Sejak mulai ngerjain BAB I, yang sering gue rasain adalah perasan mirip cemburu, mirip kangen, mirip jatuh cinta dan yang paling parah adalah mirip sakit hati. Tidur ga enak, makan ga enak, sampe akhirnya pacar sendiri dianggap musuh. Unstabil feeling pokoknya.


                Baru saja sedikit menghela nafas pada kesempatan kuliah dan mengerjakan skripsi dengan tenang. Nyatanya, tantangan kerja baru dimulai. Aku kecolongan start, eh sebenarnya aku memang membiarkan seseorang memulai lebih dulu dariku. Lucu.
                Apakah kuliahku harus berhenti dulu?


                Cipedes. Tempat ini mendadak jadi tempat yang sepi setelah anak-anak saung pergi. Ya, tinggal aku sendiri di sini. Kemarin sore, aku duduk di meja makan ini bersama Furkon, bercerita tentang banyak hal dan mendengarkan banyak hal. Sekarang, yang kudengar hanya lagu Bondan yang berjudul Kau Puisi.
               
                Skripsiku masih belum kukerjakan juga. Tapi kebingunganku seolah berkurang ketika aku menangkap sosoknya berjalan di pematang kolam ikanku dan menghampiriku.


                Galau itu kubiarkan seperti alergi yang meradang ke sekujur tubuhku. Rasanya ada yang salah ketika aku tertidur. Rasanya main DDR-pun tidak akan mudah menghapuskannya. Dua hari lalu, dosen yang nge-acc judul bilang kalo ternyata seminar judul dilaksanain awal Januari. Apa bedanya sama dilakuin di Desember?
                Aku terpaku. Saat orang-orang bilang mereka udah beres dengan bab 1-nya. Aku malah masih bingung, berkutat dengan judul yang akan kupertahankan atau kuganti. Entah aku harus bagaimana. Aku bingung.
                Andai saja naik gunung bisa menyembuhkan kebingunganku, maka tiga gunung sekaligus akan kudaki. Tapi... bukan! Bukan masalah naik gunung. Bukan masalah bagaimana cara menyembuhkannya, tapi bagaimana menyelesaikan kebingunganku.
                Minggu-minggu ini emang lagi banyak banget pikiran. Mulai dari judul, Paskibra, PPL, pacar, ah pokoknya semuanya jadi serba ribet. Ditambah lagi sama akunya yang belom juga mulai ngegarap skripsi. Apanya yang mau digarap coba kalo aku masih bingung aja?
                Tuhan... tolong bantu aku. Tunjukan bahwa KAU ADA.


                Sejak beberapa hari kemarin, aku merasa sangat terganggu dengan akan hadirnya bulan Desember. Temanku bilang, Desember akan diadakan seminar judul. Kau tahu, judul yang  beberapa bulan kemarin kuajukan akan diajukan dalam seminar. Dadaku terasa dihentak-hentak. Aku tak mampu berpikir. Rasanya aku memang belum siap untuk menggali skripsiku.
                Aku tahu aku harus segera bertemu dengan dosen akademikku untuk membicarakan judulku itu. Tapi rasanya... jangankan untuk menghadap, berpikir saja sudah terasa sulit untuk otakku. Hari ini aku kebut untuk mengerjakan beberapa tugas kuliahku sekaligus. Aku ketakutan...
                Apakah aku mampu mengerjakan proposal skripsi? Aku berharap Tuhan berpihak padaku.

                Sejenak aku berpikir bahwa aku takkan lulus di bulan September tahun depan karena keadaan ini. Lalu Furkon bertanya mengapa aku terlihat sedih. Dan akhrinya padanyalah semua cerita beban hatiku bersandar. Dia memberikan wejangan padaku yang sebenarnya sering kuberikan pada orang lain di sekitarku. Dia bilang bahwa semua itu akan terasa sulit jika aku tidak mengerjakannya dan hanya bicara saja. Ya, dia benar!
                Lalu setelah beberapa tetes air mata merembes ke pipiku, akhirnya aku sadar bahwa menangis pun takkan ada gunanya.

perfect two

lagu buat yang lagi fallin' in love... saya sih tidak, cuma karena perasaannya lagi enak, saya jadi seneng denger lagu2 ceria...

harlah



                Sudah setahun sejak aku menghapus ulang tahunku yang sebenarnya dan mengganti dengan tanggal 29 Februari. Sudah setahun juga aku berbohong tentang tanggal kelahiranku pada semua orang. Dan sudah setahun juga usiaku melenggang seperlima abad.
                Seperti setiap tahun, aku menguji kepekaan semua orang di sekitarku. Aku menguji kepedulian mereka pada hal kecil, hari lahirku.
                Aku tidak ingin perayaan, acara tiup lilin dan diberi hadiah yang banyak. Aku hanya ingin diberi perhatian, bahkan meskipun hanya dari satu short-messange-service. Harga satu esemes yang murah itu tidak sebanding dengan perhatian yang kurasakan.
                Pagi ini. Dini hari ini. 00:02. Satu pesan dari handphone tuannya melesat melewati banyak gunung dan bukit, lembah dan sungai, melebur menjadi partikel-partikel dalam komputer besar server, berdesakkan dan akhirnya sampai pada handphone-ku.
                "Aku diberi sebuah tulisan..." gumamku saat kubaca kata, ini bukan sebuah puisi. Aku tidak mendalami tulis menulis dengan baik. Tak heran juga semua tulisan kusebut sebagai tulisan, entah itu puisi, esay, cerpen, novel, bagiku mereka semua tulisan. Terlahir dari hati, ditempa dalam pikiran dan dicerminkan dua kali dalam bentuk kata dan makna. Aku meninggalkan kerutan di pertemuan dua alisku saat membaca pesan itu. Ya, aku tidak mengerti namun aku menyukainya. Untuk satu tulisan itu, untuk kehadiran dan perhatianmu selama ini, terimakasih, Furkon. Aku suka kamu, bukan yang lain.
                Setelah satu pesan dari tuannya itu, kemudian datanglah pesan dari teman-temanku di Saung Kreatif. A Awan, A Rio dan A Ipay, entah kapan aku pernah bercerita tentang hari lahirku. Tapi dengan ajaib mereka tahu. Apakah masih ada situs pertemanan yang menyimpan hari ulang tahunku yang hari ini, bukan 29 Februari? Semoga ulang tahun, Ta.
                Dan satu pesan lagi datang dari Lilis, teman yang sudah lebih dari seribu hari bersamaku. Berawal dari perkenalan di aula kampus, kemudian aku mengingatmu sebagai wanita dengan kerundung biru dan kita berteman, sejauh ini, selama ini. Pesanmu tak bisa terbaca, Lis, tapi biarlah, aku tetap berterimakasih padamu. Septian, temanku yang lain memberikanku ucapan selamat. Si teman yang sudah membawa banyak warna, bahkan terlalu banyak dan membuatku kenal pada si orang Bekasi, si bintang bercahaya yang akan selalu kau pandang di langit malammu.
                Aku keluar dari kamar dan dirubung oleh pelukan dari orang-orang tercintaku. Doa dan harapan mereka bisikkan satu persatu di telingaku. Hari ini, sama seperti tahun kemarin, aku tidak menginginkan sebuah perayaan dan tidak berharap ada perayaan apapun. Semoga dapat jodoh yang baik, doa itu terucap tahun ini, baru tahun ini.
                Tak lama kemudian datang pesan lain dari teman-temanku di Paskibra dulu, Withry dan Selvi. Sepertinya mereka yang paling rajin mengucapkan selamat ulang tahun tiap tahunnya padaku tanpa pernah lupa, sejak aku mengenal mereka.
                Dan ucapan selamat ulang tahun paling spesial tahun ini datang dari sebuah nomor yang sangat jarang masuk ke inbox-ku. Biasanya nomor itu hanya berjejer pada panggilan masuk dan hanya satu dua kali saja adanya. Kali ini nomor itu bersarang di inbox-ku. Doa, harapan, restu, menyertai engkau, buah hati, yang termohon dalam nafas.
                Ah, hari ini. Tidak ada yang lebih spesial dari pesan itu. Aku bersyukur, tahun ini, usiaku seperlima abad lebih setahun. Oktober terakhir, ulang tahun terakhir yang kurayakan di kampus.

7 Oktober 2011

Si pengangguran banyak acara

Aku bodoh dan tak pernah belajar...
Aku bosan menulis kata itu tapi itu benar. Aku bodoh dan aku memang tak pernah belajar. Bahkan memperbaikinya sedikit saja pun tidak. Semuanya kebodohan lagi dan lagi.

Belum satu bulan akhirnya ayahku memperbolehkanku naik gunung. Ya, sebuah perjalanan ke Gede-Pangrango dengan ijinnya. Aku sudah pernah menulis tentang ini dan aku bisa menuliskan kalimat-kalimat itu dengan sempurna.
Belum satu bulan aku berjanji padanya bahwa aku akan segera menyelesaikan studiku. Aku pun sudah menulis tentang hal ini, ribuan, bahkan jutaan kali. Kuucapkan setiap kali aku menghadap kaca agar aku tak pernah lupa.
Belum satu bulan aku diberi amanah olehnya. Dia bilang bahwa aku harus belajar mengelola pekerjaan yang sedang dia kerjakan. Dia bilang bahwa aku harus membantunya karena dia hanya satu di dunia ini dan tidak mungkin ada dua, selamanya.
Hal-hal itu terjadi kurang dari satu bulan. Kulonggarkan jadwal mengajarku di Paskibra. Kulepaskan urusan-urusan di pusat Paskibra. Aku melupakan anak didikku di PMR dan mulai menjalani yang sekarang, hari ini. Ayahku terlihat senang saat aku bilang bahwa aku sudah mengurangi banyak jadwalku. Dengan semangat dia menceritakan seluruh projeknya dan dia pun menjanjikan untuk membawaku ke seluruh tempat kerjanya.

Kurang dari sebulan!!!
Dia hanya memberiku satu tanggung jawab untuk mengurusi satu dari sekian banyak urusan yang belum dia percayakan padaku. Dan aku. Seorang gadis bodoh yang masih saja bermain-main dengan kehidupan... aku mengecewakannya.
Aku memang harus membuang handphone-ku. Aku seharusnya tak punya akun facebook atau twitter. Agar aku bisa berkonsentrasi dengan duniaku. Dunia yang akan segera kumasuki...
Dia tak mengungkit masalah Gede-Pangrango. Hanya helaan nafas panjang dan aku tahu aku sudah sangat salah.

Malam itu. Saat pikiranku sedang kacau atas semua kesibukan yang tak menghasilkan uang yang menggangguku. Kutatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan. Berkali-kali dia menghisap rokoknya dengan santai sambil menggumam dan mencoret hitungan-hitungannya yang salah. Aku merasa si pria itu sedang mempermainkanku. Mempermainkan waktuku. Aku menegurnya, dua kali. Dia masih saja mencoreti hitungannya yang salah.
Aku merasakan darahku naik ke kepala. Pandanganku mendadak gelap dan aku merasakan kekuatan yang maha dahsyat keluar melalui dadaku, menelusuri kerongkongan dan keluar dari mulutku. Terdengar sebuah makian, Goblok!
Saat aku tersadar, aku sudah menggenggam gelas beling kosong dengan keras. Aku masih menatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan yang kini wajahnya berwarna hitam oleh cairan hitam. Tercium wangi kopi. Dan aku tahu aku baru saja menyiram muka si pria itu dengan air kopi dan umpatanku dari siang tadi.
Pria itu menatapku nanar. Bibirnya bergetar. Aku bisa merasakan bahwa kali ini dia sedang ketakutan. Sama takutnya seperti dia melihat hantu atau tukang jagal yang akan menghabisi nyawanya.
Aku menarik nafas panjang. Kututup mataku beberapa detik, kusimpan gelas beling itu di meja dan kuhela nafasku.

"Maaf Pak, tolong ngitungnya yang bener. Ini urusan uang ratusan juta. Silahkan lanjutkan..." Kataku. Si pria yang kusiram itu masih bergetar. Dia meneruskan menulis dengan tangan dan kaki yang bergetar. Aku melihatnya dari meja yang terus bergerak.
"Saya jarang marah Pak. Saya kalo kesel biasanya suka diem. Tapi bapak didiemin dari tadi ga ngerti-ngerti." Lanjutku. Aku tertawa kecil dan dia pun mengikuti meskipun kulihat dia masih ketakutan padaku.

Hampir setengah jam aku mendiamkan si pria itu. Akhirnya dia selesai menulis dan memberikan hasil hitungannya padaku. Dia mencium tanganku dan meminta maaf padaku.
Marah membuatku lemas. Rasanya kini giliran tangan dan kakiku yang bergetar menuruni tanah yang terjal.

Aku tidak perlu marah, tidak perlu mengumpat dan berlaku kasar. Andai saja bapak mengerti...
Saya pengangguran, tapi saya banyak acara...

Benang merah Ge-Pang

Ge-Pang... akhirnya bukan aku yang menyia-nyiakanmu. Ternyata tak hanya Tuhan dan manusia saja yang tukang jegal, kali ini faktor luck-pun menjegalku. Entah mengapa aku seolah kehilangan kemampuan keberuntunganku.
Mungkin karena luck-ku sudah menjadi milik orang lain. Mungkin juga karena aku sedang kurang beruntung saja.

Perjalanan itu dibatalkan dan digantikan dengan perjalanan 3S, Sumbing, Sendoro dan Slamet. Aku ingin sekali ikut, tapi sayangnya mengapa perjalanan itu harus berangkat hari ini? Mengapa harus hari ini? Andai saja minggu depan, aku masih punya kesempatan untuk mempersiapkan segalanya.
Fisikku memang belum pulih, tapi aku tahu bahwa fisikku takkan pernah pulih sepenuhnya karena bahkan mencapai kata sehat pun aku belum pernah. Maka, aku memaksakan fisik yang seadanya ini untuk pergi ke tempat Ge-Pang...

Ah Ge-Pang, aku belum berjodoh denganmu. Mungkin aku harus menunggu seperti aku menunggu kekasihku. Aku menunggu benang merah kita bertaut...


6 Oktober 2011

disambar petir

    Aku disambar petir. Petir itu kemudian merubah cara pandangku drastis. Tak heran semua orang  bilang aku berubah. Aku tak merasakan perubahan kecuali kini ada tangan yang menggandengku, mengajakku ke satu tujuan bersamanya dan perubahan pada aksen bicaraku.
    Petir yang sama juga merubah orang-orang yang kukenal. Ada si kutu buku yang kemudian menjadi si petualang. Ada si anak multimedia yang kemudian menjadi anak punk. Entah bagaimana petir itu bekerja. Aku pun tak mengerti cara kerjanya.
    Ketika petir itu mengubah posisi tanganku yang selalu dimasukkan ke dalam saku jaketku ketika berjalan menjadi menggenggam tangan seseorang, rasanya setengah bagian tubuhku ingin meledak. Melawan kehendak petir itu membuatku lebih ingin meledak. Maka aku membiarkan petir itu mengalir. Membiarkan petir itu mengalir pun masih terasa ledakan-ledakan kecil, tapi ada rasa nyaman.
    Apakah petir itu memberikan perasaan yang sama padamu, teman?
    Petir itu juga membuat aksen bicaraku berubah. Bermula dari "saya-kamu", menjadi "aku-kau". Aku mulai belajar bahasa daerah juga untuk melengkapi kesempurnaan aksen bicaraku.
    Petir itu seperti Lord Voldemort yang menitipkan satu jiwanya ketika menyambar. Dalam diriku, kini ada satu jiwa yang lain. Jiwa itu merindukan setengah jiwanya yang lain. Dan aku juga terbawa merindukan setengah jiwaku yang terbawa pada tubuh yang lain.
    Petir benar-benar mengubah segalanya. Aku merasakan pusat duniaku bukanlah pusat bumi dan gravitasi menyalahi aturan dalam hukum petir di tubuhku. Pusat duniaku adalah dia, yang menyimpan setengah jiwaku dalam tubuhnya. Dan gravitasi bagiku berlaku untuk membawaku mendekatinya, bukan mendekati pusat bumi.
    Efek petir itu juga menambah kebutaanku. Bagiku seluruh Adam yang ada di bumi ini tiada kecuali dirinya. Dan aku hanya bisa menatapnya, tidak ada Adam lain, "iwal ti manehna".
    Petir ini memisahkan jiwaku yang satu dengan yang lainnya. Tapi juga mencoba menyatukannya perlahan dalam perjalanan yang sedang kutempuh.

    Apakah kau juga disambar petir? Sayang, tubuhnya sudah diisi oleh jiwaku. Aku tidak bisa mengalah untukmu. Aku mengasihimu tapi membiarkan diriku sendiri mati pun tidak akan pernah membuatnya menerima jiwamu. Panggil aku si egois tapi aku pernah membiarkan tubuhnya diisi oleh jiwamu, dan dia menolakmu kan? Maka aku berhenti mengalah dan memasukkan jiwaku ke dalam tubuhnya.
    Ini semua hubungan timbal balik, teman. Disambar petir menguraikan hubungan timbal balik, bukan hubungan satu arah. Petir itu arus DC, bukan arus AC. Apakah kamu disambar petir dengan arus AC?
    Semoga jiwamu yang melayang-layang itu segera mendapatkan raga.



5 Oktober 2011

Oktober

    Malem ini, lagi pengen dengerin lagu My Love dari Westlife. Mengingat-ingat lagi sebuah kenanan yang entah dengan siapa, entah mengingat apa dan entah apa aku punya ingatan itu atau semua hanya bayanganku saja. Sedikit demam dan sedikit nyeri di bagian lambung. Ah sudah biasa, tapi aku belum mengisi lambungku dengan air. Ya, setelah tulisan ini beres, aku akan melakukannya.

Setengah-dua.
    Aku selalu terbangun pada jam ini. Entah sadar dan tak sadar. Jantungku berdegup kencang. Seperti baru dikejar bandit, kubuka handphoneku dan selalu menyesal. Ada puluhan pesan yang ditujukan untukku. Ada seseorang yang masih terjaga menunggu balasan dariku. Dan ada perasaan yang harus kubalas juga selain pesan itu.
    Kau; adalah orang yang menyambut dan mengantarku setiap kali aku terjaga dan terlelap. Entah sebagai apa kau jika kuanggap sebagai benda. Entah seperti apa dirimu jika kuanggap kau adalah sesuatu. Yang aku tahu, kau adalah yang akan menemani perjalananku. Kemana pun dan kapan pun. Karena aku bukan lagi setengah, juga tidak menjadi dua, tapi satu.
    Kau; meskipun kurus dan tidak berlemak. Aku menghitungmu sebagai satu. Aku; meskipun tidak cantik dan tidak seksi. Aku menghitung diriku sebagai satu. Dan kita memang satu. Matematika tidak bisa memecahkan kita.

    Kali ini kuputar lagu berjudul The Call dari Regina Spektor. Lagu ini adalah lagu yang kupikir berjodoh denganku. Aku menyukai lagu ini sejak pertama kali telingaku menangkap lagunya. Dan aku memang berjodoh dengan lagu ini, entah bagaimana caranya.

Satu.
    Aku tidak tahu hari ini tanggal 1 Oktober. Tidak juga ingat bahwa ada sebuah ulang tahun yang kulewatkan begitu saja. Ya, salah satu temanku berulang tahun dan aku tidak mengingatnya karena aku belum mengganti kalenderku di bulan September.
    Kau mengingatkanku bahwa hari ini ada ulang tahun yang kulewatkan. Aku bertanya-tanya, siapakah gerangan yang berulang tahun tanggal satu selain sepupuku?
    Kubaca wajahmu, aku tahu kau sedang menelan batu bulat-bulat dan merasa sakit karenanya. Kau kemudian bercerita tentang dia yang berulang tahun, tentang kenanganku bersama orang itu tahun lalu. Aku tertawa, ingin mengucapkan kata yang belum pernah kurangkai sebelumnya.
    Kau pun bercerita tentang semua hal tentangnya dan tanggapanmu. Kau bilang bahwa mungkin saja dini hari tadi, aku sedang menelepon si orang yang berulang tahun dan mengabaikan semua pesan darinya. Lagi-lagi aku ingin bicara, namun aku tertahan pada "kata apa yang akan kuucapkan"?
    Berjam-jam dalam diam, sambil mendengarkan deru nafasmu yang sedang tertidur, aku mulai lelah merangkai kata. Aku membebaskanmu dalam memilih dan menggunakan perasaanmu, seperti kau membebaskanku untuk memilih dan menggunakan perasaanku. Kau adalah makhluk demokratis, dan aku tidak mau terlihat liberal di hadapanmu. Tapi aku mulai berpikir untuk mengikatmu untukku seorang.
    Aku dulu sempat berpikir bahwa aku akan selalu sendiri. Aku tidak akan pernah punya cerita pergi kemana pun dengan seseorang. Aku juga sempat berpikir bahwa aku adalah makhluk Tuhan yang lupa diberikan pasangan. Maka aku mulai berjalan sendiri. Aku memakai kakiku sendiri dan melakukan segala hal yang kuinginkan. Hingga aku sadar, bahwa takkan ada yang mengingat semua itu kecuali aku sendiri. Tapi, sejak kau ada di sini. Semua hal yang kuanggap tidak mungkin itu perlahan semuanya menjadi nyata. Baru kali ini aku merasa seluruh visi-ku di dunia ini sempurna, entah bagaimana proses penciptaan kesempurnaan itu. Yang jelas, kau membuat segala hal menjadi simetris, kau membuat setengah hatiku menjadi penuh, dan kau juga membuat lingkaran hidupku sempurna. Satu.
    Ada hal mendasar yang membedakan kau dengannya untukku.

    Kali ini kuputar lagu Enchanted dari Taylor Swift. Mengingat kejadian tadi siang saat aku berjalan denganmu.

Bunga.
    Dari kejauhan, aku bisa mengenalimu meskipun samar terlihat diterjemahkan dalam pandanganku. Dalam hati, aku memanggilmu, lalu kau mulai berdiri, menungguku menghampirimu dan kita jalan berdampingan.
    Entah kau sadar atau tidak. Semua pandangan kaum hawa itu tertuju padamu. Dan kau melenggang, hanya bicara padaku dan seolah mengacuhkan semuanya. Aku memang sedang jatuh cinta padamu tapi rasionalku utuh.
    Tak satu dua kaum hawa yang terpikat oleh wajahmu. Aku tak tahu gaya magis seperti apa yang menarik mereka seperti itu. Bahkan saat kau sedang menggangguku dengan memanggilku sambil berbisik, wanita di sampingku menatapmu. Jika boleh kubilang, dia sudah mengintaimu sejak kau masuk lift itu. Dan aku segera tahu bahwa dia berharap kau akan mengajaknya berkenalan.
    Si petugas bioskop itu pun menatap matamu tak berkedip. Membiarkan jiwanya tertawan pada kecantikan wajahmu. Dan aku hanya bisa tersenyum sambil menatapmu. Aku tidak membiarkan hatiku dalam perasaan cemburu padamu. Justru aku berbangga, ternyata aku memang tak salah pilih orang.
    Kau adalah bunga desa yang seolah baru mekar. Semua orang mengagumi semerbak harummu dan memujimu. Semua orang tahu kau sudah kumiliki, namun mereka mungkin menganggap aku bukanlah tuan yang cocok untukmu. Mungkin bunga yang sepertimu harus punya tuan yang juga padan denganmu.
    Ya, manusia boleh bilang seperti itu. Mereka boleh bilang aku kurcaci dan kau adalah si putih salju-nya. Aku si enam dan kau si sembilan sempurna.
    Kini aku mulai mengerti mengapa wanita yang mengejarmu itu begitu menginginkanmu. Jangankan wanita itu, wanita yang tidak mengenalmu dan tidak pernah kau mainkan saja berharap kau akan mau mendekatinya dan memainkannya.
    Saat kau menyandarkan tubuhmu padaku di dalam lift itu. Seluruh kaum hawa yang ada di dalamnya menatap sinis padaku. Aku kemudian berpikir untuk memanggilmu dengan sebutan "sayang" sesekali, bukan "kak", karena mungkin saja mereka menganggap aku adikmu.
    Kucinta kau, bunga...

Peluk.
    Tubuhmu terlalu kurus untuk kupeluk. Tanganku bahkan bisa melingkar dua kali jika aku berlebihan menceritakan betapa kurus tubuhmu itu. Tapi akhirnya aku memeluk tubuhmu juga. Menyebarkan rasa hangat dan rasa nyaman untukmu. Semoga peluk dan jimatku membawa keberuntungan untukmu.

Hujan.
    Hari ini hujan pertama setelah lama aku dipanggang mentari. Hujan ini belum sehujan hatiku. Namun hanya ada senyum setelah seharian kuhabiskan waktu denganmu. Aku memang harus naik gunung.




2 Oktober 2011

cermin

Aku teringat awal pertemuan kita. Kita jauh lalu mendekat saling berhadapan. Aku melihat ke dalam matamu dan menemukan pantulanku di dalam dirimu. Aku keruh, entah apa yang kau lihat dalam diriku. Kita bergerak dalam diam, menciptakan hubungan intim dalam kesunyian.
Kau ada di sampingku, sejak kau ada di sampingku, aku punya perasaan yang tak bisa kujelaskan. Aku menatap matamu dan aku menemukan diriku disana. Kita sama dalam segala hal, kecuali hati.
Dalam ribuan orang yang menenggelamkanmu dalam kumpulannya, aku akan bisa menemukanmu. Dalam jarak pandang ribuan meter pun meskipun mataku minus, aku pasti akan bisa melihatmu. Tak ada kata rindu terucap dari mulutku karena aku memang belum pernah merindukanmu.

Di akhir perjalanan kebersamaan kita. Aku memutuskan untuk tak lagi menatap pantulanku yang ada di dalam dirimu. Aku membalikkan badanku dan berlalu. Masih sering kudengar kau memanggil namaku. Masih sering kau menyebut namaku.
Dalam jarak ribuan kilo darimu, aku berpikir. Tentang kita. Mengapa tak pernah ada bedanya?

Aku tidak merindukanmu. Dan aku kembali pergi ke tempat-tempat yang pernah kudatangi bersamamu. Rasanya sama saja, antara aku sendiri dan bersamamu.
Kau candu, seperti canduku untuk menatap pantulanku di cermin. Kau candu, cermin yang sempurna yang bisa memperlihatkan bayanganku secara utuh.

Lalu aku berhenti berkaca dan aku memang tidak suka menatap pantulanku di cermin. Aku tidak mau terperangkap dalam perasaan yang sama seperti perasaanku padamu.
Kau tahu, aku selalu menginginkan menatap pantulanku di kaca benggala rumahku yang kini tersimpan di Cipedes. Jarak membuatku tak bisa menatap pantulanku di sana lagi.
Dua minggu lalu, aku menatap pantulanku di kaca benggala itu. Aku melihat diriku dan perasaannya sama seperti aku menatapmu. Ada yang berbeda, di belakangku muncul sesosok bayangan yang samar kulihat dalam gelap kemudian berdiri di sampingku.

Pernah baca new moon? Ya, aku berdiri di depan kaca seperti Bella dan Edward. Tapi aku melihat aku, bukan nenekku. Aku melihat seorang pria dengan kemeja berwarna hitam, tubuhnya kurus, matanya belo dan rambunya gondrong.
Dan aku benci melihat pantulan itu. Si pria itu kemudian berdiri di sampingku, sama-sama menghadap kaca.
"Lihat. Aku melihat pantulan aku dengan kekasihku." Kata pria itu.
"Aku melihat seorang yang cantik dan itu kamu." Kataku sambil pergi dari frame kaca itu.

Apa bagusnya sebuah kaca jika aku punya sosok yang nyata di sampingku yang tangannya bisa kupegang, rambutnya bisa kusentuh, badannya bisa kupeluk dan pipinya bisa kucium?
Tentu aku lebih suka diberi uang Rp.100.000,- dari pada Rp.1000,-

^_^

meledak!!!

"Jangan-jangan aku doang yang geer." Katamu. Ada nada sedih saat kau mengucapkan kata-kata itu. Aku melingkarkan tanganku lebih erat ke tubuhmu, entah kau merasakannya atau tidak.

Malam ini, aku sedang mengerjakan tugas kuliahku, membuat makalah 20 halaman. Ah, lupakan saja, toh aku tidak lagi menganggap sesuatu menjadi beban meskipun aku belum tidur dan perutku sedang kosong. Aku mulai membuka situs blog-ku dan mulai menulis. Rasanya lebih mudah menulis disini dari dapa di microsoft word. Padahal sama saja. Entahlah. Mungkin seperti itu juga aku, aku lebih suka diam di dekatmu, bukan bicara panjang lebar. Jika microsoft punya program recovery, blog tidak, bagiku seperti itu. Maka, saat aku bertemu denganmu secara langsung, aku ingin menyimpan semua image-mu, gerakan-gerakanmu, merekam suara dan merekam apa yang kau utarakan padaku. Dan aku lebih banyak diam saat bertemu denganmu. Membiarkan otakku dipenuhi bayanganmu.
Ada alasan logis mengapa aku tidak pernah meledak-ledak dalam mengungkapkan perasaanku. Ada alasan juga mengapa aku lebih suka diam dan menghapus keberadaanku diam-diam. Dan ada alasan juga mengapa aku lebih pandai menguntai kata dari pada bicara di hadapanmu.
Aku pikir, kau bukanlah kerbau dungu yang harus kujabarkan tentang pemikiran-pemikiranku, dengan sikapku, kurasa kau pun sudah tahu apa yang kupikirkan dan kurasakan. Dan aku juga bukan seorang guru yang baik di hadapanmu, jadi aku tidak perlu ajar mengajari makna sebuah perasaan. Aku berani bertaruh bahwa aku sama menyayangimu seperti ibumu, kakak-kakakmu atau adikmu yang menyayangimu. You mean something for me, but loosing you wouldn't make me die, just my world would.
Aku tidak mau terjatuh di lubang yang sama meskipun aku sering melakukannya, jatuh di lubang yang sama, dengan kaki yang sama, cara yang sama, hanya waktu saja yang berbeda. Kau ingin membuat sebuah rumah, untukku, kau ceritakan padaku desainnya, kau ceritakan padaku bahan-bahannya, kau pun menceritakan padaku bagaimana dan selama apa waktu yang dibutuhkan hingga rumah itu jadi. Wah, ternyata aku si Rorojonggrang, aku bisa meminta rumah itu jadi kapanpun aku mau. Aku tidak peduli seperti apa bentuk rumah itu pada akhirnya, aku tidak peduli catnya berwarna apa dan berapa harganya jika dikalkulasikan dengan uang. Bukankah seperti katamu, rumah itu untukku, jika rumah itu sudah jadi, aku bisa memilih menempati rumah itu atau membiarkan seorang wanita lain menempatinya denganmu.
Bicara rumah, bicara masa depan, bicara tentang kau dan aku...

"Promise me this, that you'll stand by me forever. But if god forbid us to step in and force us into a goodbye, if you had children someday, when they point to the picture, please tell them my name..."

Kepentingan

    Pagi ini aku melihat dua puluhan anak dengan seragam putih-putih dan topi dengan lambang melati berkumpul. Aku segera tahu bahwa mereka adalah anggota dari organisasi yang juga dulu pernah kuikuti. Mereka adalah anggota PMR.
    Aku dulu pernah seperti mereka. Berpakaian putih-putih. Menjadi penolong saat orang lain sakit. Menjaga si sakit hingga dia mampu kembali ke kelas atau pada akhirnya orang tua mereka menjemput. Latihan di siang bolong dan "kerjaannya" mengangkut pasien dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ya, aku dulu seperti itu.
    Aku dulu ikut organisasi bernama PMR itu karena beberapa temanku juga ikut organisasi itu. Lalu aku mulai menonaktifkan diri karena merasa jenuh dengan pembelajaran mengangkut pasien dan biasanya aku yang menjadi pasiennya. Lalu tiba-tiba aku datang dan ikut penerimaan anggotanya. Setelah hari itu, aku lagi-lagi menonaktifkan diri karena kejenuhan menyergapku lagi.
    Aku juga pernah ikut organisasi bernama Paskibra, itu pun karena teman-temanku ikut organisasi itu juga. Pertama kali masuk, aku langsung direkrut dalam sebuah pelantikan menjadi anggota. Lalu aku juga perlahan sering menonaktifkan diri.
    Ya, organisasi bagiku harus membuat perubahan dalam diriku dan aku juga akan membuat perubahan pada organisasi itu. Jika tidak, untuk apa diteruskan?
    Aku mulai aktif lagi di PMR ketika aku memutuskan untuk ikut banyak lomba dan aku punya misi untuk memiliki salah satu piagam di sekolahku. Dan seperti itulah, aku mengharumkan nama organisasiku dan organisasi itu memberikanku penghargaan.
    Tak jauh beda ketika aku di Paskibra, Paskibra memberikanku koneksi ke seluruh anggota Paskibra se-kabupaten Sumedang dan aku membalasnya dengan aktif di organisasi itu. Aku pun ikut beberapa lomba, menang, dapat piala dan mengharumkan nama Paskibra.
    Iseng, kuhampiri anak-anak itu dan doktrin kepala mereka agar mereka berpikir secara logis. Sudah memberikan apa organisasi itu untukmu? Apa yang sudah kamu berikan untuk organisasi itu?
    Jika jawabannya adalah diam. Maka, sepertiku saja, realistis, keluar!





26 September 2011

mug

Siang ini, aku sedang duduk manis di depan laptopku sambil mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Sudah hampir empat jam tapi tugasnya belum juga selesai. Yah, tentu saja, bagaimana mau selesai jika aku tak juga menemukan bahan untuk menyelesaikan tugasnya?
Kuhela nafasku panjang sambil meluruskan pinggangku yang terasa nyeri. Kugapai mug yang biasa kupakai minum. Kali ini isinya teh krisantemum untuk mengobati lambungku yang sakit. Kuhirup dalam-dalam aroma teh itu kemudian meminumnya.
Baru kali ini kuperhatikan mug yang tanpa kusadari jadi favoritku itu. Mug itu bertuliskan mengenang 40 hari wafatnya Almarhum Maulana Saputra. Aku tiba-tiba teringat kejadian satu tahun yang lalu. Satu tahun lalu anak itu masih hidup, kubimbing belajar PBB dan masih sempat juga aku hukum beberapa seri push up. Tahun ini, adalah peringatan kematiannya setahun yang lalu.
Aku mendoakannya dengan doa yang diajarkan orang tuaku padaku.

Satu tahun yang lalu, aku membuat tulisan untuk anak itu, entah di mana tulisan itu sekarang. Terlalu banyak tulisan yang kubuat dan aku jarang menyimpan duplikatnya.

Waktu memang berjalan begitu cepat. Aku belum meminta maaf karena sudah menghukummu dengan push up siang itu. Hari ini, kudengar sebuah berita bahwa kau sudah tiada. Siapa yang tahu kapan ajal seseorang akan tiba? Kukira aku akan mati lebih dulu dari padamu, nak...
Ternyata Tuhan lebih menyayangi dirimu dari pada aku. Selamat jalan, segera kita akan bertemu disana!

untuk seteguk keceriaan

Bercerita tentang hari ini, ah tidak! Kemarin dan kemarinnya lagi. Aku ingin berpuisi tentangmu, entah kau anggap gombal atau apa. Tapi yang jelas aku memang tak terbiasa menggombal. Aku hanya bercerita dan bukankah aku memang seperti itu? Karena itulah namaku adalah si Novelist. Hehehe...
Aku sering melihatmu tertawa, tersenyum. Tapi aku tahu, you wish for something more. Aku tahu kau sedang menunggu takdirmu bergerak maju lagi. Dan aku melihatnya sore ini.
Untukmu, kekasihku, selalu ada jalan! Mari kita buat jalannya... Kita paksa si Tuhan yang kita sebut saat vespamu melewati polisi tidur untuk membuat sebuah takdir untukmu dan untukku. Untuk kita. ^_^
Oh ya, Tuhan, makasih untuk seteguk keceriaan di sore ini untuknya. 

Soundtrack-nya ATUR AKU burgerkill pokokna mah! SEMANGAT!!!
17 September 2011

ah entah!

Diinspirasi dari menunggu wisudaannya pacarku, tukang gelembung sabun sama beberapa kejadian yang kualami beberapa hari ini. Kadang aku memandang sesuatu hal begitu picik. Picik dalam artian bahwa aku merasa yang paling baik dan paling benar, yang lainnya salah dan sesat. Padahal aku sudah berusaha mati-matian agar tidak seperti itu. Tapi entah mengapa aku masih saja berpikiran "picik".

Aku memperhatikan gelembung sabun yang ditiupkan oleh alat berbentuk ikan oleh tukang dagang di hari wisuda pacarku. Aku memperhatikan, gelembung-gelembung itu berubah warna dengan cepat dan warna yang dihasilkannya indah. Namun tak bertahan lama. Hanya beberapa detik keindahan itu muncul sebelum akhirnya gelembung busa itu mulai turun dan pecah.
"Wah, angle-nya bagus tuh kalo diambil pake frog eye terus backlight dari cahaya yang muncul dari pepohonan." Pikirku saat itu.
Kemudian, lama-lama pikiranku bukan tertuju pada si gelembung sabun, tapi aku mulai berpikir tentang jika kehidupan itu seperti gelembung sabun. Dan ingatan beberapa hari lalu terputar di kepalaku.


Seperti kataku di awal. Aku selalu merasa paling benar dan yang lain kuanggap sesat. Seharusnya aku bisa menanamkan sikap cuek. Toh aku bukan Tuhan yang bisa menjustifikasi seseorang salah atau benar. Aku juga bukan Tuhan yang Maha Sempurna. Jadi, seharusnya aku bersikap netral saja.
Aku menjustifikasi dia sebagai si salah hingga akhirnya aku malu pada diriku sendiri. Ah sudahlah, nanti saat rasa maluku sudah hilang, aku akan menceritakan semuanya dengan senang hati.
Setelah beberapa minggu ini mengalami kejadian yang memutar balikkan pemikiranku, aku baru merasakan apa yang namanya "sadar". Ternyata aku masih bermimpi. Selama ini. Dari kemarin.


Dan bicara tentang si gelembung sabun... Ah, rasanya aku memang lebih tertutup pada dunia setelah apa yang kualami beberapa minggu ini.
"Dan kau pun harus malu jika menjustifikasi bahwa aku salah! Camkan itu."








17 September 2011

halal bi karaoke!!!

Taun ini, sekali lagi ikut halal bi halal di keluarga ibu. Tiap taun, acaranya gitu-gitu mulu, karaoke, games, tebak-tebakan. Oh please deh! Tiap taun gitu mulu kan bosen! Kalo ada obrolan, paling paagul-agul kesuksesan kerja dan kawan-kawan. Pokoknya ga "gue" banget!

Biasanya, aku diperbolehkan absen untuk ikut acara halal bi halal ini. Tapi kali ini tidak. Entah kenapa si ayah tiba-tiba mewajibkan semua anak harus ikut, tanpa terkecuali dengan alasan apapun. Maka berangkatlah kita sekeluarga jam 4 sore dari rumah.

Tempat pertama yang dikunjungi itu makam nenek dari ibu. Dan sebuah accidential accident terjadi, halah! Ngomong apaan gue? Hahaha... Orang mabok nabrak mobil gue. Dan beberapa detik setelah kejadian itu terjadi, karena gue adalah anak PMR (dulu), jadi gue langsung meluncur dari mobil dan nolongin orang itu. Seperti prosedur utama dalam penyelamatan, AMAN, A, Amankan diri! Mungkin itu doang yang gue inget dari prosedur penyelamatan. Hahaha... Gue pegang nadi si orang itu dan dengan ilmu shinse yang mengalir dalam darah gue, gue ngerutin kening? APA-APAAN INI?! Adek gue yang cowok langsung ngelepas helm si orangnya dan tangan gue mastiin ga ada patah tulang leher dengan megang si tulang lehernya dari ruas ke ruas sampe bahu. Adik gue yang laen langsung ngebuka jaketnya sama iket pinggangnya. Dan sudah bisa dipastikan kalo si tersangka itu ga kenapa-kenapa selain luka lecet di kakinya.
Pas si tersangka ngebuka mulut. Busyeeeettt bau banget! Dan gue, meskipun samar-samar, gue bisa tau itu adalah bau alkohol. Orang itu akhirnya di bawa sama adek gue yang cowok ke puskesmas dan gue nemenin bokap nyelesaiin masalah.
Jadi, kita lanjut nyekar dulu sebelum nyelesaiin masalah. Dan gue buka mulut, bilang kalo si orang itu sengaja nabrakin motornya ke mobil kita. Orang itu mabok dan pura-pura pingsan. Semua fakta yang gue kemukakan dapet respon positif dan praduga kita semua sama. Karena kita ga mau bikin masalah nambah panjang, of the record ajah.

sakit


Sering kerasa kekurangan oksigen dan berasa mau pingsan...
Kadang otak yang fresh langsung ngedadak murungkut dan susah diajak kompromi...
Nafas langsung nyempit dan mata berkunang-kunang...
Pelan-pelan suka ngomong, "Ajal gue! Ajal gue! Ajal gue!"

Sakit yang aneh...
Pengen cepet sembuh, pengen cepat lepas dari penyakit kayak gini.
Kalo sembuh adalah yang aku cari, rasanya gampang banget. Tapi, gimana kalo ternyata setelah sembuh dari satu penyakit ini, malah nambah penyakit baru yang bahkan lebih bahaya?

"Ga ga ga!!!"

lawas


Dengerin lagu project pop jadi inget waktu masa-masa SMP. Inget juga masa-masa saling keceng ngecengin tapi waktu SMP mah gue masih polos, kalo ada anak cowok yang ngecengin gue terus ngejer-ngejer, gue ketakutan setengah mati. Soalnya waktu dulu mind set-nya dibikin kalo deket-deket sama cowok itu udah mau dikawinin. Hahaha... makanya ogah banget kalo sampe ditaksir sama cowok.
Inget juga sama salah satu cowok yang sering gue temuin kalo gue berangkat pagi. Dia juga alesan kenapa gue berangkat pagi-pagi. Soalnya kalo ketemu dia suka senyum. Dan senyum adalah hal termahal yang bisa gue temuin waktu gue masih SMP.
Gue yang ga pernah ngeh kalo dia ternyata sekelas sama gue, dan gue baru nyadar pas gue udah ga sekelas lagi sama dia. Hahahaha... beleeeeettt mentang-mentang gue cuma seneng disenyumin doang, gue ga merhatiin mukanya.
Setelah ga sekelas lagi, gue baru nyadar kalo cowok itu cute! Hahaha... itu pun gue ikut-ikut sama temen-temen gue yang secara ga langsung ngecengin dia. Hahaha...
Yang bikin gue rada ogah kenal lagi sama cowok ini adalah gara-gara dia bikin gue berantem sama temen-temen gue. Secara gue yang loyal banget sama temen itu pasti lebih milih temen-temen gue dong dibandingin cowok yang cuma modal tampang cute. Eh, temen gue pun ternyata sama bejatnya. Dan si cowok itu ga kalah bejat. Pokoknya masa SMP ngerubah gue 100%. Gue jadi ga gampang percaya sama orang, juga ga gampang ngebiarin rahasia gue kebongkar. Dan masa SMA, gue dikenal misterius dan tertutup.
Setelah sikap gue yang berubah total kalo ngeliat orang, gue jadi punya banyak temen dan pemikiran skeptik gue tentang cowok dimulai. Pokoknya, kalo ngobrol sama Rani, gue sama dia itu ga kalah skeptiknya kalo ngomentarin cowok. Hahahhaa...
Di kuliahan, pemikiran skeptik gue berlanjut ke kehidupan soliter. Kalo ga gara-gara gue ketemu sama temen (ya gue sih anggep dia temen, ga tau deh kalo dia ga nganggep gue temen), dia nangis pas gue bilang gue mau pindah kuliahan. Disitu gue baru mikir, ga semua orang sejahat yang gue pikirin. Ga semua orang nganggep gue common enemy. Dan gue ngebuka diri gue cuma sama satu orang itu doang.
Awalnya gue ngebuka diri sama semua orang, tapi kemudian gue mulai berpikir skeptik lagi kalo ga semua orang juga sebaik si temen gue ini. Dan gue semakin soliter dan cuma pengen bergantung sama satu orang, satu temen gue itu doang.
Pas ketemu sama orang-orang yang mesti gue anggep keluarga (rumput), gue awalnya susah juga ngebuka diri. Tapi gue mulai berpikir bahwa selama gue baik sama orang, orang itu juga pasti baik sama gue. Dan  gue ngelakuin hal itu. Gue mulai ngebuka diri gue, meskipun mereka semua masih nganggep kalo gue tertutup. Gue emang nutup diri untuk nyeritain rasa sakit yang lagi gue rasain. Tapi gue ga nutup diri buat nyerita tentang masa lalu, rahasia yang kadang cuma gue tau, impian gue, dan gue ga takut diketawain sama semua impian bodoh gue, nyatanya ga ada yang ngetawain juga.
Dari lagu project pop, bisa nyampe ke masa kuliah. Hahaha...
Ke depannya, gue ga tau seperti apa pemikiran gue tentang dunia ini. Tapi gue sadar, bahwa seharusnya semua orang itu baik sama gue, karena gue juga baik sama mereka. Meskipun feedback-nya ngecewain, tapi masa bodolah! Yang penting gue biasa-biasa aja.
Penilaian orang-orang tentang gue bisa bermacam-macam, tapi di dunia ini, nilai apa yang universal? Dan gue paham bener kenapa gue lebih banyak dingertiin sama orang-orang diluar jurusan gue, soalnya kalo dimisalin bahasa gue adalah bahasa FM, nah orang-orang di jurusan gue itu saluran AM. Ya jelaslah ga ketangkep sama radio masing-masing. Kalo gue sih masih bisa nyesuaiin diri sama AM, nah yang AM ini ga bisa nyesuaiin sama FM.
Tapi so what? Gue tetep harus suka sama gelombang-gelombang AM, dan mau ga mau, suka ga suka, meskipun nolak sampe muntah-muntah, mereka juga mesti nerima gue.
Gue sadar sepenuhnya juga, mungkin background kehidupan gue yang ga sama kayak mereka, itu yang bikin gue ga bisa beradaptasi sama obrolan atau gaya hidup mereka. Gue udah terbiasa sama hal-hal sederhana yang ga cuma sebatas wacana atau obrolan dari mulut ke mulut, i live with that! Jadi kalo ketemu orang-orang yang ngomong cuma sebatas wacana, jujur gue lebih suka ngehindar.

Tuhan. Lo gue bawa ke dalam obrolan gue malem ini. Makasih buat semuanya. Jauhin gue dari percobaan. Amin...