"Haha. Butut! Teu rapih."
itulah komentar yang muncul ketika aku mengupload sketsa gambarku di album situs jejaring sosialku. biasanya aku selalu merasa tidak mau kalah, jadi kemudian pertengkaran kata-kata terjadi. tapi waktu itu, dua minggu lalu, aku enggan bertengkar, jadi aku memilih untuk mengiyakan bahwa gambarku memang belum bagus, tidak rapih dan aku bahkan tidak menggunakan prinsip-prinsi dasar untuk menggambar sketsa. lalu aku mengakui kekurangan dan kelemahanku.
"Harusnya kamu teh pake garis bantu. Garis bantu itu bla bla bla bla bla." Dia kemudian menerangkan masalah garis bantu, masalah teknik menggambar sketsa dan masalah skala. di situ, aku merasa bahwa sebenernya mungkin aku harus ikut wadah orang-orang yang sudah biasa menggambar sketsa, jadi aku bisa belajar dari mereka.
itu dua minggu lalu. setelah hari itu, aku berangkat ke Malang, melakukan perjalanan "berbahaya" dengan membawa 5 gadis dan 1 orang pria yang belum patut disebut pria. dzikirku tidak putus, pun doaku. aku meminta pada Sang Khalik agar menjaga jiwa dan raga kami selama perjalanan hingga kembali pulang ke rumah. dan aku pun menetapkan dalam hati untuk pulang dengan selamat tanpa kurang satu helai rambut pun.
selama perjalanan, aku mengerti sedikit demi sedikit tentang konsep kematian dan kehidupan. kakiku tidak sekali dua kali tersandung akar pohon dan hampir jatuh. mataku juga tidak sekali dua kali hampir tertusuk ranting di depanku. bisa saja saat kakiku tersandung, aku masuk ke dalam jurang, berakhir dengan kaki patah atau kehilangan nyawaku. segala kemungkinan itu ada. dan benar saja, naik gunung tidak mempercepat atau memperlambat kematian, dengan apa pun, pada akhirnya manusia akan mati, takdir yang menentukan kapan dan bagaimana manusia akan mati. that's the point ceuk aku mah.
ayahku melarangku untuk pergi ke Semeru. banyak alasan, pertama karena memang fisikku yang lemah, ketidakmampuanku menahan dingin, kebiasaanku yang terkadang lupa dan selalu merasa kenyang, lupa minum, dan banyak kemungkinan lain yang sebenarnya mampu membunuhku kapan dan dimana saja. kedua, karena ayahku tahu, refleks dan pengetahuanku tentang naik gunung itu begitu minim, aku tidak mungkin siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. tapi akhirnya, aku mampu juga ke Semeru, bahkan memimpin hingga Arcopodo.
ketika temanku bilang bahwa dia sakit dan tidak mampu ke puncak. aku langsung ingat pada sosok Ayahku yang mati-matian bilang bahwa aku tidak boleh ke Semeru. maka aku urung naik ke puncak, dengan alasan menemani temanku yang sakit itu. di situ, aku memikirkan kemungkinan tentang blenk 75, pasir, wedus gembel, gas beracun, batu pijar. padahal, puncak semeru tidak menentukan hidup atau mati seseorang. iya, PADAHAL. tapi tetap saja, aku merasa takut. aku ingat saat melihat wedus gembel keluar dari puncak semeru saat aku sedang di Kalimati. jujur saja, lututku lemas. sungguh, Semeru itu bukan Kerenceng. bukan Manglayang. bukan gunung Geulis. BEDA! she's alive...
tidak ada perasaan menyesal setitik pun saat aku memutuskan untuk tidak ke puncak. tidak ada perasaan kesal atau dongkol karena aku gagal ke puncak. rasanya lega saja. tidak semua orang bisa sampai Arcopodo, dan bagiku itu sudah prestasi luar biasa. luar biasa untuk tubuh yang mudah binasa ini. luar biasa juga untuk kegiatan mengendap-endapku.
saat aku mendengar cerita dari teman-temanku yang ke puncak, ada yang dikecup batu, ada yang dihadang kabut, ada yang dihadang tubuh yang lelah. dalam hati, aku bilang pada diriku sendiri, mungkin saja jika aku di atas, aku mengalami hal yang lebih menakjubkan atau lebih mengerikan dari yang mereka alami. huh...
sesampainya di kota Malang, aku memikirkan kembali tentang keputusanku yang terkadang membawa malapetaka bagi hidup orang lain. misalnya saja, karena aku bercerita tentang kemegahan Semeru, teman-temanku tertarik, berbohong pada orangtua mereka, lalu ketahuan, isinya semua PETAKA, PETAKA, PETAKA!!! aku kemudian ingat kata-kata Mas Godheg di Kalimati, "aku lebih baik ikut mati sama temen-temen yang celaka dari pada harus hidup tapi disalahin sama pihak keluarga yang ditinggalin". sayangnya, aku ga mau mati di gunung. aku mau mati di rumah, dikelilingi orang yang menyayangiku. jadi, lain kali, mungkin akan jauh lebih baik kalau aku pergi sendiri, atau pergi dengan orang yang orangtuanya tidak mempermasalahkan kegiatan naik gunung dan perijinannya.
selama dua minggu itu, petaka justru menyapa temanku yang sebelum keberangkatanku berbincang tentang garis bantu. beliau mengalami kecelakaan motor, remnya blong di Maribaya. saat itu beliau pergi berdua dengan temannya, malang untuk temannya, dia meninggal karena kecelakaan tersebut. sedangkan temanku itu masih diberikan kesempatan untuk hidup dan mensyukuri kehidupan.
AH GUE NGOMONG APAAN SIH? ah ya gitu deh, baca aja.
intinya, aku kembali memikirkan bahwa sebenarnya, naik gunung atau tidak, mengajak orang atau tidak, ijin atau tidak, orangtua setuju atau tidak, semua manusia pasti akan mengalami kematian. entah itu sekarang, besok, lusa, kapan pun dan dimana pun. seperti aku yang tidak mau menyesali hal-hal yang telah terjadi, para orangtua pun sama, mereka tidak mau menyesali karena membiarkan anak-anaknya garasak-gurusuk.
Ah Tuhan, kalau naik gunung itu bahaya, kenapa Engkau menciptakan gunung-gunung yang menjulang sebagai penopang langit untuk bumi? kalau manusia harus ditemani dalam perjalanan demi mendapatkan motivasi, kenapa manusia pada akhirnya diadili sendiri-sendiri? Tuhan, aku punya banyak pertanyaan, cik atuhlah pasihan abdi terang...
semoga partner naik gunungku selanjutnya tidak membuatku memikirkan pertimbangan untuk menyesal atau tidak. cepat sembuh, temanku, aku mau belajar tentang garis bantu untuk membuat sketsa gambar...
itulah komentar yang muncul ketika aku mengupload sketsa gambarku di album situs jejaring sosialku. biasanya aku selalu merasa tidak mau kalah, jadi kemudian pertengkaran kata-kata terjadi. tapi waktu itu, dua minggu lalu, aku enggan bertengkar, jadi aku memilih untuk mengiyakan bahwa gambarku memang belum bagus, tidak rapih dan aku bahkan tidak menggunakan prinsip-prinsi dasar untuk menggambar sketsa. lalu aku mengakui kekurangan dan kelemahanku.
"Harusnya kamu teh pake garis bantu. Garis bantu itu bla bla bla bla bla." Dia kemudian menerangkan masalah garis bantu, masalah teknik menggambar sketsa dan masalah skala. di situ, aku merasa bahwa sebenernya mungkin aku harus ikut wadah orang-orang yang sudah biasa menggambar sketsa, jadi aku bisa belajar dari mereka.
itu dua minggu lalu. setelah hari itu, aku berangkat ke Malang, melakukan perjalanan "berbahaya" dengan membawa 5 gadis dan 1 orang pria yang belum patut disebut pria. dzikirku tidak putus, pun doaku. aku meminta pada Sang Khalik agar menjaga jiwa dan raga kami selama perjalanan hingga kembali pulang ke rumah. dan aku pun menetapkan dalam hati untuk pulang dengan selamat tanpa kurang satu helai rambut pun.
selama perjalanan, aku mengerti sedikit demi sedikit tentang konsep kematian dan kehidupan. kakiku tidak sekali dua kali tersandung akar pohon dan hampir jatuh. mataku juga tidak sekali dua kali hampir tertusuk ranting di depanku. bisa saja saat kakiku tersandung, aku masuk ke dalam jurang, berakhir dengan kaki patah atau kehilangan nyawaku. segala kemungkinan itu ada. dan benar saja, naik gunung tidak mempercepat atau memperlambat kematian, dengan apa pun, pada akhirnya manusia akan mati, takdir yang menentukan kapan dan bagaimana manusia akan mati. that's the point ceuk aku mah.
ayahku melarangku untuk pergi ke Semeru. banyak alasan, pertama karena memang fisikku yang lemah, ketidakmampuanku menahan dingin, kebiasaanku yang terkadang lupa dan selalu merasa kenyang, lupa minum, dan banyak kemungkinan lain yang sebenarnya mampu membunuhku kapan dan dimana saja. kedua, karena ayahku tahu, refleks dan pengetahuanku tentang naik gunung itu begitu minim, aku tidak mungkin siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. tapi akhirnya, aku mampu juga ke Semeru, bahkan memimpin hingga Arcopodo.
ketika temanku bilang bahwa dia sakit dan tidak mampu ke puncak. aku langsung ingat pada sosok Ayahku yang mati-matian bilang bahwa aku tidak boleh ke Semeru. maka aku urung naik ke puncak, dengan alasan menemani temanku yang sakit itu. di situ, aku memikirkan kemungkinan tentang blenk 75, pasir, wedus gembel, gas beracun, batu pijar. padahal, puncak semeru tidak menentukan hidup atau mati seseorang. iya, PADAHAL. tapi tetap saja, aku merasa takut. aku ingat saat melihat wedus gembel keluar dari puncak semeru saat aku sedang di Kalimati. jujur saja, lututku lemas. sungguh, Semeru itu bukan Kerenceng. bukan Manglayang. bukan gunung Geulis. BEDA! she's alive...
tidak ada perasaan menyesal setitik pun saat aku memutuskan untuk tidak ke puncak. tidak ada perasaan kesal atau dongkol karena aku gagal ke puncak. rasanya lega saja. tidak semua orang bisa sampai Arcopodo, dan bagiku itu sudah prestasi luar biasa. luar biasa untuk tubuh yang mudah binasa ini. luar biasa juga untuk kegiatan mengendap-endapku.
saat aku mendengar cerita dari teman-temanku yang ke puncak, ada yang dikecup batu, ada yang dihadang kabut, ada yang dihadang tubuh yang lelah. dalam hati, aku bilang pada diriku sendiri, mungkin saja jika aku di atas, aku mengalami hal yang lebih menakjubkan atau lebih mengerikan dari yang mereka alami. huh...
sesampainya di kota Malang, aku memikirkan kembali tentang keputusanku yang terkadang membawa malapetaka bagi hidup orang lain. misalnya saja, karena aku bercerita tentang kemegahan Semeru, teman-temanku tertarik, berbohong pada orangtua mereka, lalu ketahuan, isinya semua PETAKA, PETAKA, PETAKA!!! aku kemudian ingat kata-kata Mas Godheg di Kalimati, "aku lebih baik ikut mati sama temen-temen yang celaka dari pada harus hidup tapi disalahin sama pihak keluarga yang ditinggalin". sayangnya, aku ga mau mati di gunung. aku mau mati di rumah, dikelilingi orang yang menyayangiku. jadi, lain kali, mungkin akan jauh lebih baik kalau aku pergi sendiri, atau pergi dengan orang yang orangtuanya tidak mempermasalahkan kegiatan naik gunung dan perijinannya.
selama dua minggu itu, petaka justru menyapa temanku yang sebelum keberangkatanku berbincang tentang garis bantu. beliau mengalami kecelakaan motor, remnya blong di Maribaya. saat itu beliau pergi berdua dengan temannya, malang untuk temannya, dia meninggal karena kecelakaan tersebut. sedangkan temanku itu masih diberikan kesempatan untuk hidup dan mensyukuri kehidupan.
AH GUE NGOMONG APAAN SIH? ah ya gitu deh, baca aja.
intinya, aku kembali memikirkan bahwa sebenarnya, naik gunung atau tidak, mengajak orang atau tidak, ijin atau tidak, orangtua setuju atau tidak, semua manusia pasti akan mengalami kematian. entah itu sekarang, besok, lusa, kapan pun dan dimana pun. seperti aku yang tidak mau menyesali hal-hal yang telah terjadi, para orangtua pun sama, mereka tidak mau menyesali karena membiarkan anak-anaknya garasak-gurusuk.
Ah Tuhan, kalau naik gunung itu bahaya, kenapa Engkau menciptakan gunung-gunung yang menjulang sebagai penopang langit untuk bumi? kalau manusia harus ditemani dalam perjalanan demi mendapatkan motivasi, kenapa manusia pada akhirnya diadili sendiri-sendiri? Tuhan, aku punya banyak pertanyaan, cik atuhlah pasihan abdi terang...
semoga partner naik gunungku selanjutnya tidak membuatku memikirkan pertimbangan untuk menyesal atau tidak. cepat sembuh, temanku, aku mau belajar tentang garis bantu untuk membuat sketsa gambar...
0 komentar:
Posting Komentar