Oktober

    Malem ini, lagi pengen dengerin lagu My Love dari Westlife. Mengingat-ingat lagi sebuah kenanan yang entah dengan siapa, entah mengingat apa dan entah apa aku punya ingatan itu atau semua hanya bayanganku saja. Sedikit demam dan sedikit nyeri di bagian lambung. Ah sudah biasa, tapi aku belum mengisi lambungku dengan air. Ya, setelah tulisan ini beres, aku akan melakukannya.

Setengah-dua.
    Aku selalu terbangun pada jam ini. Entah sadar dan tak sadar. Jantungku berdegup kencang. Seperti baru dikejar bandit, kubuka handphoneku dan selalu menyesal. Ada puluhan pesan yang ditujukan untukku. Ada seseorang yang masih terjaga menunggu balasan dariku. Dan ada perasaan yang harus kubalas juga selain pesan itu.
    Kau; adalah orang yang menyambut dan mengantarku setiap kali aku terjaga dan terlelap. Entah sebagai apa kau jika kuanggap sebagai benda. Entah seperti apa dirimu jika kuanggap kau adalah sesuatu. Yang aku tahu, kau adalah yang akan menemani perjalananku. Kemana pun dan kapan pun. Karena aku bukan lagi setengah, juga tidak menjadi dua, tapi satu.
    Kau; meskipun kurus dan tidak berlemak. Aku menghitungmu sebagai satu. Aku; meskipun tidak cantik dan tidak seksi. Aku menghitung diriku sebagai satu. Dan kita memang satu. Matematika tidak bisa memecahkan kita.

    Kali ini kuputar lagu berjudul The Call dari Regina Spektor. Lagu ini adalah lagu yang kupikir berjodoh denganku. Aku menyukai lagu ini sejak pertama kali telingaku menangkap lagunya. Dan aku memang berjodoh dengan lagu ini, entah bagaimana caranya.

Satu.
    Aku tidak tahu hari ini tanggal 1 Oktober. Tidak juga ingat bahwa ada sebuah ulang tahun yang kulewatkan begitu saja. Ya, salah satu temanku berulang tahun dan aku tidak mengingatnya karena aku belum mengganti kalenderku di bulan September.
    Kau mengingatkanku bahwa hari ini ada ulang tahun yang kulewatkan. Aku bertanya-tanya, siapakah gerangan yang berulang tahun tanggal satu selain sepupuku?
    Kubaca wajahmu, aku tahu kau sedang menelan batu bulat-bulat dan merasa sakit karenanya. Kau kemudian bercerita tentang dia yang berulang tahun, tentang kenanganku bersama orang itu tahun lalu. Aku tertawa, ingin mengucapkan kata yang belum pernah kurangkai sebelumnya.
    Kau pun bercerita tentang semua hal tentangnya dan tanggapanmu. Kau bilang bahwa mungkin saja dini hari tadi, aku sedang menelepon si orang yang berulang tahun dan mengabaikan semua pesan darinya. Lagi-lagi aku ingin bicara, namun aku tertahan pada "kata apa yang akan kuucapkan"?
    Berjam-jam dalam diam, sambil mendengarkan deru nafasmu yang sedang tertidur, aku mulai lelah merangkai kata. Aku membebaskanmu dalam memilih dan menggunakan perasaanmu, seperti kau membebaskanku untuk memilih dan menggunakan perasaanku. Kau adalah makhluk demokratis, dan aku tidak mau terlihat liberal di hadapanmu. Tapi aku mulai berpikir untuk mengikatmu untukku seorang.
    Aku dulu sempat berpikir bahwa aku akan selalu sendiri. Aku tidak akan pernah punya cerita pergi kemana pun dengan seseorang. Aku juga sempat berpikir bahwa aku adalah makhluk Tuhan yang lupa diberikan pasangan. Maka aku mulai berjalan sendiri. Aku memakai kakiku sendiri dan melakukan segala hal yang kuinginkan. Hingga aku sadar, bahwa takkan ada yang mengingat semua itu kecuali aku sendiri. Tapi, sejak kau ada di sini. Semua hal yang kuanggap tidak mungkin itu perlahan semuanya menjadi nyata. Baru kali ini aku merasa seluruh visi-ku di dunia ini sempurna, entah bagaimana proses penciptaan kesempurnaan itu. Yang jelas, kau membuat segala hal menjadi simetris, kau membuat setengah hatiku menjadi penuh, dan kau juga membuat lingkaran hidupku sempurna. Satu.
    Ada hal mendasar yang membedakan kau dengannya untukku.

    Kali ini kuputar lagu Enchanted dari Taylor Swift. Mengingat kejadian tadi siang saat aku berjalan denganmu.

Bunga.
    Dari kejauhan, aku bisa mengenalimu meskipun samar terlihat diterjemahkan dalam pandanganku. Dalam hati, aku memanggilmu, lalu kau mulai berdiri, menungguku menghampirimu dan kita jalan berdampingan.
    Entah kau sadar atau tidak. Semua pandangan kaum hawa itu tertuju padamu. Dan kau melenggang, hanya bicara padaku dan seolah mengacuhkan semuanya. Aku memang sedang jatuh cinta padamu tapi rasionalku utuh.
    Tak satu dua kaum hawa yang terpikat oleh wajahmu. Aku tak tahu gaya magis seperti apa yang menarik mereka seperti itu. Bahkan saat kau sedang menggangguku dengan memanggilku sambil berbisik, wanita di sampingku menatapmu. Jika boleh kubilang, dia sudah mengintaimu sejak kau masuk lift itu. Dan aku segera tahu bahwa dia berharap kau akan mengajaknya berkenalan.
    Si petugas bioskop itu pun menatap matamu tak berkedip. Membiarkan jiwanya tertawan pada kecantikan wajahmu. Dan aku hanya bisa tersenyum sambil menatapmu. Aku tidak membiarkan hatiku dalam perasaan cemburu padamu. Justru aku berbangga, ternyata aku memang tak salah pilih orang.
    Kau adalah bunga desa yang seolah baru mekar. Semua orang mengagumi semerbak harummu dan memujimu. Semua orang tahu kau sudah kumiliki, namun mereka mungkin menganggap aku bukanlah tuan yang cocok untukmu. Mungkin bunga yang sepertimu harus punya tuan yang juga padan denganmu.
    Ya, manusia boleh bilang seperti itu. Mereka boleh bilang aku kurcaci dan kau adalah si putih salju-nya. Aku si enam dan kau si sembilan sempurna.
    Kini aku mulai mengerti mengapa wanita yang mengejarmu itu begitu menginginkanmu. Jangankan wanita itu, wanita yang tidak mengenalmu dan tidak pernah kau mainkan saja berharap kau akan mau mendekatinya dan memainkannya.
    Saat kau menyandarkan tubuhmu padaku di dalam lift itu. Seluruh kaum hawa yang ada di dalamnya menatap sinis padaku. Aku kemudian berpikir untuk memanggilmu dengan sebutan "sayang" sesekali, bukan "kak", karena mungkin saja mereka menganggap aku adikmu.
    Kucinta kau, bunga...

Peluk.
    Tubuhmu terlalu kurus untuk kupeluk. Tanganku bahkan bisa melingkar dua kali jika aku berlebihan menceritakan betapa kurus tubuhmu itu. Tapi akhirnya aku memeluk tubuhmu juga. Menyebarkan rasa hangat dan rasa nyaman untukmu. Semoga peluk dan jimatku membawa keberuntungan untukmu.

Hujan.
    Hari ini hujan pertama setelah lama aku dipanggang mentari. Hujan ini belum sehujan hatiku. Namun hanya ada senyum setelah seharian kuhabiskan waktu denganmu. Aku memang harus naik gunung.




2 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar