Aku sedang duduk di depan kampus sendirian. Matahari memelototiku di Barat dan aku tahu belum waktunya untuk akhir dunia ini. Aku sedikit memikirkan tentang keadaan diriku dan apa yang akan kulakukan setelah semua renunganku berakhir. Jadi, sebelum aku lupa, aku mulai menulis semuanya.
Sore ini, semuanya kuceritakan di hadapanmu, matahari, angin, pasir, pepohonan...
Masih ingatkah saat aku baru menginjakkan kakiku di kampus ini? Dengan pakaian yang serba rapi, kulangkahkan kaki malu-malu melewati kakak-kakak kelas dengan rambut gondrong dan berjanji dalam hati bahwa aku takkan tergoda oleh rayuan mereka. Lalu, aku juga melewati spanduk-spanduk ekskul yang baru kuketahui kemudian namanya di perkuliahan adalah UKM. Aku pun berjanji takkan pernah masuk UKM yang menyesatkan jalanku untuk segera lulus 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Itu semua 3 tahun lalu, mungkin sudah seribu hari. Tapi masih terasa kemarin sore, sungguh.
Kemudian, aku masih ingat ketika lututku lemas saat mendengar pengumuman bahwa aku lulus seleksi di kampus ini. Aku berharap ada kekecewaan, tapi kadang Tuhan begitu baik. Dan entah mengapa Dia selalu mengabulkan doa-doa yang tidak perlu dan menjadikanku beruntung punya Tuhan seperti Dia. Dia mengabulkan apa yang tidak kuminta dan memberikan apa yang kukira tidak perlu. Terimakasih, Tuhan. Entah bagaimana cara berterimakasih pada-Mu.
Entah mengapa aku punya kebiasaan memanggil kakak-kakak kelas yang punya rambut gondrong dengan sebutan “si cantik”. Kadang aku memanggil mereka dengan sebutan itu dan satu persatu mereka membalikan tubuhnya, seolah menyahut panggilanku dan aku tertawa senang. Saat itu, aku merasa hanya hal itu yang bisa menghiburku.
Sendiri. Aku selalu sendiri. Aku tak berharap punya banyak teman dan aku memang tak mau berteman dengan banyak orang. Tapi lagi-lagi Tuhan baik, Dia mengirimkan aku banyak teman dan aku mengenal lebih banyak lagi dari teman yang banyak itu.
Hidupku dipenuhi teman yang banyak hingga aku malu karena tak juga bisa mengingat wajah dan nama mereka satu persatu. Hingga akhirnya aku sadar bahwa punya banyak teman pun tidak terlalu mengasyikan. Tidak se-asyik memanggil kakak-kakak gondrong itu dengan sebutan si Cantik.
Lalu aku kembali memilih sendiri. Tapi entah mengapa Tuhan begitu baik, lagi-lagi saat aku ingin sendiri, Dia mengirimkan teman yang tak kalah banyak. Tapi kali ini aku menolaknya. Aku tak mau teman yang banyak, aku mau hidup yang mengasyikan.
Simsalabim... Aku punya hidup yang mengasyikan dengan beberapa orang yang menganggapku “socrates”, jadi mereka mencoba membunuhku. Tapi tentunya aku tak mau ikut permainan bunuh membunuh. Aku cinta damai dan aku biarkan semuanya tetap berjalan asyik. Aku sendiri. Hidup asyik. Tapi aku tidak saling bunuh membunuh. Tetap memanggil kakak-kakak gondrong dengan panggilan si Cantik.
Aku masih tak tergoda untuk mengikuti UKM apapun apalagi terkontaminasi dengan kehidupan kakak-kakak gondrong apalagi kakak-kakak bercadar. Jadi, aku tetap menjadi aku yang sama seperti aku yang baru masuk ke kampus ini. Dan kukira, setelah keluar pun aku akan menjadi orang yang sama. Nyatanya tidak.
Rasanya angin sore ini sama seperti angin sore itu saat aku memutuskan takkan pernah mendekati 3 hal, uKM, kakak cantik dan kakak bercadar. Aku takkan bisa merelakan diriku menjadi salah satu bagian dari kepercayaan sesat lalu namaku terpampang di koran lokal dengan judul : Seorang mahasiswi menjadi pelaku bom bunuh diri.
Tapi atmosfirnya berbeda. Padahal ini masih disebut bumi. Apa bedanya 3 tahun lalu dengan hari ini? Apa bedanya aku yang 3 tahun lalu dengan aku yang sekarang? Menurutku semuanya tidak ada yang berubah, aku tetap aku.
Kutatap lekat-lekat wallpaper di handphone-ku. Ya, salah satu kakak gondrong itu menjadi pacarku. Dan puluhan kakak bercadar itu adalah teman-temanku. Dan suka atau tidak suka, akhirnya aku pun tak bisa menolak hasrat untuk masuk dalam salah satu UKM, meskipun UKM yang kuikuti adalah UKM independen.
Aku mengingkari kata-kataku sendiri. Pantas saja meskipun aku masih di bumi, atmosfirnya berbeda...
Aku merasa asing dengan diriku. Dulu, seribu hari yang lalu, aku adalah siswi rajin dengan niat belajar dan lulus 3,5 tahun yang membara. Tapi kali ini, aku justru tak lagi diberi perasaan itu. Aku tak lagi peduli tentang lulus 3,5 tahun, beasiswa, sekolah ke luar negeri, IPK cumlaude atau apapun. Bagiku semuanya seperti mimpi.
Aku terlalu banyak menggigit jari dengan segala hal di duniaku yang baru ini. Perlahan, semuanya terkikis. Aku tak lagi produktif. Seperti lokomotif kereta tua, aku hanya bisa melewati jalan yang sama. Tapi sungguh, aku takkan mau menjadi lokomotif kereta tua. Aku hanya sedang berpikir.
Pikiranku sedang dibagi-bagi. Dan mataku baru dibuka, bahwa apa yang dulu kuanggap sebagai tujuan, ternyata bukan benar-benar sebuah tujuan. Aku menganggap semua ini efek dari aku keluar dari gua “socrates”. Dan aku terkejut bahwa dunia di dalam gua dan di luar gua begitu berbeda.
Mendengar seruan bersujud pada Tuhan yang biasanya membuatku ingin berteriak, “Berisik!” dan melemparkan salah satu sandal-ku ke sumber suara, kini memberiku sebuah jawaban. Dan aku mengerti apa yang harus kulakukan. Bahkan, meskipun aku tak tahu jawaban itu berasal dari Tuhan, Malaikat atau Iblis sekalipun, aku kira itu adalah jawaban yang paling benar. Karena aku tak memikirkan kata itu sebelumnya.
Kata itu tiba-tiba saja lewat di dalam pikiranku dan membuatku berpikir bahwa tak peduli seperti apapun keadaan dan pemikiranku 3 tahun lalu dan hari ini. Satu hal yang pasti, Tuhan masih baik padaku.
Tuhan masih belum mengetuk perasaanku untuk segera bersujud menghadap-Nya, tapi aku yakin Tuhan tahu bahwa dengan tulisan ini pun, aku sedang memujanya. Bahkan lebih khidmat dari pada aku berjungkir balik 5 kali sehari.
Tuhan. Untuk matahari yang sebentar lagi tenggelam di Barat itu, aku berterimakasih untuk semuanya. Dan aku memang tidak salah ketika memilih berdamai dengan-Mu. Meskipun aku sering berkonflik dengan takdir-Mu, tapi selalu kucoba memahami alurnya. Hingga kau dan aku bisa hidup berdampingan seperti kau dengan ciptaan-Mu yang lain.
Sungguh, terimakasih, Tuhan. Terimalah ucapan terimakasihku ini, karena mungkin saja aku akan memakimu setelah tulisan ini berakhir.
Dan aku mencintai-Mu melalui sosoknya...
16 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar