(di aula UNISBA, acara makan-makan setelah pelantikan)
Sekembalinya adikku si Putri Syalala dari pendidikan dasar MAPENTA UNISBA, banyak hal yang berubah dari dalam dirinya. Adikku belajar untuk menangani rasa jijik, rasa takut bahkan lebih banyak berdoa, meski pun doanya ditujukan pada Tuhan biar bisa cepet pulang.
Dua belas hari bukan waktu yang sebentar di gunung. Seratus empat puluh kilometer, kaki dipaksa meniti langkah demi langkah, dari Citatah menuju Subang. Menggapai ujung ujung tebing nan curam setinggi 48 meter hanya bermodalkan sebuah tali. Kemudian naik turun gunung, sembilan gunung.
Aku tidak tahu pasti apa yang benar-benar dialami olehnya, tapi yang jelas, aku pernah merasakan perasaan yang dia rasakan. Bedanya, waktu itu aku berumur 12 tahun, dan adikku sekarang sudah 18 tahun.
Di usiaku yang baru 12 tahun, aku memutuskan ikut organisasi PMR. Nah, PMR adalah satu-satunya organisasi terekstrim di sekolahku dulu. Pendidikan Dasarnya hanya 3 hari 2 malam, mudah kelihatannya, tapi pesertanya adalah anak-anak lulusan SD yang rata-rata belum pernah pergi camping ke gunung yang jauh dari rumah.
Waktu itu aku berjalan sekitar 25 km, tanpa minum, tanpa makan dan tanpa istirahat. Panitia begitu pintar menyita uangku dengan alasan takut nanti basah, lecek dan hilang. Aku benar-benar tersiksa saat itu.
(acara screening film dokumentasi pendidikan dasar)
Aku terus menerus berdoa, mengharapkan Ibuku cepat menjemputku atau Ayahku lebih
keukeuh memaksaku tetap untuk tidak ikut organisasi itu. Tapi sayangnya, sampai di tempat pendidikan dasar pun orangtuaku tak juga muncul. Padahal aku sudah berdoa sambil terus memanggil nama ayah dan ibuku.
Adikku pun melakukan hal yang sama, sepanjang jalan, dia memanggil nama Ibuku dan berharap Ibuku menjemputnya. Tapi sayangnya, sama seperti situasiku, Tuhan berkehendak agar aku ditempa alam menjadi pribadi yang lebih baik. Ya, setidaknya itulah kesimpulan manis namun menyesakkan dada setelah perjalanan itu.
Aku dibiarkan hujan-hujanan tanpa jas hujan, kemudian berenang menyusuri sungai, merangkak di atas lumpur, berguling-guling di semak, lari di atas jalan bebatuan, jalan bebek mengelilingi lapangan, makan dengan satu sendok yang sama dengan beberapa orang, minum dengan satu gelas yang sama, nasi yang sengaja dicampur dengan jeruk dan coklat, tidur hanya beralaskan tanah, baju basah kuyup, menggigil semalaman, diserang oleh sekumpulan kaki seribu yang berusaha menyelinap masuk ke baju. Ah, aku belum pernah merasa tersiksa seperti waktu aku berusia 12 tahun.
Kini, adikku pun merasakan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih berat. Dia harus melawan rasa takutnya pada ulat, kupu-kupu, ayam, belalang, bahkan akhirnya dia memakan ulat sundari dengan cara disate.
Aku memang hanya bisa tertawa mendengar ceritanya, tapi di dalam hatiku, aku bersyukur akhirnya adikku bisa berubah. Aku mengerti sekarang kenapa salah satu instrukturnya bilang bahwa para peserta pendidikan dasar itu sudah berubah jauh menjadi lebih baik, dan itu terbukti.
"Jangan makan tulang kawan! Ingat harga diri dan itikad baik."
Adalah salah satu motto hidupku juga sekarang. Kalau aku hanya bisa jadi beban dan membebani orang lain, maka pilihan akhirnya hanya dua, kembali lagi atau berusaha untuk mengimbangi langkah bersama yang lain. Tapi aku tidak mengenal kembali lagi, maka aku harus bisa mengimbangi langkah bersama yang lain.
Adikku bercerita bahwa selama perjalanan, maagnya kambuh, kakinya sudah tidak kuat lagi berjalan, namun dia tetap memaksakan, agar tetap tidak makan tulang teman. Kemudian setelah lama berjalan, adikku yang sedang sakit itu justru bisa menarik temannya yang lain dan berada di posisi depan. Teman-temannya pun kemudian mengulas kisah selama latihan sebelum pendidikan dasar, adikku selalu menjadi yang paling
boyot, dan terbukti dengan di awal perjalanan, adikku kelihatan bersusah payah untuk tetap berjalan bersama, tapi setelah lama berjalan, akhirnya adikku bisa jalan lebih dulu dari semua.
Aku menyebutnya, kekuatan konstan. Seringkali orang berjalan bersemangat di awal perjalanan, menghabiskan tenaganya di awal kemudian merangkak di akhir. Aku memang tidak memiliki semangat itu, aku dan adikku hanya punya kekuatan
segitu-gitunya. Dan aku penganut, selangkah demi selangkah, lama-lama sampai.
Aku dengan sengaja mengajak adik-adikku ke gunung, alasannya simpel, adik-adikku tidak pernah merasakan pendidikan dasar seperti yang dulu kurasakan. Dan mereka perlu merasakannya, agar 'tempa'-an yang mereka rasakan nanti tidak terasa begitu berat.
(di ruang peserta, sedang ngobatin kaki yang pada lecet)
Inginnya, aku bisa memoles mereka, memberikan perkuliahan hidup, meski pun usiaku tidak terpaut jauh dari mereka. Tapi aku tidak bisa tega membiarkan adikku kehujanan, membawa tas berat, penuh lumpur atau kelaparan. Jadi sepertinya proses kuliah itu akan sangat lama.
Aku bersyukur adikku dengan sadarnya memilih organisasi MAPENTA, organisasi yang insyaAllah dapat membawa pengaruh yang baik untuknya. Dan juga aku bisa meminjam nama dan syalnya kalau-kalau aku pergi backpacker ke daerah orang, hehehe.
Setelah melalui
banyak perjalanan, aku memang banyak berubah, dari yang dulu jijik-an, tidak mau satu gelas bahkan dengan adik sendiri, sekarang aku bisa berbagi satu gelas kopi bersama orang-orang yang bahkan malas untuk sikat gigi berhari-hari. Kemudian perubahan-perubahan lain yang jika kusebutkan satu persatu maka aku akan diklaim sebagai manusia
riya, suka pamer, mendeskripsikan hanya untuk pencitraan atau disebut tidak tulus.
Adikku bercerita bahwa selama pendidikan dasar, teman-temannya banyak yang bertengkar, saling adu mulut, mendorong bahkan sampai hampir berkelahi, untungnya adikku tidak ada di dalam salah satu pertikaian itu. Aku pun teringat perjalananku ke puncak tertinggi pulau Jawa tahun lalu, di perjalanan menuju puncak, mereka bertengkar masalah air. Dan aku hanya bisa memandangi mereka yang adu mulut, yang satu berusaha tetap menjaga agar air awet, yang lainnya berusaha untuk mendapatkan air lebih banyak. Sifat-sifat kebinatangan, kata instruktur adikku, keluar dalam keadaan terancam dan terdesak.
Kata-kata instruktur adikku itu banyak menginspirasiku. Dulu aku berpikir bahwa semua orang berhak dan mampu untuk naik gunung, semua orang berhak ada di puncak tertinggi pulau Jawa dan semua orang pun bahkan berhak ada di puncak tertinggi di Indonesia pun dunia.
Tapi, ternyata tidak semua orang berhak ada di sana. Esensi naik gunung bukan sekedar mencapai puncak, mengukir nama atau mengibarkan panji kebanggaan di puncaknya, tapi esensi naik gunung itu
mungkin bagaimana kamu mengalahkan ego diri sendiri. Akankah kamu perhatian pada teman yang tidak kuat sampai puncak? Akankah kamu meninggalkan teman? Akankah kamu memaafkan kesalahan diri kamu sendiri?
Aku pun mungkin belum berhak ada di puncak tertinggi pulau Jawa. Tapi insyaAllah, perjalanan selanjutnya, aku tidak akan pernah makan tulang kawan, akan selalu ingat harga diri dan itikad baik. Meski pun yang pergi selama 12 hari itu adalah adikku, tapi adikku membawa pelajaran berharga ke dalam rumah dan disebarkan untukku. Semoga aku pun, dengan tulisan ini, bisa mengilhami.
Jangan pernah memaksa
hati kawan untuk meneruskan perjalanan, gunung tidak memberikan tempat pada yang lemah
hati. Sekalian, kutambahkan, JANGAN MAKAN HATI KAWAN!
Jangan membunuh keinginan kawan. Jangan jadi beban kawan. Jangan membebani kawan.
Semoga orang-orang baik, alam, malaikat dan Tuhan selalu melindungimu, Putri Syalala, sama seperti mereka semua mengelilingiku dalam setiap langkah.