Aku bodoh dan tak pernah belajar...
Aku bosan menulis kata itu tapi itu benar. Aku bodoh dan aku memang tak pernah belajar. Bahkan memperbaikinya sedikit saja pun tidak. Semuanya kebodohan lagi dan lagi.
Belum satu bulan akhirnya ayahku memperbolehkanku naik gunung. Ya, sebuah perjalanan ke Gede-Pangrango dengan ijinnya. Aku sudah pernah menulis tentang ini dan aku bisa menuliskan kalimat-kalimat itu dengan sempurna.
Belum satu bulan aku berjanji padanya bahwa aku akan segera menyelesaikan studiku. Aku pun sudah menulis tentang hal ini, ribuan, bahkan jutaan kali. Kuucapkan setiap kali aku menghadap kaca agar aku tak pernah lupa.
Belum satu bulan aku diberi amanah olehnya. Dia bilang bahwa aku harus belajar mengelola pekerjaan yang sedang dia kerjakan. Dia bilang bahwa aku harus membantunya karena dia hanya satu di dunia ini dan tidak mungkin ada dua, selamanya.
Hal-hal itu terjadi kurang dari satu bulan. Kulonggarkan jadwal mengajarku di Paskibra. Kulepaskan urusan-urusan di pusat Paskibra. Aku melupakan anak didikku di PMR dan mulai menjalani yang sekarang, hari ini. Ayahku terlihat senang saat aku bilang bahwa aku sudah mengurangi banyak jadwalku. Dengan semangat dia menceritakan seluruh projeknya dan dia pun menjanjikan untuk membawaku ke seluruh tempat kerjanya.
Kurang dari sebulan!!!
Dia hanya memberiku satu tanggung jawab untuk mengurusi satu dari sekian banyak urusan yang belum dia percayakan padaku. Dan aku. Seorang gadis bodoh yang masih saja bermain-main dengan kehidupan... aku mengecewakannya.
Aku memang harus membuang handphone-ku. Aku seharusnya tak punya akun facebook atau twitter. Agar aku bisa berkonsentrasi dengan duniaku. Dunia yang akan segera kumasuki...
Dia tak mengungkit masalah Gede-Pangrango. Hanya helaan nafas panjang dan aku tahu aku sudah sangat salah.
Malam itu. Saat pikiranku sedang kacau atas semua kesibukan yang tak menghasilkan uang yang menggangguku. Kutatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan. Berkali-kali dia menghisap rokoknya dengan santai sambil menggumam dan mencoret hitungan-hitungannya yang salah. Aku merasa si pria itu sedang mempermainkanku. Mempermainkan waktuku. Aku menegurnya, dua kali. Dia masih saja mencoreti hitungannya yang salah.
Aku merasakan darahku naik ke kepala. Pandanganku mendadak gelap dan aku merasakan kekuatan yang maha dahsyat keluar melalui dadaku, menelusuri kerongkongan dan keluar dari mulutku. Terdengar sebuah makian, Goblok!
Saat aku tersadar, aku sudah menggenggam gelas beling kosong dengan keras. Aku masih menatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan yang kini wajahnya berwarna hitam oleh cairan hitam. Tercium wangi kopi. Dan aku tahu aku baru saja menyiram muka si pria itu dengan air kopi dan umpatanku dari siang tadi.
Pria itu menatapku nanar. Bibirnya bergetar. Aku bisa merasakan bahwa kali ini dia sedang ketakutan. Sama takutnya seperti dia melihat hantu atau tukang jagal yang akan menghabisi nyawanya.
Aku menarik nafas panjang. Kututup mataku beberapa detik, kusimpan gelas beling itu di meja dan kuhela nafasku.
"Maaf Pak, tolong ngitungnya yang bener. Ini urusan uang ratusan juta. Silahkan lanjutkan..." Kataku. Si pria yang kusiram itu masih bergetar. Dia meneruskan menulis dengan tangan dan kaki yang bergetar. Aku melihatnya dari meja yang terus bergerak.
"Saya jarang marah Pak. Saya kalo kesel biasanya suka diem. Tapi bapak didiemin dari tadi ga ngerti-ngerti." Lanjutku. Aku tertawa kecil dan dia pun mengikuti meskipun kulihat dia masih ketakutan padaku.
Hampir setengah jam aku mendiamkan si pria itu. Akhirnya dia selesai menulis dan memberikan hasil hitungannya padaku. Dia mencium tanganku dan meminta maaf padaku.
Marah membuatku lemas. Rasanya kini giliran tangan dan kakiku yang bergetar menuruni tanah yang terjal.
Aku tidak perlu marah, tidak perlu mengumpat dan berlaku kasar. Andai saja bapak mengerti...
Saya pengangguran, tapi saya banyak acara...
Aku bosan menulis kata itu tapi itu benar. Aku bodoh dan aku memang tak pernah belajar. Bahkan memperbaikinya sedikit saja pun tidak. Semuanya kebodohan lagi dan lagi.
Belum satu bulan akhirnya ayahku memperbolehkanku naik gunung. Ya, sebuah perjalanan ke Gede-Pangrango dengan ijinnya. Aku sudah pernah menulis tentang ini dan aku bisa menuliskan kalimat-kalimat itu dengan sempurna.
Belum satu bulan aku berjanji padanya bahwa aku akan segera menyelesaikan studiku. Aku pun sudah menulis tentang hal ini, ribuan, bahkan jutaan kali. Kuucapkan setiap kali aku menghadap kaca agar aku tak pernah lupa.
Belum satu bulan aku diberi amanah olehnya. Dia bilang bahwa aku harus belajar mengelola pekerjaan yang sedang dia kerjakan. Dia bilang bahwa aku harus membantunya karena dia hanya satu di dunia ini dan tidak mungkin ada dua, selamanya.
Hal-hal itu terjadi kurang dari satu bulan. Kulonggarkan jadwal mengajarku di Paskibra. Kulepaskan urusan-urusan di pusat Paskibra. Aku melupakan anak didikku di PMR dan mulai menjalani yang sekarang, hari ini. Ayahku terlihat senang saat aku bilang bahwa aku sudah mengurangi banyak jadwalku. Dengan semangat dia menceritakan seluruh projeknya dan dia pun menjanjikan untuk membawaku ke seluruh tempat kerjanya.
Kurang dari sebulan!!!
Dia hanya memberiku satu tanggung jawab untuk mengurusi satu dari sekian banyak urusan yang belum dia percayakan padaku. Dan aku. Seorang gadis bodoh yang masih saja bermain-main dengan kehidupan... aku mengecewakannya.
Aku memang harus membuang handphone-ku. Aku seharusnya tak punya akun facebook atau twitter. Agar aku bisa berkonsentrasi dengan duniaku. Dunia yang akan segera kumasuki...
Dia tak mengungkit masalah Gede-Pangrango. Hanya helaan nafas panjang dan aku tahu aku sudah sangat salah.
Malam itu. Saat pikiranku sedang kacau atas semua kesibukan yang tak menghasilkan uang yang menggangguku. Kutatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan. Berkali-kali dia menghisap rokoknya dengan santai sambil menggumam dan mencoret hitungan-hitungannya yang salah. Aku merasa si pria itu sedang mempermainkanku. Mempermainkan waktuku. Aku menegurnya, dua kali. Dia masih saja mencoreti hitungannya yang salah.
Aku merasakan darahku naik ke kepala. Pandanganku mendadak gelap dan aku merasakan kekuatan yang maha dahsyat keluar melalui dadaku, menelusuri kerongkongan dan keluar dari mulutku. Terdengar sebuah makian, Goblok!
Saat aku tersadar, aku sudah menggenggam gelas beling kosong dengan keras. Aku masih menatap si pria dengan kulit hitam kecoklatan yang kini wajahnya berwarna hitam oleh cairan hitam. Tercium wangi kopi. Dan aku tahu aku baru saja menyiram muka si pria itu dengan air kopi dan umpatanku dari siang tadi.
Pria itu menatapku nanar. Bibirnya bergetar. Aku bisa merasakan bahwa kali ini dia sedang ketakutan. Sama takutnya seperti dia melihat hantu atau tukang jagal yang akan menghabisi nyawanya.
Aku menarik nafas panjang. Kututup mataku beberapa detik, kusimpan gelas beling itu di meja dan kuhela nafasku.
"Maaf Pak, tolong ngitungnya yang bener. Ini urusan uang ratusan juta. Silahkan lanjutkan..." Kataku. Si pria yang kusiram itu masih bergetar. Dia meneruskan menulis dengan tangan dan kaki yang bergetar. Aku melihatnya dari meja yang terus bergerak.
"Saya jarang marah Pak. Saya kalo kesel biasanya suka diem. Tapi bapak didiemin dari tadi ga ngerti-ngerti." Lanjutku. Aku tertawa kecil dan dia pun mengikuti meskipun kulihat dia masih ketakutan padaku.
Hampir setengah jam aku mendiamkan si pria itu. Akhirnya dia selesai menulis dan memberikan hasil hitungannya padaku. Dia mencium tanganku dan meminta maaf padaku.
Marah membuatku lemas. Rasanya kini giliran tangan dan kakiku yang bergetar menuruni tanah yang terjal.
Aku tidak perlu marah, tidak perlu mengumpat dan berlaku kasar. Andai saja bapak mengerti...
Saya pengangguran, tapi saya banyak acara...
0 komentar:
Posting Komentar