beasiswa

aku tergila-gila pada kata yang satu itu. Seolah semua pusat kehidupanku berada didalamnya. Karena aku mengagungkannya, men-Tuhan-kan kesempatan emas itu dalam hatiku. Tak ada lagi yang bisa menaikan kehormatanku di depan mata kedua orang tuaku kecuali beasiswa, meskipun sebenarnya mereka bangga padaku atas apa yang telah kulakukan dan menerima semua kegagalanku, tapi aku perfeksionis! aku idealis! dan aku muda! maka aku takkan mau terendahkan dengan sebuah kata kegagalan tanpa menaikan lagi kehormatanku.

aku tak pernah berhenti mengejar sesuatu, selalu kukejar, tak peduli orang berkata apa padaku, tak peduli bagaimana semua orang mencemoohkanku, aku bisa jadi tuli, bisu, buta ketika aku sedang mengejar si pusat kehidupanku. Tuhan tahu betapa kerasnya usahaku, Tuhan juga tau bagaimana caraku melakukannya dan seberapa tebal semangatku untuk menggapainya.

Aku berhenti mengejar ketika aku berhadapan dengan Tuhan, bukan Manusia. Ketika Tuhan berkata, "Sudah cukup sampai disini...", dan dia menaikan kehormatanku satu derajat dari keterpurukanku kemarin. Aku tak pernah peduli apa kata makhluk bernama Manusia. Ayahku, Ibuku, tahu ketika aku mulai berlari mengejar sesuatu, takkan kulepaskan hingga kudapatkan, takkan berhenti hingga kuraih dan takkan kuabaikan hingga kucapai.

Kemarin, Manusia telah menghentikan langkahku. Aku dibuatnya tak berdaya ketika dia berkata, "TIDAK", sebuah penolakan untukku. Aku ingin sekali memaksanya, menyikutnya hingga dia mau memberikan apa yang kuinginkan. Aku kecewa! Tak ada yang tahu seberapa dalam rasa gagalku hingga mereka mendengar tangisku, tak juga mereka tahu betapa malunya aku hingga mendengar jeritanku.

Aku hanya ingin mencoba. Anggap saja aku anak kecil yang bandel, tak akan berhenti memanjat pohon sebelum aku terjatuh, dan aku siap dengan segala kemungkinan, kaki patah, gegar otak, bahkan kematian sekalipun. Dan resiko itu juga yang siap kuhadapi saat aku meminta ijin untuk meraih sebuah beasiswa pada Manusia-manusia itu. Mereka tak ijinkan aku memanjat, mereka bahkan tak memperbolehkanku melihat setinggi apa pohon itu, mereka seolah menyembunyikan pohon itu dan ketika aku mencoba mengintip, pohon itu sudah mereka tebang dan aku tak bisa berkata apa-apa/

Mengapa Manusia itu tak bisa menganggapku sebagai anak kecil yang penuh rasa ingin tahu? Aku memang bukan dari golongan keluarga miskin yang untuk makanpun sulit, tapi terkadang makanpun sulit, aku mengejar beasiswa bukan untuk uangnya, tapi namanya. Aku tak peduli meskipun aku harus gagal, karena saat aku gagal, Tuhan-lah yang bicara padaku tentang kegagalan itu, bukan Manusia.

Mengapa makhluk bernama Manusia itu hanya bisa menghentikan mimpi seseorang? Mengapa makhluk bernama Manusia itu berlaku seolah tak ada Tuhan di dunia ini?

Ketika kesempatan itu berlalu di hadapanku, aku tak tahu lagi kapan aku harus menunggu kesempatan itu datang lagi... semester depan? entahlah...

Yang jelas, dalam dadaku sini, terukir sebuah rasa kecewa yang mendalam. Aku merasa sangat sakit dan penuh sesak. Mengapa Manusia begitu jahat padaku?

Mengapa menghentikan mimpiku? Aku tak bermasalah meskipun harus berkubang air mata karena mimpiku yang takkan terwujud, karena aku sudah cukup puas ketika bisa mempercayai mimpiku, bukan hanya percaya dan memimpikan, tapi percaya dan melakukannya. Mengapa Manusia itu berlaku seolah tak punya mimpi?



26 agustus 2010

0 komentar:

Posting Komentar