"Tau gak, si Io kan udah pindah agama. Dia pindah jadi Protesman."
Aku diam. Tak banyak berkomentar meski pun pertanyaan di otakku sudah menekan dua gigi seriku. Tapi daun bibirku masih cukup kencang untuk menahan dan mengingat bahwa aku tidak memiliki hak sedikit pun untuk menanyakan pada orang ketiga, eh tak tahulah dia orang ke berapa. Jadi aku putuskan untuk menyimpan semua pertanyaanku untuk Io sendiri nanti. Dan tulisan ini untuk menceritakan perdebatan dalam hatiku, bukan menceritakan Io yang pindah agama
Aku dan Io sudah berteman sejak awal aku masuk kelas 1 SMP. Kebetulan aku sekelas dengannya. Io adalah anak yang ceria, dia berjalan berkeliling untuk menjabat satu persatu teman barunya dan berkenalan dengannya. Sudah bisa dipastikan Io adalah calon "orang hebat" di masa yang akan datang dengan sikapnya yang baik hati dan menyenangkan itu.
Aku dulu adalah orang yang pemurung dan pendiam. Kadang sampai sekarang aku masih merasa seperti itu. Dan dulu, Io adalah orang yang paling sering mengajakku bicara. Dia tahan untuk berdiri di depan mejaku berlama-lama untuk mengobrol. Maklum PNS
Aku adalah cinta monyetnya Io. Aku ikut ekskul PMR, karena dia berharap bisa pacaran denganku dan tahu aturan di organisasi bahwa tidak boleh pacaran sesama anggota, maka Io ikut ekskul lain, Paskibra. Setiap Jumat sore, kami selalu pulang bareng meski pun cuma sampai terminal angkot karena aku pulang dengan naik angkot sedangkan Io rumahnya dekat dengan sekolah.
Aku dan Io bertemu lagi di SMA dengan packaging Io yang lebih baik lagi. Dia sekarang adalah seorang ketua OSIS. Dia masih ramah seperti dulu. Sayangnya aku dan Io sama-sama kapok, dulu waktu SMP, kami habis-habisan diledek karena Io menyukaiku. Padahal mungkin jika kudeskripsikan, perasaan Io padaku dulu itu tidak lebih dari sekedar kagum atau senang berteman. Jadi meski pun kami masih suka saling menyapa, kami jarang bahkan tidak pernah terlihat bersama.
Aku dan Io sama-sama anggota OSIS. Meski pun aku berteman dekat dengan Io, aku bersaing dengannya untuk menjadi ketua OSIS (dulu). Tapi aku mengundurkan diri. Aku kontra untuk memilih Io menjadi ketua OSIS, mungkin Io berpikir aku membencinya. Padahal sebenarnya bukan masalah bagiku. Tapi aku tahu Io, dan teman-temannya memperjuangkan Io untuk menjadi ketua OSIS bukan karena Io mampu, tapi untuk menjadikan Io sebagai dagelan di sekolah. Sayangnya Io tidak pernah tahu. Mungkin sampai detik ini.
Di SMA, Io punya kebiasaan latah, sedikit bertingkah seperti perempuan dan tidak disiplin. Alasan latah dan bertingkah seperti perempuan itulah yang membuat teman-temannya suka mengganggu Io. Rasanya sedih melihat Io dikerjai saat SMA dulu. Tapi apa daya.
Di kuliahan, aku tidak lagi bersama Io. Aku hanya mengobrol dengannya lewat chatting di situs pertemanan atau dia menunggu dia mengirimiku pesan. Hari ini aku baru mencari akunnya di situs pertemanan, mungkin dia sudah menghapusnya atau mungkin dia sudah mengganti namanya karena masalah pindah agama itu.
Aku jadi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja kurubah dulu untuk merubah keadaan yang sekarang. Tapi percuma, seperti apa pun fisik Io, seperti apa pun pemikiran Io sekarang, bahkan pindah agama atau tidak beragama sekali pun, tidak membuatku ingin membuang Io atau menjadikannya bahan perbincangan gosip ketika reuni. Aku hanya tinggal di Indonesia, aku bukan bagian kaum minoritas yang dengan tega men-cut rezeki Lady Gaga. Aku tidak sekeji itu. Aku hanya tinggal di Indonesia, aku masih punya pendirian.
Io, ayo semangat!
0 komentar:
Posting Komentar