Tentang ciremai : perjalanan tanpa restu

"Aku tuli dan aku bandel!"

Aku merasa sangat bersalah saat kujejalkan kakiku di kaki gunung Ciremai. Sudah jelas titah Ayahku untuk tak pergi kesana tanpanya. Sudah jelas juga larangannya padaku. Sudah jelas juga bahwa aku takkan membuatnya bangga meskipun aku sudah sampai disana, tapi masih tetap kulakukan.
Dad, sometimes, i just wanna prove to you that i can, i'm just like you, young and wild.
Saat aku sampai di kaki gunung Ciremai, -Tuhan-, tak ada puncak yang bisa kutatap. Entah seperti apa puncak dari Ciremai itu. Padahal dari puncak Kerenceng, kulihat dengan jelas puncak Ciremai. Tapi di bawah kakinya yang mungkin hanya berjarak 1000 meter, aku tak bisa melihatnya. Saat itu aku bukan ingin cepat-cepat naik ke atas. Aku merasa ingin pulang. Aku ingin meminta maaf karena telah TULI dan tak mendengar kata-kata ayahku.
Maaf, Dad... Sepertinya keinginanku untuk menjadi sepertimu begitu ngotot. Kadang aku lupa bahwa pilihanmu untukku selalu yang terbaik. Dan ambisiku untuk ke Ciremai membuatku lupa bahwa kebahagiaanmu jauh lebih utama dari mimpi bodohku.
Detik ini juga, Dad, aku ingin sekali meninggalkan rutinitas bodohku, aku ingin meninggalkan PPL dan urusan kuliah yang lebih banyak B*LLSH*T dari pada kenyataan. Aku hanya ingin berada di jalan yang kau inginkan.
Aku ingin berteriak Dad, aku takut mengecewakanmu jika ternyata tahun depan pun aku belum lulus. Aku takut mengecewakanmu jika ternyata aku tak bisa menjadi apa yang kau inginkan. Aku bandel, dan aku terus menerus membuatmu menunggu.

Saat aku melewati tanjakan penuh bebatuan melewati sungai, aku memikirkanmu. Bagaimana reaksimu jika kau pulang dan mendapati berita bahwa aku berada di Ciremai, bukan di kamar yang hangat dan aman? Bagaimana jika kau pulang dan tahu bahwa aku telah berjalan terlalu jauh dari apa yang kau inginkan? Apakah kau akan marah? Apakah marahmu masih tersisa untuk seorang wanita yang bukan lagi waktunya mendapat marahmu? Saat itu juga aku merasa tak betah berada di hutan, padahal aku lebih suka berada di hutan dari pada di kota. Maka kupercepat langkahku untuk segera pulang dan menghiraukan rasa sakit di dada dan lambungku.
Aku ingin pulang. Bertemu denganmu. Dan kau mendapatiku berada di kamar sambil membaca buku seperti biasanya. Kau tersenyum dan bertanya apa yang sedang kulakukan atau apa yang sedang kubaca. Lalu memintaku membuatkan segelas kopi yang tidak enak. Lalu kau memuji bahwa kau merindukan kopi buatanku dan kopi itu rasanya enak.

I miss you so much.
Aku menunggu detik-detik kepulanganmu. Aku menyesal pergi ke Ciremai tanpa restumu, Dad. Jika waktu bisa kuputar kembali, aku akan meminta ijinmu meskipun jawabannya akan selalu tidak.
Dan ternyata aku masih bisa menyesal. Maka aku menyesal untuk tidak meminta ijin padamu.
Aku akan mengingatkan diriku tentang tulisan ini. Agar aku tak melakukan hal bodoh lagi.
Kupakai semua baju di lemarimu agar bisa kucium bau tubuhmu. Dad, Aku mencintai Tuhan melaluimu.

Aku tak bisa berjanji bahwa aku tidak akan tuli dan bandel lagi. Karena mungkin saja aku buta atau bisu nanti. Tapi aku takkan mengecewakanmu, Dad. I'm yours. Maaf juga telah mengajak adik-adik ke Kerenceng dan membuat mereka terluka disana-sini, kedinginan dan kelaparan. Aku belum menjadi kakak yang baik untuk menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Maaf.
Jika kau memintaku melepas cincin kakiku sekali lagi, maka akan kulakukan. Jika kau memintaku berhenti melakukan hal-hal bodoh, maka akan kulakukan. Apapun yang kau minta, akan kuberikan. Cepat pulang, Dad...
Seperti kau, aku juga suka menulis. Seperti kau, aku juga suka kopi hitam. Seperti kau, aku juga suka rokok. Seperti kau, aku mencintai naik gunung dan backpacker. Seperti kau, aku mencintai Mom dan adik-adikku. Seperti kau, aku membenci penyesalan.


Untuk pria yang namanya terselip di gerbong namaku yang begitu panjang
7 Juli 2011
aku takkan pergi kemana-mana lagi tanpa restumu dan aku berjanji demi cintaku pada Tuhan karenamu.

0 komentar:

Posting Komentar