Gede-Pangrango : sebuah restu

Jujur saja, aku sempat berpikir bahwa aku takkan pernah naik gunung lagi. Setelah beberapa kali ke dokter dan mendapati semakin banyak komplikasi penyakit di tubuhku, aku semakin mengerti bahwa fisikku memang tak diciptakan untuk kondisi seekstrim itu. Aku tidak dilahirkan untuk berpetualang. Lalu aku mulai merapikan tas carrier-ku yang sudah hampir dua bulan berserakan di lantai kamarku. Juga jas hujan, alat masak, semua perlengkapan naik gunung hingga jaketku.
Aku bersedih menyadari bahwa takkan ada gunung yang  bisa kudaki lagi. Aku merasa bodoh karena menghabiskan waktuku untuk diam di rumah, bukannya pergi sejauh mungkin ke tempat yang bisa kucapai. Aku merasa tidak seberuntung orang lain. Kenapa aku harus diberikan fisik yang lemah sedangkan keinginanku untuk pergi ke tempat-tempat eksotis Tuhan itu sangat tinggi? Kenapa orang-orang yang justru diberikan fisik yang kuat justru enggan pergi ke tempat-tempat itu?
Aku ingin menangis, sayangnya air mataku kering. Sesal itu mengendap saja di dalam hati tanpa seorangpun tahu dan mengerti. Sambil membereskan semua perlengkapan naik gunungku, ada rasa sesal. Semua barang ini akan menjadi mubazir, dan aku penganut inna mubadzirina kana ikhwana syaiton (Sesungguhnya menghambur-hamburkan sesuatu itu adalah sifat dari saudaranya setan). Seiblis apapun diriku, aku enggan disebut setan. Dan aku tidak mau bersaudara dengan salah satu dari mereka.

Akhirnya aku tahu mengapa tubuhku selalu lebih dingin dari pada orang-orang normal. Aku juga akhirnya tahu bahwa yang membuatku kuat bukanlah fisik, tapi hanya kemauan semata. Aku pun mengerti kenapa aku didera kurang darah yang tak kunjung normal.
Ah ternyata...

Teman-temanku mengajakku naik gunung, juga adik-adik kelasku. Aku mengiyahkan saja tanpa sedikitpun berpikir akan benar-benar merealisasikannya. Bagiku, vonis dokter itu sudah cukup jelas. Dan takdir bahwa aku seharusnya menjadi anak rumahan yang baik dan bukannya pergi naik turun gunung pun sudah jelas diterakan di keningku.
Aku lagi-lagi hanya menghela nafas.

Sore tadi, aku bicara bahwa ada seorang teman yang mengajakku pergi ke gunung gede-pangrango. Aku hanya sekedar bercerita, sekalian menceritakan ketidakmampuanku pergi kesana. Ada air mata yang menggenang di mataku saat aku bercerita.
Aku sudah istrirahat seminggu full untuk mengembalikan kondisi tubuhku pasca backpacker ke Jogja. Nyatanya aku sadar, istirahat selama apapun takkan mampu membuat tubuhku "normal". Dari awal pun aku memang sudah tidak normal, untuk apa beristirahat jika tak bisa mengembalikan semuanya?
Ayahku angkat bicara dan dia bilang  bahwa dia mengijinkanku pergi ke seluruh gunung yang kuinginkan. Mataku terbelalak. Rasanya petir menggelegar tepat di atas kepalaku. Restu? Dia memberikanku restu?
Beliau kemudian bicara tentang syarat. Aku kembali lemas. Kuyakin syarat utamanya adalah agar tensi darahku naik, agar aku sehat dan tidak bolak-balik ke dokter lagi. Apalagi ditambah dengan wajahku yang terus menerus pucat, syarat itu semakin terasa berat. Diluar dugaanku, beliau hanya meminta satu syarat dan syarat itu tak ada hubungannya dengan kesehatanku.

Tuhan, akhirnya restu itu turun juga!
Meskipun status tubuhku masih sakit, tensi darahku akan terus rendah dan aku takkan dengan cepat sembuh. Asalkan aku bisa pergi, dengan restu, maka kaki ini akan melangkah!

Apakah aku terlihat seperti Soe Hok Gie yang akan mati muda? Apakah aku terlihat akan segera mati dan seluruh keinginanku harus dikabulkan?
Aku merasa beruntung karena meskipun aku dilahirkan dengan suhu tubuh yang lebih rendah dari manusia normal, aku masih diberi kesempatan untuk pergi.

Sama sepertimu, Dad, aku mengambil filosofi hidupmu bahwa buah kelapa yang baik adalah buah kelapa yang jatuh jauh dari induknya, terhempas ke pantai, terombang-ambing ombak, bertahan hidup sendiri, mencari pantainya sendiri dan tumbuh di seberang lautan rumah. Aku akan menjadi buah kelapa yang baik, sendiri.
Dan meskipun pada akhirnya aku tahu bahwa aku takkan menjadi sembuh, aku akan menikmati waktu yang tersisa saja... Apa gunanya sehat jika aku tak melangkahkan kakiku kemana-mana? Sakitpun tak apa, asal ada restumu...

Ayey!!!
Maka, mahameru...
kau akan berjodoh denganku!

0 komentar:

Posting Komentar