Hey Lukita Octavia. Aku memanggilmu dengan nama jelasmu karena aku ingin kau mendengarkanku dengan seksama. Aku sudah bosan merasakan perasaan merana di dada ini dan kau yang merasa tak bersalah seenaknya bisa melengang kangkung di atas bumi ini, tak peduli bagaimana hatiku meronta meminta belas kasihmu sebagai wanita.
Hey kamu! Berhenti memanggilku
kau karena aku tidak pernah ingin membuat jarak di antara kita berdua. Sudah kujelaskan berkali-kali aku tidak bisa mencintaimu. Aku tidak bisa menerima cintamu. Aku tidak bisa hidup bersamamu.
Ketika kamu memanggilku dengan nama lengkapku, aku menghitung. Kamu sudah 4 kali melakukan kesalahan yang sama. Entah harus berapa kali lagi jika aku harus menghitungnya.
Pertama, kamu tiba-tiba saja memusuhiku hanya karena fotoku dengannya. Aku berusaha menyingkirkan pertanyaan paling mendasar, "
Memangnya kamu siapa aku?". Aku tidak menyebutnya karena kupikir bahwa kita adalah teman. Aku ingin kita bisa terus naik gunung bersama, kamu bisa mengajari aku cara membuat film-film hebat dan aku bisa
rafting sesuai perkataanmu dulu. Sekaligus ke Mahameru. Kamu yang mengungkapkan janji untuk mengajakku ke sana.
Kedua, kamu tiba-tiba saja menghapus pertemanan kita di situs
facebook. Lalu kamu bilang bahwa itu adalah cara agar kamu bisa melupakanku. Kamu kemudian bilang pada temanku bahwa, "
Aku harus pergi agar orang yang aku sukai tidak merasa terganggu dengan kehadiranku". Maka kupikir bahwa kamu memang
mau pergi. Jadi, aku tidak menahanmu. Apakah aku salah?
Kamu kemudian mengajakku bicara panjang lebar dan akhirnya tetap saja kamu memusuhiku lagi. Kita ini kan cuma teman, kenapa kamu membuat pertemanan kita ini begitu sulit?
Ketiga, sebelum kita pergi ke Kerenceng. Kita bicara lagi. Aku masih menanggapi omonganmu karena kupikir bahwa mungkin itu adalah terakhir kalinya kita
miss communication. Tapi aku salah. Sepanjang perjalanan ke sana, kamu seolah memusuhiku. Mengkotaki, jika aku boleh bilang, kamu bicara dengan semua orang kecuali aku. Lalu di akhir pertemuan itu, kamu memberiku sepucuk surat yang masih kusimpan sampai hari ini karena aku berpikir surat itu berarti untukmu. Sebagai teman yang baik, aku ingin menjaga hal-hal yang berarti bagimu.
Lalu keempat. September 2011. Kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku. Aku tahu pembicaraan kita ini takkan menjadikan hubungan kita lebih baik. Sudah berapa kali kamu terus mengajakku bicara dan kamu tetap terus berulah? Jujur saja, aku bosan. Entah mengapa aku seolah disalahkan oleh perasaanmu yang meluap-luap itu? Aku tidak melakukan apa pun. Aku tidak membiusmu. Tidak memantraimu. Bahkan aku tidak pernah membakar kemenyan untukmu.
September itu, aku bilang dengan jelas bahwa aku tidak mau bertemu denganmu. Aku bilang dengan jelas bahwa aku takkan pernah datang ke tempat kau menungguku. Aku kemudian pergi dengan pacarku dan kehilangan sinyal hingga jam 5 sore. Karena aku teringat padamu, aku mengirimimu pesan singkat. Jelas sekali siapa yang pacarku. Aku seharusnya lebih memilih pacarku dan mengabaikanmu. Tapi sekali lagi, karena aku menanggapmu sebagai teman dan aku ingin menjadi teman yang baik seperti teman-teman yang lain di komunitas, aku menyakiti hati pacarku untuk mengirimimu kabar tidak penting.
Aku kira kamu akan mengerti. Aku kira kamu akan paham bagaimana keadaannya sekarang. Ternyata kamu lebih kekanak-kanakan dalam hal perasaan dan toleransi. Kamu justru mengumbar sebuah catatan yang dibagikan pada semua temanku. Berbanggalah, iya, kamu berhasil membuatku malu.
Tidak pernahkah kamu berpikir mengapa aku bilang tidak bisa untuk berada bersamamu? Apakah kamu sudah membaca jelas tulisan-tulisanku dan semua kejadian yang terekam di dalam kata-kata ini?
Kamu bilang, aku berhak memilih. Kamu pun berhak memilih. Aku tidak mematikan hakmu untuk menyayangiku, kubiarkan, dalam tarafnya masing-masing. Meskipun aku begitu kesal padamu, aku masih terus membalas pesanmu dan mencoba selalu ramah dan menyapamu setiap kali bertemu. Lalu apa balasanmu untukku? Ketika kamu kesal, kamu tinggal me-
remove pertemanan kita, mem-
block akunku, mengumbar kata-kata pahit di akunmu lalu membawa masa untuk memusuhiku. Begitukah caranya?
Aku terus berharap kita bisa menjadi teman yang baik. Aku ingin kita bisa akur seperti terakhir kali aku dan kamu duduk bersama. Aku ingin kita bisa mengobrol seperti layaknya teman di pinggir kolam di Cipedes. Aku ingin kamu bisa mengajariku caranya membuat
lighting yang baik dalam film terakhir yang kugarap. Aku ingin bisa naik-naik gunung lagi seperti dulu bersama teman-teman kita yang lain.
Usiamu terpaut lebih tua dariku. Tapi aku yakin, meskipun aku belum melihat kedewasaanmu dalam menghadapiku hingga saat ini, aku yakin suatu saat nanti, kita bisa seperti dulu. Kita bisa menjadi
partner yang baik di gunung, laut, kota dan pedalaman.
Masih terlalu luas Bandung ini untuk kujelajahi sambil bermusuhan denganmu. Sudahlah, aku pun mengucap kutuk pada cinta yang tumbuh dalam hatimu. Matilah saja dia. Itu doaku.
Aku memang merasa bersalah, tapi aku tidak bisa lantas menghampirimu, mengasihanimu lalu memilih hidup bersamamu. Aku tidak memilihmu, aku memilih orang lain, aku memilih Furkon. Jika tidak Furkon, maka jawabannya adalah lebih baik tidak selamanya.
Mari kita
pacantel, kita lupakan masa-masa sulit dan suram. Mahameru menunggu...