cermin

Aku teringat awal pertemuan kita. Kita jauh lalu mendekat saling berhadapan. Aku melihat ke dalam matamu dan menemukan pantulanku di dalam dirimu. Aku keruh, entah apa yang kau lihat dalam diriku. Kita bergerak dalam diam, menciptakan hubungan intim dalam kesunyian.
Kau ada di sampingku, sejak kau ada di sampingku, aku punya perasaan yang tak bisa kujelaskan. Aku menatap matamu dan aku menemukan diriku disana. Kita sama dalam segala hal, kecuali hati.
Dalam ribuan orang yang menenggelamkanmu dalam kumpulannya, aku akan bisa menemukanmu. Dalam jarak pandang ribuan meter pun meskipun mataku minus, aku pasti akan bisa melihatmu. Tak ada kata rindu terucap dari mulutku karena aku memang belum pernah merindukanmu.

Di akhir perjalanan kebersamaan kita. Aku memutuskan untuk tak lagi menatap pantulanku yang ada di dalam dirimu. Aku membalikkan badanku dan berlalu. Masih sering kudengar kau memanggil namaku. Masih sering kau menyebut namaku.
Dalam jarak ribuan kilo darimu, aku berpikir. Tentang kita. Mengapa tak pernah ada bedanya?

Aku tidak merindukanmu. Dan aku kembali pergi ke tempat-tempat yang pernah kudatangi bersamamu. Rasanya sama saja, antara aku sendiri dan bersamamu.
Kau candu, seperti canduku untuk menatap pantulanku di cermin. Kau candu, cermin yang sempurna yang bisa memperlihatkan bayanganku secara utuh.

Lalu aku berhenti berkaca dan aku memang tidak suka menatap pantulanku di cermin. Aku tidak mau terperangkap dalam perasaan yang sama seperti perasaanku padamu.
Kau tahu, aku selalu menginginkan menatap pantulanku di kaca benggala rumahku yang kini tersimpan di Cipedes. Jarak membuatku tak bisa menatap pantulanku di sana lagi.
Dua minggu lalu, aku menatap pantulanku di kaca benggala itu. Aku melihat diriku dan perasaannya sama seperti aku menatapmu. Ada yang berbeda, di belakangku muncul sesosok bayangan yang samar kulihat dalam gelap kemudian berdiri di sampingku.

Pernah baca new moon? Ya, aku berdiri di depan kaca seperti Bella dan Edward. Tapi aku melihat aku, bukan nenekku. Aku melihat seorang pria dengan kemeja berwarna hitam, tubuhnya kurus, matanya belo dan rambunya gondrong.
Dan aku benci melihat pantulan itu. Si pria itu kemudian berdiri di sampingku, sama-sama menghadap kaca.
"Lihat. Aku melihat pantulan aku dengan kekasihku." Kata pria itu.
"Aku melihat seorang yang cantik dan itu kamu." Kataku sambil pergi dari frame kaca itu.

Apa bagusnya sebuah kaca jika aku punya sosok yang nyata di sampingku yang tangannya bisa kupegang, rambutnya bisa kusentuh, badannya bisa kupeluk dan pipinya bisa kucium?
Tentu aku lebih suka diberi uang Rp.100.000,- dari pada Rp.1000,-

^_^

meledak!!!

"Jangan-jangan aku doang yang geer." Katamu. Ada nada sedih saat kau mengucapkan kata-kata itu. Aku melingkarkan tanganku lebih erat ke tubuhmu, entah kau merasakannya atau tidak.

Malam ini, aku sedang mengerjakan tugas kuliahku, membuat makalah 20 halaman. Ah, lupakan saja, toh aku tidak lagi menganggap sesuatu menjadi beban meskipun aku belum tidur dan perutku sedang kosong. Aku mulai membuka situs blog-ku dan mulai menulis. Rasanya lebih mudah menulis disini dari dapa di microsoft word. Padahal sama saja. Entahlah. Mungkin seperti itu juga aku, aku lebih suka diam di dekatmu, bukan bicara panjang lebar. Jika microsoft punya program recovery, blog tidak, bagiku seperti itu. Maka, saat aku bertemu denganmu secara langsung, aku ingin menyimpan semua image-mu, gerakan-gerakanmu, merekam suara dan merekam apa yang kau utarakan padaku. Dan aku lebih banyak diam saat bertemu denganmu. Membiarkan otakku dipenuhi bayanganmu.
Ada alasan logis mengapa aku tidak pernah meledak-ledak dalam mengungkapkan perasaanku. Ada alasan juga mengapa aku lebih suka diam dan menghapus keberadaanku diam-diam. Dan ada alasan juga mengapa aku lebih pandai menguntai kata dari pada bicara di hadapanmu.
Aku pikir, kau bukanlah kerbau dungu yang harus kujabarkan tentang pemikiran-pemikiranku, dengan sikapku, kurasa kau pun sudah tahu apa yang kupikirkan dan kurasakan. Dan aku juga bukan seorang guru yang baik di hadapanmu, jadi aku tidak perlu ajar mengajari makna sebuah perasaan. Aku berani bertaruh bahwa aku sama menyayangimu seperti ibumu, kakak-kakakmu atau adikmu yang menyayangimu. You mean something for me, but loosing you wouldn't make me die, just my world would.
Aku tidak mau terjatuh di lubang yang sama meskipun aku sering melakukannya, jatuh di lubang yang sama, dengan kaki yang sama, cara yang sama, hanya waktu saja yang berbeda. Kau ingin membuat sebuah rumah, untukku, kau ceritakan padaku desainnya, kau ceritakan padaku bahan-bahannya, kau pun menceritakan padaku bagaimana dan selama apa waktu yang dibutuhkan hingga rumah itu jadi. Wah, ternyata aku si Rorojonggrang, aku bisa meminta rumah itu jadi kapanpun aku mau. Aku tidak peduli seperti apa bentuk rumah itu pada akhirnya, aku tidak peduli catnya berwarna apa dan berapa harganya jika dikalkulasikan dengan uang. Bukankah seperti katamu, rumah itu untukku, jika rumah itu sudah jadi, aku bisa memilih menempati rumah itu atau membiarkan seorang wanita lain menempatinya denganmu.
Bicara rumah, bicara masa depan, bicara tentang kau dan aku...

"Promise me this, that you'll stand by me forever. But if god forbid us to step in and force us into a goodbye, if you had children someday, when they point to the picture, please tell them my name..."

Kepentingan

    Pagi ini aku melihat dua puluhan anak dengan seragam putih-putih dan topi dengan lambang melati berkumpul. Aku segera tahu bahwa mereka adalah anggota dari organisasi yang juga dulu pernah kuikuti. Mereka adalah anggota PMR.
    Aku dulu pernah seperti mereka. Berpakaian putih-putih. Menjadi penolong saat orang lain sakit. Menjaga si sakit hingga dia mampu kembali ke kelas atau pada akhirnya orang tua mereka menjemput. Latihan di siang bolong dan "kerjaannya" mengangkut pasien dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ya, aku dulu seperti itu.
    Aku dulu ikut organisasi bernama PMR itu karena beberapa temanku juga ikut organisasi itu. Lalu aku mulai menonaktifkan diri karena merasa jenuh dengan pembelajaran mengangkut pasien dan biasanya aku yang menjadi pasiennya. Lalu tiba-tiba aku datang dan ikut penerimaan anggotanya. Setelah hari itu, aku lagi-lagi menonaktifkan diri karena kejenuhan menyergapku lagi.
    Aku juga pernah ikut organisasi bernama Paskibra, itu pun karena teman-temanku ikut organisasi itu juga. Pertama kali masuk, aku langsung direkrut dalam sebuah pelantikan menjadi anggota. Lalu aku juga perlahan sering menonaktifkan diri.
    Ya, organisasi bagiku harus membuat perubahan dalam diriku dan aku juga akan membuat perubahan pada organisasi itu. Jika tidak, untuk apa diteruskan?
    Aku mulai aktif lagi di PMR ketika aku memutuskan untuk ikut banyak lomba dan aku punya misi untuk memiliki salah satu piagam di sekolahku. Dan seperti itulah, aku mengharumkan nama organisasiku dan organisasi itu memberikanku penghargaan.
    Tak jauh beda ketika aku di Paskibra, Paskibra memberikanku koneksi ke seluruh anggota Paskibra se-kabupaten Sumedang dan aku membalasnya dengan aktif di organisasi itu. Aku pun ikut beberapa lomba, menang, dapat piala dan mengharumkan nama Paskibra.
    Iseng, kuhampiri anak-anak itu dan doktrin kepala mereka agar mereka berpikir secara logis. Sudah memberikan apa organisasi itu untukmu? Apa yang sudah kamu berikan untuk organisasi itu?
    Jika jawabannya adalah diam. Maka, sepertiku saja, realistis, keluar!





26 September 2011

mug

Siang ini, aku sedang duduk manis di depan laptopku sambil mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Sudah hampir empat jam tapi tugasnya belum juga selesai. Yah, tentu saja, bagaimana mau selesai jika aku tak juga menemukan bahan untuk menyelesaikan tugasnya?
Kuhela nafasku panjang sambil meluruskan pinggangku yang terasa nyeri. Kugapai mug yang biasa kupakai minum. Kali ini isinya teh krisantemum untuk mengobati lambungku yang sakit. Kuhirup dalam-dalam aroma teh itu kemudian meminumnya.
Baru kali ini kuperhatikan mug yang tanpa kusadari jadi favoritku itu. Mug itu bertuliskan mengenang 40 hari wafatnya Almarhum Maulana Saputra. Aku tiba-tiba teringat kejadian satu tahun yang lalu. Satu tahun lalu anak itu masih hidup, kubimbing belajar PBB dan masih sempat juga aku hukum beberapa seri push up. Tahun ini, adalah peringatan kematiannya setahun yang lalu.
Aku mendoakannya dengan doa yang diajarkan orang tuaku padaku.

Satu tahun yang lalu, aku membuat tulisan untuk anak itu, entah di mana tulisan itu sekarang. Terlalu banyak tulisan yang kubuat dan aku jarang menyimpan duplikatnya.

Waktu memang berjalan begitu cepat. Aku belum meminta maaf karena sudah menghukummu dengan push up siang itu. Hari ini, kudengar sebuah berita bahwa kau sudah tiada. Siapa yang tahu kapan ajal seseorang akan tiba? Kukira aku akan mati lebih dulu dari padamu, nak...
Ternyata Tuhan lebih menyayangi dirimu dari pada aku. Selamat jalan, segera kita akan bertemu disana!

untuk seteguk keceriaan

Bercerita tentang hari ini, ah tidak! Kemarin dan kemarinnya lagi. Aku ingin berpuisi tentangmu, entah kau anggap gombal atau apa. Tapi yang jelas aku memang tak terbiasa menggombal. Aku hanya bercerita dan bukankah aku memang seperti itu? Karena itulah namaku adalah si Novelist. Hehehe...
Aku sering melihatmu tertawa, tersenyum. Tapi aku tahu, you wish for something more. Aku tahu kau sedang menunggu takdirmu bergerak maju lagi. Dan aku melihatnya sore ini.
Untukmu, kekasihku, selalu ada jalan! Mari kita buat jalannya... Kita paksa si Tuhan yang kita sebut saat vespamu melewati polisi tidur untuk membuat sebuah takdir untukmu dan untukku. Untuk kita. ^_^
Oh ya, Tuhan, makasih untuk seteguk keceriaan di sore ini untuknya. 

Soundtrack-nya ATUR AKU burgerkill pokokna mah! SEMANGAT!!!
17 September 2011

ah entah!

Diinspirasi dari menunggu wisudaannya pacarku, tukang gelembung sabun sama beberapa kejadian yang kualami beberapa hari ini. Kadang aku memandang sesuatu hal begitu picik. Picik dalam artian bahwa aku merasa yang paling baik dan paling benar, yang lainnya salah dan sesat. Padahal aku sudah berusaha mati-matian agar tidak seperti itu. Tapi entah mengapa aku masih saja berpikiran "picik".

Aku memperhatikan gelembung sabun yang ditiupkan oleh alat berbentuk ikan oleh tukang dagang di hari wisuda pacarku. Aku memperhatikan, gelembung-gelembung itu berubah warna dengan cepat dan warna yang dihasilkannya indah. Namun tak bertahan lama. Hanya beberapa detik keindahan itu muncul sebelum akhirnya gelembung busa itu mulai turun dan pecah.
"Wah, angle-nya bagus tuh kalo diambil pake frog eye terus backlight dari cahaya yang muncul dari pepohonan." Pikirku saat itu.
Kemudian, lama-lama pikiranku bukan tertuju pada si gelembung sabun, tapi aku mulai berpikir tentang jika kehidupan itu seperti gelembung sabun. Dan ingatan beberapa hari lalu terputar di kepalaku.


Seperti kataku di awal. Aku selalu merasa paling benar dan yang lain kuanggap sesat. Seharusnya aku bisa menanamkan sikap cuek. Toh aku bukan Tuhan yang bisa menjustifikasi seseorang salah atau benar. Aku juga bukan Tuhan yang Maha Sempurna. Jadi, seharusnya aku bersikap netral saja.
Aku menjustifikasi dia sebagai si salah hingga akhirnya aku malu pada diriku sendiri. Ah sudahlah, nanti saat rasa maluku sudah hilang, aku akan menceritakan semuanya dengan senang hati.
Setelah beberapa minggu ini mengalami kejadian yang memutar balikkan pemikiranku, aku baru merasakan apa yang namanya "sadar". Ternyata aku masih bermimpi. Selama ini. Dari kemarin.


Dan bicara tentang si gelembung sabun... Ah, rasanya aku memang lebih tertutup pada dunia setelah apa yang kualami beberapa minggu ini.
"Dan kau pun harus malu jika menjustifikasi bahwa aku salah! Camkan itu."








17 September 2011

halal bi karaoke!!!

Taun ini, sekali lagi ikut halal bi halal di keluarga ibu. Tiap taun, acaranya gitu-gitu mulu, karaoke, games, tebak-tebakan. Oh please deh! Tiap taun gitu mulu kan bosen! Kalo ada obrolan, paling paagul-agul kesuksesan kerja dan kawan-kawan. Pokoknya ga "gue" banget!

Biasanya, aku diperbolehkan absen untuk ikut acara halal bi halal ini. Tapi kali ini tidak. Entah kenapa si ayah tiba-tiba mewajibkan semua anak harus ikut, tanpa terkecuali dengan alasan apapun. Maka berangkatlah kita sekeluarga jam 4 sore dari rumah.

Tempat pertama yang dikunjungi itu makam nenek dari ibu. Dan sebuah accidential accident terjadi, halah! Ngomong apaan gue? Hahaha... Orang mabok nabrak mobil gue. Dan beberapa detik setelah kejadian itu terjadi, karena gue adalah anak PMR (dulu), jadi gue langsung meluncur dari mobil dan nolongin orang itu. Seperti prosedur utama dalam penyelamatan, AMAN, A, Amankan diri! Mungkin itu doang yang gue inget dari prosedur penyelamatan. Hahaha... Gue pegang nadi si orang itu dan dengan ilmu shinse yang mengalir dalam darah gue, gue ngerutin kening? APA-APAAN INI?! Adek gue yang cowok langsung ngelepas helm si orangnya dan tangan gue mastiin ga ada patah tulang leher dengan megang si tulang lehernya dari ruas ke ruas sampe bahu. Adik gue yang laen langsung ngebuka jaketnya sama iket pinggangnya. Dan sudah bisa dipastikan kalo si tersangka itu ga kenapa-kenapa selain luka lecet di kakinya.
Pas si tersangka ngebuka mulut. Busyeeeettt bau banget! Dan gue, meskipun samar-samar, gue bisa tau itu adalah bau alkohol. Orang itu akhirnya di bawa sama adek gue yang cowok ke puskesmas dan gue nemenin bokap nyelesaiin masalah.
Jadi, kita lanjut nyekar dulu sebelum nyelesaiin masalah. Dan gue buka mulut, bilang kalo si orang itu sengaja nabrakin motornya ke mobil kita. Orang itu mabok dan pura-pura pingsan. Semua fakta yang gue kemukakan dapet respon positif dan praduga kita semua sama. Karena kita ga mau bikin masalah nambah panjang, of the record ajah.