus menjadi yang mana? Menghina seseorang tidak menjadikanmu lebih baik. Dan bagiku sekarang, tidak perlu minder. Toh orang tidak tahu berapa uang yang tersimpan di dalam dompet kita. Mereka juga tidak tahu seberapa jauh kita sudah berusaha dan seberapa sakit hati kita karena terhina. Tetap saja memandang ke depan.


0 komentar:

Posting Komentar