aku telah melupakan rasa cintaku, tapi aku tak bisa menghapus bayangannya dari benakku... seolah dia menari-nari, selalu ingin kuingat dan kukenang...
aku ingat saat pertama kali aku melihat tasnya tergeletak diatas meja tepat dibelakang kursiku, saat itu aku bertanya-tanya, siapakah pemilik tas ini? kemudian jam pelajaran dimulai, aku tak sedetikpun menengok ke belakang dan terus terfokus pada mata pelajaran, itu adalah pertama kalinya aku bisa menatap seorang guru tanpa berhenti, biasanya aku hanya bisa menatapnya beberapa menit kemudian mulai ngobrol dengan teman disampingku.
saat jam istirahat, aku tak sempat melihat si pemilik tas itu karena aku terlalu sibuk merapikan buku-bukuku. Kali ini kulihat tasnya berada diatas kursinya, aku masih saja penasaran dan bertanya siapakah pemilik tas ini? ada puluhan tas di kelas ini, tapi aku hanya ingin memperhatikan tas ini. ada apa? padahal tasnya bukan tas mahal yang mewah, hanya tas ransel biasa.
bel berbunyi lagi dan itu menandakan jam istirahat telah usai. aku kembali duduk dimejaku dengan tenang, biasanya setiap kali aku masuk kelas, aku selalu ribut, tertawa bersama sahabat-sahabatku, membawa makanan dari luar untuk kumakan saat jam pelajaran, kemudian mengobrol tiada henti hingga jam pelajaran usai.
"Hari ini gurunya ga akan dateng." Seru temanku. Aku berteriak riang, entahlah... dulu berteriak saat guru takkan datang adalah sebuah ritual sakral yang harus kami dan aku lakukan, tapi kelas ini menanggapiku sebagai orang yang aneh, ya kelas baru dan situasi baru...
saat itu, aku membalikkan badanku untuk melihat siapakah orang yang memiliki tas itu. dia sedang membaca buku dengan tampang membosankan, aku tersenyum padanya, itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya.
sejak hari itu, aku terus mendekatinya, mengajaknya bicara namun dia acuh, seolah tak ingin bicara denganku meskipun aku sudah mati-matian ramah padanya. aku putus asa untuk mendekatinya, kemudian temanku bilang bahwa dia menyukai anak laki-laki ini, aku kemudian mengundurkan diri.
kurasakan dadaku seperti teriris perlahan, rasanya lebih sakit ketika dia mengacuhkanku.
hari-hari berlanjut, akhirnya temanku ini berhasil mendekati si anak laki-laki itu, dia bisa bicara akrab dengannya dan aku tak lagi mencoba mengakrabkan diri dengannya, aku membiarkan semua ini berjalan seperti sebelum aku bertemu dengannya. saat itu aku berpikir bahwa aku masih sempat untuk menarik hatiku darinya, tapi ternyata semua itu sudah terlambat, aku telah terlanjut menyukai anak laki-laki itu.
"Kata anak laki-laki itu, kamu itu orangnya pendiem, dia ga suka sama orang yang pendiem." Kata temanku. aku merenung, bukankah kemarin aku sudah seperti orang gila yang mengajaknya bicara tanpa henti? sekarang dia bilang aku pendiam?
aku mencoba mengajaknya bicara lagi, tapi dia tetap mengacuhkanku, seolah di dunia ini hanya ada temanku yang sedang mendekatinya. dia mungkin bahkan tak menganggapku ada.
aku keluar dari kelasku, mencoba berpikir jernih dengan kepalaku yang sudah terisi wajah dari si anak laki-laki itu... aku kembali mengabaikan si anak laki-laki itu esok harinya, aku tak mempedulikan saat dia berteriak keras atau saat dia menghinaku.
"Aku mah ga suka sama cewek yang gampang diajak pacaran..." Katanya dengan bangganya. "Ya, lalu apakah kau harus bicara sekeras itu? Dasar bodoh!" Gerutuku dalam hati, terkadang aku mencampur rasa sukaku padanya dengan kebencianku atas penolakannya terhadap diriku.
"Aku maunya langsung, pas aku udah lulus S1, aku dateng ke cewek itu, terus aku ajakin nikah aja sekalian." Katanya dengan suara setengah berteriak. Aku menatapnya saat dia bicara seperti itu. "Cewek yang aku suka harus percaya. Aku bakal dateng buat dia." Katanya.
Aku tak mau tertipu dengan kata-katanya, tapi tak ada salahnya aku mempercayai janjinya itu, meskipun aku bukanlah si cewek yang disukainya, karena jelas dia begitu membenciku hingga tak mau bicara denganku.
Setahun kemudian, aku mendengar dia pacaran dengan temanku di kelas sebelah, aku begitu kecewa, dia dengan mudahnya melupakan semua janji itu... tak lama kemudian mereka memutuskan hubungan mereka, aku bingung haruskah aku bernafas lega atau bersimpati?
beberapa bulan kemudian, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia berpacaran dengan kakak kelasku, usianya memang seumuran dengan anak laki-laki itu. saat itu, aku mulai berpikir bahwa si anak laki-laki itu terkena gangguan jiwa!
selama ini, aku tak pernah bicara dengannya, dia menganggapku sebagai musuhnya dan akupun menganggapnya sama, musuhku... orang yang harus kukalahkan! tak jarang aku membanggakan diri ketika nilaiku lebih tinggi darinya dan tak jarang juga dia mencabik-cabik hatiku dengan bilang bahwa aku memiliki nilai yang biasa saja, hanya faktor keberuntungan.
aku tak merasakan perubahan dalam diriku, tapi aku tahu... aku tak pernah bersemangat belajar seperti ini sebelumnya, biasanya aku selalu cuek tak pernah memikirkan pelajaran, bahkan aku masih bisa tertawa saat aku mendapatkan angka 2 di ulangan harianku, kini semua itu seolah mimpi buruk karena aku bisa mencapai sebuah prestasi yang membanggakan.
di tahun terakhir aku disekolah ini, aku tak lagi sekelas dengannya, aku bisa lebih fokus untuk belajar tapi kudengar nilainya semakin turun, aku begitu prihatin padanya, biasanya setiap kali bertemu, aku selalu beradu pandang dan seolah memancarkan sinar dari mata kami untuk saling menyakiti, tapi kali ini, setiap kali bertemu dia lebih banyak menunduk...
"Kayaknya ada yang nilainya kecil nih... malu dong!" Kataku. aku mengharapkan dia akan mulai mendengus dan marah padaku, tapi dia justru diam seolah menerima kata-kataku tadi.
saat hari kelulusan tiba, aku ingin sekali berbaikan dengannya, menganggap beberapa tahun kemarin tak pernah ada, tapi dia tak bisa melakukan hal itu, dia hanya menyalami teman-temanku dan teman-teman lamanya tapi tak melihatku, padahal aku berada disana. kukira, tak ada lagi yang harus kutunggu, jadi aku bisa pulang saja karena aku sudah bersalaman dengan semua temanku kecuali si rivalku ini.
kali ini, aku berada di ruang kelas baru lagi, aku duduk di meja paling belakang, aku tak mengharapkan bertemu dengan tas yang nantinya akan membuatku penasaran lagi.
beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan sahabat si anak laki-laki, aku berbincang sebentar dengannya dan aku mengetahui kabar yang begitu mengejutkan.
"Si anak laki-laki itu udah meninggal, kalo ga salah sih 2 bulan yang lalu. Dia kena serangan jantung."
"Kok bisa dia serangan jantung?"
"Aku juga kurang tau, soalnya waktu itu dia meninggal seudah ngobrol sama temen kamu waktu itu."
"Oh ya?"
"Iya. Coba aja kamu cari temen kamu itu, kali aja kamu dapet alasan kenapa." Kata sahabat si anak laki-laki ini padaku. aku merasa kehilangan, rasanya aku hampir pingsan saat mengetahui berita ini. padahal baru sebulan kemarin aku menemukan situs pertemanan dengan akunnya dan baru saja aku me-request pertemanan padanya yang hingga kini masih kutunggu untuk disetujui...
aku mencari temanku, menanyakan tentang alasan kematian si anak laki-laki itu, meskipun aku tahu bahwa semua itu sudah menjadi garis takdir tuhan...
"Si anak laki-laki itu suka sama kamu..."
"Bohong! kamu jangan bikin aku seneng! dia sekarang udah mati, ga ada gunanya bikin aku seneng."
"Aku ngomong jujur... waktu pertama kali dia ngeliat kamu, dia udah suka sama kamu, tapi dia gugup kalo ngomong di depan orang yang dia suka, jadi dia ga mau ngomong sama kamu. kamu tau alesan kenapa aku selalu ngasih tau apa aja yang diomongin sama anak laki-laki itu? alesannya adalah biar kamu sadar! tapi kamu justru ga sadar-sadar, kamu mulai dideketin sama kakak kelas, dia kira kamu pacaran sama kakak kelas itu, makanya dia juga pacaran, sengaja sama temen yang deket sama kamu biar kamu nyadar, tapi kamunya ga nyadar-nyadar juga. terus di tahun terakhir, penyakitnya dia mulai lebih sering kambuh, itu alesannya kenapa nilainya dia turun. dari dulu dia pengen ngajak ngobrol kamu, cuma kamu ga pernah bisa diajak ngobrol, dia pengen nunjukin kalo dia suka sama kamu, tapi kamu ga bisa di kasih petunjuk, kamu sibuk sama dunia kamu sendiri..."
"Dia udah nolak aku deketin."
"Engga, dia ga pernah bilang menolak, kamu yang udah nolak diri kamu sendiri."
"Kenapa kamu ga ngomong?"
"karena si anak laki-laki ga ngebolehin aku ngomong apapun sama kamu!"
menyesal. itu adalah satu kata yang tersirat dalam otakku saat aku mendengar penuturan temanku itu. di otakku seolah sebuah film sedang dimulai, aku bisa melihat aku sendiri dan si anak laki-laki di belakangku, dia memandangiku tanpa kutahu, dia selalu berjalan di belakangku jika aku pulang sekolah setiap hari tapi aku tak pernah menyadarinya, dia juga selalu memperhatikanku, dia juga yang selalu meninggalkan penghapus di mejaku saat aku mengerjakan soal-soal hitungan karena aku selalu salah menulis, dia juga merapikan bukuku ketika aku terburu-buru keluar dari kelas karena takut kehabisan gorengan di kantin, dia juga yang memberikan payung pada temanku untuk mengantarku hingga depan sekolah, dia juga orang pertama yang selalu tahu nilai-nilaiku, dan dia juga yang selalu merekomendasikanku ke wali kelas agar menjadi siswa teladan setiap tahunnya.
kini aku duduk mematung di depan komputerku, menatap foto si anak lelaki itu yang tersenyum sambil melirik kearah kanan, saat aku mengklik foto itu, foto itu telah dipotong, karena disebelahnya ada fotoku yang sedang duduk di taman sambil membaca buku.
air mataku terjatuh, aku sudah ingin menangis sejak lama, tapi aku selalu menahannya... kini air mata yang ingin kukeluarkan itu semakin deras, seolah menertawakan kebodohanku beberapa tahun kebelakang.
Saat aku meninggalkan sekolahku dan memutuskan untuk tak bersalaman dengan si anak laki-laki, si anak laki-laki itu mengejarku, dia berlari mencariku hingga ke depan sekolah, saat itu aku sudah naik mobil jemputanku, dia sempat mengejarku hingga jalan raya, tapi kemudian dia berhenti saat jantungnya tiba-tiba terasa sakit. sebelum dia pingsan, dia bilang, "My best beloved rival..."
kata-kata itu ditujukan untukku.
kini, saat aku mengenang kata-kata itu, kata-kata itu terdengar seperti, "Sayangnya kata-kata indah untukmu tak pernah sempat kuucapkan..."
dan kata-kata yang tak pernah sempat terucapkan itu selalu menjadi novelku...
mungkin memang bukan hari ini akhir penantianku, karena mungkin tuhan sedang mempersiapkan akhir penantian yang lebih indah jalannya...
aku mengerjakan soal hitungan lagi, saat aku meraba kolong mejaku, aku tak menemukan penghapus lagi disana, aku membongkar semua isi tasku tapi aku tak menemukan penghapus. aku tak ingin penghapus orang lain, aku ingin penghapus yang berada di kolong mejaku.
suatu malam, saat aku sedang mengerjakan soal hitungan dan aku kebingungan mencari penghapus, aku menemukan penghapus di kolong mejaku, penghapus berwarna hitam yang menjadi favoritku.
saat itu aku merasa nafasku sesak, tanganku meraba lantai untuk menemukan alat hisapku, tapi aku baru ingat bahwa alat hisapku berada dalam tasku di balik pintu dan aku tak bisa meraihnya.
aku melihat si anak laki-laki, dia menaruh penghapus berwarna hitam di tanganku, kemudian tersenyum padaku. perlahan aku merasa rasa sakit di dadaku hilang, seolah aku sudah tak memerlukan obat itu lagi.
aku bermimpi, bertemu dengan si anak laki-laki di taman sekolah, saat dia melihatku, dia langsung tersenyum padaku dan menghampiriku, aku hanya duduk disampingnya sambil tersenyum kearahnya. di mimpi ini tak pernah ada malam, dan aku tak tahu sudah berapa lama aku duduk disini bersamanya tanpa mengatakan apa-apa.
"Jika ini mimpi, aku tak ingin bangun lagi." Kataku.
"Karena ini bukan mimpi, dan kau takkan terbangun lagi." Kata si anak laki-laki padaku. Dia tersenyum dengan begitu ramah padaku.
13 agustus 2010