catatan Situ Lembang


Hari ini, ceritanya aku sengaja mempersiapkan diri untuk naik gunung, menemui adikku tercinta yang sedang pendidikan dasar jadi pecinta alam. Aku udah siap dengan sepatu-semi-sandal yang sering disebut dengan sandal baim. :p sandal unyu-unyu yang sebenernya kurang panjang untuk kaki aku yang ukurannya 40 ini jadi sandal andalan aku untuk jalan jalan kemana-mana, ya setidaknya untuk dua bulanan ini. Aku ga berani mengecewakan bentuk perhatian Ibuku yang satu itu untuk kakiku. Hehehe.


Jam 11 siang, aku berangkat ke Lembang untuk ketemu sama adik aku itu. Ibu aku bilang kalo Ibu aku ga boleh nemuin adik aku. Soalnya itu aturan dari pecinta alamnya, biar mental adik aku yang sedang dibangun itu ga pabalatak ketika bertemu wajah Ibu aku. Hahaha. Itu adalah pertama kalinya si Putri Syalala, panggilan untuk adik aku yang nomer dua, pergi camping ke gunung tanpa ditemenin sama aku.

Sekitar jam setengah 2 siang, aku nyampe di kaki gunung sebelum situ Lembang, di situ, kabut mulai muncul dan jarak pandang cuma sekitar 10 meter. Kemudian makin lama, jarak pandang cuma 1 meter. Dan Ibu aku keder, minta pulang dan bilang kalo mungkin gunung itu ga mau didatengin. HAHAHA. Mungkin Ibu aku keder ketika baca plang "Segera Kembalilah Jika Ragu" yang ada di kanan kiri jalan. Oke, itu sedikit spooky, udah kanan kiri hutan pinus, ga ada satu makhluk hidup pun yang bisa diajak ngobrol selain aku, Ibu aku dan adik aku yang bungsu dan si plang itu ngomporin banget. Tapi dalam hati, aku bilang, "Masia weh, aing mah dek ketemu jeung adik aing. Assalammu'alaikum!"

Pertama kali masuk ke dalam hutan itu, aku juga 'merasa' untuk dikomporin pulang sama sesuatu yang menyelinap, menggaruk-garuk perasaanku yang bikin aku sedikit takut dan gemetar. Tapi seperti yang udah aku bilang dari dulu, aku ga mau takut sama hal lain selain Tuhan yang aku sembah, aku ga mau perjalanan naik gunung aku bikin hatiku jadi musyrik sama Tuhanku. Perjalanan kemana pun dan dengan siapa pun, seharusnya bikin aku semakin deket sama Tuhan, itu baru perjalanan yang bener. Dan aku ga mau ngelakuin perjalanan yang salah dimana aku takut sama hal lain selain Tuhan. Oke, keren kan prinsip hidup gue?
Selama perjalanan, Ibu aku terus ngerengek bilang kalo kayaknya jalan yang ditempuh itu salah. Tapi aku, justru semakin menikmati perjalanan. Waktu itu aku cuma bawa kamera hape, di depan mata aku, aku bisa ngeliat butiran debu-nya Cakra Khan, eh, maksudnya butiran air dalam kabut, tapi ga bisa aku foto. Dan naik gunung itu emang bikin nyaman hati. Aku cuma pake kaos tangan panjang sama celana panjang aja, dan ga pake lama, badan aku udah basah sama embun itu.

Barulah aku sadar kenapa si Wallace itu bilang kalo Indonesia itu eksotis, bayangin aja, jauh di atas kabut, aku bisa ngeliat sang surya memancarkan sinarnya malu-malu, tapi di sini, di bawah rengkuhan Pinus, kabut memeluk aku dan setiap aku narik nafas, butirannya masuk ke dalam paru-paruku. Kemudian turun rintik air mirip hujan, yup, surga itu pasti kayak gitu deh. Hutan Hujan Tropis, keren ga tuh? Sekeliling itu ya kayak tempat syutingnya Twilight, cuma lebih Indonesia, lebih sunda dan menurut aku jauh lebih banyak harus mengucapkan assalammu'alaikum.

Setengah jam di dalam hutan itu bikin aku kangen banget sama kegiatan naik gunung. Kemudian Ibu aku bilang kalo dia pengen banget ke Semeru, pengen ke Ranu Kumbolo, katanya. Terus Ibu aku bilang alasan kenapa adik aku ikutan pecinta alam, katanya dia mau ngebuktiin sama aku kalo dia bisa juga diajak ke Mahameru. Aku punya sikap lebih waspada sama adik aku yang nomer dua itu, si Putri Syalala, masalahnya waktu dia itu sering pingsan, dan penyakit di dalam badannya itu komplikatif banget, kalo ngeliat dia itu sama kayak ngeliat aku. Bedanya mungkin kalo aku dikaruniai posisi sebagai kakak sulung yang mesti bertanggung jawab dan kuat sama segala beban, dan dia ada di posisi anak ketiga yang punya dua kakak yang mesti bertanggung jawab atas dirinya. Hahaha, apaan?

Dan ketika aku jalan meniti jalan setapak menuju camp adik aku, ketemu sama orang-orang baru, si kakak-kakak kelas adik aku yang sebenernya adalah adik kelas aku, aku berbisik di dalam hati, dimana hanya Tuhan yang tahu pastinya apa. :)

Ketika aku ngebahas masalah rencana aku untuk ke Semeru lagi, Ibu aku bilang bahwa aku mesti nyari jadwal yang bener-bener sepi, karena kemungkinan kalo aku diterima di perusahaan baru ini, aku harus mengucapkan selamat tinggal sementara untuk naik gunung dan jalan-jalan.
Aku ga sempet nemuin adik aku, soalnya aku sendiri ga mampu nahan diri. Masa tiba-tiba aku ikut ngegabung grup pecinta alam adik aku? Kan ga lucu. 

Aku kemarin menulis sebuah tulisan yang belum sempet aku publish, dan belum sempet juga aku kasih judul, seperti biasa, sebuah tulisan prematur yang ga kuat lagi aku terusin.



Ibu saya mungkin sekarang dimisalkan seekor Ibu Burung Unta yang sangat overprotektif pada telurnya. Di rumah, kami jarang menggunakan kata sakit, sedih, luka atau menangis untuk mendeskripsikan perasaan secara gamblang. Kami terbiasa untuk memahami perasaan dari air muka, dan laku. Saya yakin apa yang Ibu saya rasakan saat ini melebihi seluruh kata itu. Bahkan lebih dari perasaan seorang Ibu yang anak perempuannya tertawa di atas air matanya, bahkan juga mungkin lebih dari perasaan seorang Ibu yang air matanya sudah tidak mampu dihapus oleh tisu. 
Bu, kalau tidak mampu dihapus tisu, kalau saya tawarkan lap kain, bagaimana?
Ibu saya mengenal saya lebih dari 3 bulan. Kami bahkan tidak punya tanggal pasti untuk diingat kapan tepatnya kami mulai bersatu menjadi sahabat selama ini. Saya bahkan tidak tahu kapan pastinya saya menyangkut di dinding rahimnya hingga kemudian saya memaksa keluar melalui saluran vaginanya. Tapi saya yakin, meski pun saya keluar dari vagina, tempat gelap, becek dan lembab, ketika saya meminta dikeluarkan dari ubun-ubun, Ibu saya pasti akan setuju, meski pun itu akan menyakiti dirinya. Namun saya bukan anak yang suka dan mampu untuk berbahagia ketika Ibu saya bersedih dan menitikan air mata.
Ibu saya menyimpan dendam tersendiri di dalam dadanya. Saya, adalah orang yang paling sering mengecewakan Ibu saya, tapi Ibu saya tidak pernah bilang bahwa dia menyimpan rasa kesal di hatinya pada saya. Dia selalu bilang bahwa dia bisa memaafkan dan akan selalu memaafkan semua kesalahan saya. Ya, itu adalah Ibu saya. Ibu saya tidak pernah menghukum saya, memaki pun tidak pernah,  tapi dia bisa menyimpan kebencian.
Dan Ibu saya memang sedang bisa dimisalkan sebagai seekor Ibu Burung Unta yang overprotektif pada telurnya. Ketika saya tanya siapa, dia pun menjawab bahwa dia membenci batu batu tolol yang memelintir kaki anaknya kemarin hari. Sekejap, sebuah kilat menggelegar dan menusuk ke dalam jantung saya.
Saya menganggap masalah yang menerpa saya angin lalu, tapi Ibu saya menganggapnya adalah sebuah beban besar yang mengganjal di dalam hatinya. Saya berulang kali bilang tidak apa-apa, tapi orang yang kecewa atas cerita yang pahit saya itu adalah Ibu saya. Saya hanya bisa membantu meringankan kecewa Ibu saya dengan memegang bahunya kemudian menghiburnya sedikit.
Mom, kita sedang naik gunung, jika dengan naik gunung ini kita bisa memaafkan dan merelakan, kita satu langkah lebih dekat kepada Tuhan kita. Biarkan yang tidak bisa memaafkan dengan satu langkah mundurnya, Mom...






Situ Lembang, 2 Februari 2013.

0 komentar:

Posting Komentar