Kau bajingan, AFNI.

Ya, yang aku tahu namanya adalah Afni Nur. Nur? Benarkah dia itu Nur yang berarti cahaya? Aku mengenal begitu banyak nama Nur. Dan hampir semua Nur itu bukan cahaya. Mereka hanya bayangan yang hanya bisa mengikuti dalam diam, memperhatikan setiap gerik namun tak bisa melakukan apa pun. Ya, itu kamu, Afni!
Kau mungkin tidak ingat apa saja yang pernah kau lakukan semasa kecil. Kau mungkin tak ingat bahwa kau pernah masuk Sekolah Dasar dan masuk kelas 6, satu kelas denganku. Kita (sialnya) duduk di dalam satu banjar. Kau ada di muka, persis di depan meja guru, dan aku di belakang. Paling belakang. Menempati kursi paling sempit dan paling jauh dari papan tulis.
Kau juga mungkin tidak ingat pernah berucap dengan manjanya, “Aku gak mau sekelompok sama kafir!” Tidak Afni, jangan menyangkal. Kau mengucapkannya di depan guru bahasa Indonesia bernama Bu Neneng. Ya, kau seharusnya memang mengingat hal itu. Kau menyebutku apa? K-A-F-I-R.
Kafir? Jangan pura-pura lupa, Afni. Kau mengucapkannya di depan wajahku juga. Dan tak ada satu orang pun yang mengkoreksi lidahmu yang begitu tajam menyayat itu. Siapa yang berani melawan Afni, si anak manja yang bisanya hanya merengek, “Penghapus aku hilang!” atau “Penggaris aku mana?”. Aku sudah menyimpan kata-kata ini dari sejak aku mengenalmu, Afni. Kaumen-ji-ji-kan.
Aku selalu bertanya-tanya, tak heran jika aku sekarang lebih banyak memikirkan tentang sesuatu dari pada otak jongkokmu itu,mengapa Afni membenciku?Apa salahku? Jawabannya yang kudapat bukan dari pertanyaan yang kuajukan. Kau membenciku karena kau menganggap aku kafir. Padahal, tanpa kau tahu, aku sudahkhattamal-Qur’an sejak kelas 2 SD. Bagaimana denganmu sendiri, Afni? Apakah di kelas 2 SD kau sudah melewati Iqro 3? Sekarang aku yang menertawakanmu.
Kau itu adalah sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang orang sebut AGUNG. Ya, aku sendiri mengakui, kau begitu besar dan agung. Tapi tidak lebih dari setumpuk kotoran hewan. Dan setelah aku melupakanmu sejak kau menyebutku kafir, tiba-tiba kau datang. Ah, tidak, kau tidak datang. Kau hanya meng-addsocial media-ku. Kau meng-add facebook-ku. Haha.
Lucu, Afni. Lucu. Apa kau mau memanggilku kafir, sekali lagi? Atau kau yang sekarang sudah berkerudung merasa bahwa kau memiliki derajat yang lebih tinggi dariku? Atau… kau datang untuk siap kucaci?
Sewaktu kita di sekolah dasar, aku diam, bukan karena tidak bisa melawan. Tapi karena melawan untuk tuduhan yang tidak benar adanya sama seperti membuang garam di laut. Sekarang, Afni, aku mau mencacimu bukan karena kau menyebutku kafir. Aku mau mencacimu karena sejak dulu kau memang pantas dicaci.
“Dasar anak manja! Kau hanya tau cara menghabiskan uang. Kau hanya tau bagaimana keinginanmu terpenuhi. Kau tak pernah tau bahwa orangtuamu, ya ya ya, orangtuamu mengemis-ngemis pada orang lain untuk mengabulkan keinginanmu. Sekarang kau sudah jadi manusia, Afni? Berapa usiamu, duapuluhduatahun? Keledai berusia duapuluhduatahun sudah terlalu tua untuk bekerja. Terlalu bodoh untuk disekolahkan. Terlalu manja untuk menjadi seorang gadis yang mandiri.”
Kau bisa datang menghadapku, Afni. Kau bisa mengirimiku ucapanminal aidzin wal faidzindalam bentuk pesan singkat hingga parcel jutaan rupiah. Kau tak perlu takut aku tidak memaafkanmu, Afni. Aku telah memaafkanmu jauh sebelum terbersit di kepalamu tentang kesalahan yang kau lakukan. Hanya saja, hukum Alloh tetap berjalan Afni. Kau mungkin tidak kafir, orangtuamu dan leluhurmu mungkin tidak kafir. Tapi siapa tau dengan cucumu atau mungkin anakmu?
Bagaimana perasaanmu ketika keturunanmulah yang disebut KAFIR oleh jutaan manusia di bumi ini? Ingat Afni, Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak buta. Tuhan juga tidak akan pernah membalikkan kata-kata yang sudah terucap.
Sekali lagi, “BAJINGAN KAU, Afni. Kamu pantas mendapatkan caciku.”
NB : Afni Nur (Nama disamarkan untuk kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya dan harga diri). Kesamaan nama, tempat, kejadian, dialog bahkan kata-kata hanya kebetulan semata. Ini hanya fiktif. Perasaan tersinggung muncul hanya bagi manusia yang pantas disinggung. Dan jika tersinggung, itu bukan salah saya.

0 komentar:

Posting Komentar