sakit


Sering kerasa kekurangan oksigen dan berasa mau pingsan...
Kadang otak yang fresh langsung ngedadak murungkut dan susah diajak kompromi...
Nafas langsung nyempit dan mata berkunang-kunang...
Pelan-pelan suka ngomong, "Ajal gue! Ajal gue! Ajal gue!"

Sakit yang aneh...
Pengen cepet sembuh, pengen cepat lepas dari penyakit kayak gini.
Kalo sembuh adalah yang aku cari, rasanya gampang banget. Tapi, gimana kalo ternyata setelah sembuh dari satu penyakit ini, malah nambah penyakit baru yang bahkan lebih bahaya?

"Ga ga ga!!!"

lawas


Dengerin lagu project pop jadi inget waktu masa-masa SMP. Inget juga masa-masa saling keceng ngecengin tapi waktu SMP mah gue masih polos, kalo ada anak cowok yang ngecengin gue terus ngejer-ngejer, gue ketakutan setengah mati. Soalnya waktu dulu mind set-nya dibikin kalo deket-deket sama cowok itu udah mau dikawinin. Hahaha... makanya ogah banget kalo sampe ditaksir sama cowok.
Inget juga sama salah satu cowok yang sering gue temuin kalo gue berangkat pagi. Dia juga alesan kenapa gue berangkat pagi-pagi. Soalnya kalo ketemu dia suka senyum. Dan senyum adalah hal termahal yang bisa gue temuin waktu gue masih SMP.
Gue yang ga pernah ngeh kalo dia ternyata sekelas sama gue, dan gue baru nyadar pas gue udah ga sekelas lagi sama dia. Hahahaha... beleeeeettt mentang-mentang gue cuma seneng disenyumin doang, gue ga merhatiin mukanya.
Setelah ga sekelas lagi, gue baru nyadar kalo cowok itu cute! Hahaha... itu pun gue ikut-ikut sama temen-temen gue yang secara ga langsung ngecengin dia. Hahaha...
Yang bikin gue rada ogah kenal lagi sama cowok ini adalah gara-gara dia bikin gue berantem sama temen-temen gue. Secara gue yang loyal banget sama temen itu pasti lebih milih temen-temen gue dong dibandingin cowok yang cuma modal tampang cute. Eh, temen gue pun ternyata sama bejatnya. Dan si cowok itu ga kalah bejat. Pokoknya masa SMP ngerubah gue 100%. Gue jadi ga gampang percaya sama orang, juga ga gampang ngebiarin rahasia gue kebongkar. Dan masa SMA, gue dikenal misterius dan tertutup.
Setelah sikap gue yang berubah total kalo ngeliat orang, gue jadi punya banyak temen dan pemikiran skeptik gue tentang cowok dimulai. Pokoknya, kalo ngobrol sama Rani, gue sama dia itu ga kalah skeptiknya kalo ngomentarin cowok. Hahahhaa...
Di kuliahan, pemikiran skeptik gue berlanjut ke kehidupan soliter. Kalo ga gara-gara gue ketemu sama temen (ya gue sih anggep dia temen, ga tau deh kalo dia ga nganggep gue temen), dia nangis pas gue bilang gue mau pindah kuliahan. Disitu gue baru mikir, ga semua orang sejahat yang gue pikirin. Ga semua orang nganggep gue common enemy. Dan gue ngebuka diri gue cuma sama satu orang itu doang.
Awalnya gue ngebuka diri sama semua orang, tapi kemudian gue mulai berpikir skeptik lagi kalo ga semua orang juga sebaik si temen gue ini. Dan gue semakin soliter dan cuma pengen bergantung sama satu orang, satu temen gue itu doang.
Pas ketemu sama orang-orang yang mesti gue anggep keluarga (rumput), gue awalnya susah juga ngebuka diri. Tapi gue mulai berpikir bahwa selama gue baik sama orang, orang itu juga pasti baik sama gue. Dan  gue ngelakuin hal itu. Gue mulai ngebuka diri gue, meskipun mereka semua masih nganggep kalo gue tertutup. Gue emang nutup diri untuk nyeritain rasa sakit yang lagi gue rasain. Tapi gue ga nutup diri buat nyerita tentang masa lalu, rahasia yang kadang cuma gue tau, impian gue, dan gue ga takut diketawain sama semua impian bodoh gue, nyatanya ga ada yang ngetawain juga.
Dari lagu project pop, bisa nyampe ke masa kuliah. Hahaha...
Ke depannya, gue ga tau seperti apa pemikiran gue tentang dunia ini. Tapi gue sadar, bahwa seharusnya semua orang itu baik sama gue, karena gue juga baik sama mereka. Meskipun feedback-nya ngecewain, tapi masa bodolah! Yang penting gue biasa-biasa aja.
Penilaian orang-orang tentang gue bisa bermacam-macam, tapi di dunia ini, nilai apa yang universal? Dan gue paham bener kenapa gue lebih banyak dingertiin sama orang-orang diluar jurusan gue, soalnya kalo dimisalin bahasa gue adalah bahasa FM, nah orang-orang di jurusan gue itu saluran AM. Ya jelaslah ga ketangkep sama radio masing-masing. Kalo gue sih masih bisa nyesuaiin diri sama AM, nah yang AM ini ga bisa nyesuaiin sama FM.
Tapi so what? Gue tetep harus suka sama gelombang-gelombang AM, dan mau ga mau, suka ga suka, meskipun nolak sampe muntah-muntah, mereka juga mesti nerima gue.
Gue sadar sepenuhnya juga, mungkin background kehidupan gue yang ga sama kayak mereka, itu yang bikin gue ga bisa beradaptasi sama obrolan atau gaya hidup mereka. Gue udah terbiasa sama hal-hal sederhana yang ga cuma sebatas wacana atau obrolan dari mulut ke mulut, i live with that! Jadi kalo ketemu orang-orang yang ngomong cuma sebatas wacana, jujur gue lebih suka ngehindar.

Tuhan. Lo gue bawa ke dalam obrolan gue malem ini. Makasih buat semuanya. Jauhin gue dari percobaan. Amin...

...reunian...

Reuni selalu tampak asyik. Ajang bertemu dengan kawan lama. Tegur sapa. Saling bertukar cerita. Bersaing dalam hal pakaian dan kemewahan. Pacar. Perselingkuhan. Hingga soal tabu yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Bagi hampir semua orang, reuni adalah hal yang menyenangkan. Tapi bagiku tidak. Bagiku, reuni seolah membuka sesuatu yang seharusnya sudah ditutup dan diakhiri. Dan entah mengapa, kadang aku punya ribuan hingga jutaan alasan mengapa aku menolak untuk diajak reuni.

Sore tadi, setelah seribu hari lebih tak bertemu dengan kawan lamaku, aku akhirnya bertemu dengan mereka. Di sebuah food court kami bertemu dan aku hampir tidak mengenali mereka semua jika saja mereka tak menyapaku duluan. Canggung, itu adalah kesan pertama yang kurasakan saat bertemu dengan mereka. Padahal mereka adalah orang-orang yang sekelas bersamaku waktu SMA. Tapi entah mengapa aku seperti anak baru yang susah beradaptasi. Maka aku diam.
Bergulirlah masa-masa SMA-ku dulu bersama mereka. Aku pernah perang dingin hingga akhirnya melumer bukan dengan maaf, tapi dengan tantangan saling bunuhku. Kadang aku berharap bisa melakukan tantangan saling bunuh itu lagi dari pada aku terus perang dingin seperti orang-orang yang ditempatkan sekelas bersamaku di kampus.
Aku ingat juga perselisihan kecil untuk memperebutkan si kembang kelas. Hahahaha... sayangnya aku tak pernah ambil andil dalam masalah di kelas kecuali saat tantangan saling bunuh itu.

Yang membuatku senang dan membuat pacarku (sekarang) cemburu adalah ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan kecenganku waktu SMA. Aku berjalan ke arah yang berbeda dengannya dan dia menyapaku, duluan jika boleh kutambahkan. Padahal waktu SMA dulu, jangankan menyapa, tersenyumpun dia tak pernah. Selama SMA, aku mengaguminya dalam hening, dalam diam.
Dia sedikit bercerita tentang hubungan cintanya dan dia bertanya tentang seorang pria yang sedang menjalin hubungan denganku di salah satu situs pertemanan. Aku menjawab dengan berat sekaligus senang, bahwa pria itu adalah pacarku. Aku hampir melompat senang saat bisa memperkenalkan pacarku padanya. Bayangkan saja, dulu waktu SMA, dia gonta-ganti pacar seolah memanasiku dan aku hanya bisa diam, menelan ludah pahit dalam kerongkonganku. Sekarang, aku tahu mengerti arti dari sweet revenge. Hahaha...
Sembilan ratus hari yang lalu, aku sempat bersedih karena tak bisa lagi melihat si kecenganku itu lagi setiap hari. Hampir setiap hari aku membuka profil salah satu situs pertemanannya hanya untuk melihat fotonya atau membaca statusnya. Semua itu terus berlanjut hingga akhirnya aku semakin jarang membuka profilnya dan akhirnya hingga tidak pernah lagi membuka profilnya, hingga sekarang.
Perasaan kagum itu masih ada sampai sekarang. Karena perasaan suka padanya bukan pada fisik yang akan lebur oleh waktu atau pada kekayaan yang akan hilang dalam hitungan detik. Aku suka pada otaknya, kecepatannya berpikir yang mengagumkan, IQ-nya yang jelas lebih unggul dariku, kecerdasan yang mengalahkanku diatas segalanya.
Dia bercerita sedikit bahwa di kampusnya ada seorang gadis yang menyukainya dan ternyata dia adalah teman dekatku. Aku sedikit terkejut namun ada perasaan yang berbeda. Dulu, setiap kali si kecenganku itu menyebut nama teman dekatku itu, ada rasa sakit yang menusuk hingga ke jantungku, tapi kali ini tidak ada. Rasanya kebas dan aku sendiri tak mengerti mengapa senyumku bisa setulus ini.
Kau punya tempat sendiri, tapi bukan sebagai orang yang aku suka lagi. Perasaan itu sudah hilang. Saat memutuskan ikut reuni, kau adalah kesempatan yang tak pernah kuduga akan hadir. Andai saja aku menuruti rasa malasku, mungkin aku takkan bertemu denganmu. Saat bertemu denganmu, ada perasaan rindu, rindu akan perasaan yang dulu sering menggangguku.
Dan aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada orang lain. Karena bukan padamu lagi hatiku berdebar saat bertemu. Bukan padamu juga rasa rinduku bertaut. Aku merindukan orang yang naik vespaaaaaa!!!
Dan aku benar merasakan dunia ini simetris dan pusatku hanya ada satu dan itu bukan disini. Jadi kemanapun aku berjalan, aku melihat semua manusia sama. Yang membuatnya beda adalah adanya kehadiran si satria bervespa atau tidak. Jika ada dia, maka aku buta pada sekitar. Tak ada dia, maka aku melihat semuanya sama dengan tiada.

Reuni...
Aku ingin sekali mengajak si satria bervespa dan mengenalkannya pada duniaku yang lama...
Aku masih malas menulis, jadi meskipun inspirasi sedang banyak, aku hanya ingin bercerita sedikit saja...
Semoga kepuasan pembaca terpenuhi...
Hahaha...


27 Agustus 2011

Tentang ciremai : perjalanan tanpa restu

"Aku tuli dan aku bandel!"

Aku merasa sangat bersalah saat kujejalkan kakiku di kaki gunung Ciremai. Sudah jelas titah Ayahku untuk tak pergi kesana tanpanya. Sudah jelas juga larangannya padaku. Sudah jelas juga bahwa aku takkan membuatnya bangga meskipun aku sudah sampai disana, tapi masih tetap kulakukan.
Dad, sometimes, i just wanna prove to you that i can, i'm just like you, young and wild.
Saat aku sampai di kaki gunung Ciremai, -Tuhan-, tak ada puncak yang bisa kutatap. Entah seperti apa puncak dari Ciremai itu. Padahal dari puncak Kerenceng, kulihat dengan jelas puncak Ciremai. Tapi di bawah kakinya yang mungkin hanya berjarak 1000 meter, aku tak bisa melihatnya. Saat itu aku bukan ingin cepat-cepat naik ke atas. Aku merasa ingin pulang. Aku ingin meminta maaf karena telah TULI dan tak mendengar kata-kata ayahku.
Maaf, Dad... Sepertinya keinginanku untuk menjadi sepertimu begitu ngotot. Kadang aku lupa bahwa pilihanmu untukku selalu yang terbaik. Dan ambisiku untuk ke Ciremai membuatku lupa bahwa kebahagiaanmu jauh lebih utama dari mimpi bodohku.
Detik ini juga, Dad, aku ingin sekali meninggalkan rutinitas bodohku, aku ingin meninggalkan PPL dan urusan kuliah yang lebih banyak B*LLSH*T dari pada kenyataan. Aku hanya ingin berada di jalan yang kau inginkan.
Aku ingin berteriak Dad, aku takut mengecewakanmu jika ternyata tahun depan pun aku belum lulus. Aku takut mengecewakanmu jika ternyata aku tak bisa menjadi apa yang kau inginkan. Aku bandel, dan aku terus menerus membuatmu menunggu.

Saat aku melewati tanjakan penuh bebatuan melewati sungai, aku memikirkanmu. Bagaimana reaksimu jika kau pulang dan mendapati berita bahwa aku berada di Ciremai, bukan di kamar yang hangat dan aman? Bagaimana jika kau pulang dan tahu bahwa aku telah berjalan terlalu jauh dari apa yang kau inginkan? Apakah kau akan marah? Apakah marahmu masih tersisa untuk seorang wanita yang bukan lagi waktunya mendapat marahmu? Saat itu juga aku merasa tak betah berada di hutan, padahal aku lebih suka berada di hutan dari pada di kota. Maka kupercepat langkahku untuk segera pulang dan menghiraukan rasa sakit di dada dan lambungku.
Aku ingin pulang. Bertemu denganmu. Dan kau mendapatiku berada di kamar sambil membaca buku seperti biasanya. Kau tersenyum dan bertanya apa yang sedang kulakukan atau apa yang sedang kubaca. Lalu memintaku membuatkan segelas kopi yang tidak enak. Lalu kau memuji bahwa kau merindukan kopi buatanku dan kopi itu rasanya enak.

I miss you so much.
Aku menunggu detik-detik kepulanganmu. Aku menyesal pergi ke Ciremai tanpa restumu, Dad. Jika waktu bisa kuputar kembali, aku akan meminta ijinmu meskipun jawabannya akan selalu tidak.
Dan ternyata aku masih bisa menyesal. Maka aku menyesal untuk tidak meminta ijin padamu.
Aku akan mengingatkan diriku tentang tulisan ini. Agar aku tak melakukan hal bodoh lagi.
Kupakai semua baju di lemarimu agar bisa kucium bau tubuhmu. Dad, Aku mencintai Tuhan melaluimu.

Aku tak bisa berjanji bahwa aku tidak akan tuli dan bandel lagi. Karena mungkin saja aku buta atau bisu nanti. Tapi aku takkan mengecewakanmu, Dad. I'm yours. Maaf juga telah mengajak adik-adik ke Kerenceng dan membuat mereka terluka disana-sini, kedinginan dan kelaparan. Aku belum menjadi kakak yang baik untuk menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Maaf.
Jika kau memintaku melepas cincin kakiku sekali lagi, maka akan kulakukan. Jika kau memintaku berhenti melakukan hal-hal bodoh, maka akan kulakukan. Apapun yang kau minta, akan kuberikan. Cepat pulang, Dad...
Seperti kau, aku juga suka menulis. Seperti kau, aku juga suka kopi hitam. Seperti kau, aku juga suka rokok. Seperti kau, aku mencintai naik gunung dan backpacker. Seperti kau, aku mencintai Mom dan adik-adikku. Seperti kau, aku membenci penyesalan.


Untuk pria yang namanya terselip di gerbong namaku yang begitu panjang
7 Juli 2011
aku takkan pergi kemana-mana lagi tanpa restumu dan aku berjanji demi cintaku pada Tuhan karenamu.



Aku berpikir, sepertinya jika tulisan ini lebih panjang dari ini, maka perasaanku hanya akan kau anggap sebagai puisi biasa. Padahal, bagiku, kau tak bisa ternarasikan oleh kemampuan menulisku yang biasa-biasa ini.
Aku ingin sekali mengucapkan ini di setiap pesan, telepon, komentar di situs pertemanan kita, dan obrolan kita...

Aku menyayangimu... dan aku sedang sangat merindukanmu...

Ay...

"Kalo marah, jangan lama-lama, Ay... Hidup ini singkat." Kataku mengingatkanmu. "Contohnya aja aku. Kemarin aku masih semester 5, masuk Rumput dan baru aja mulai naik gunung. Padahal masih banyak gunung yang belum aku daki, tapi waktuku buat naik gunung tinggal dikit lagi. Jangan lama-lama marahnya, Ay. Jangan biarkan sesal menghantuimu."

Penaku berbusa untuk menceramahimu, Ay. Mulutku masih diam dan masih enggan menyapamu, tapi penaku selalu menyapamu. Semoga kau takkan punya penyesalan.


21 Agustus 2011

Gede-Pangrango : sebuah restu

Jujur saja, aku sempat berpikir bahwa aku takkan pernah naik gunung lagi. Setelah beberapa kali ke dokter dan mendapati semakin banyak komplikasi penyakit di tubuhku, aku semakin mengerti bahwa fisikku memang tak diciptakan untuk kondisi seekstrim itu. Aku tidak dilahirkan untuk berpetualang. Lalu aku mulai merapikan tas carrier-ku yang sudah hampir dua bulan berserakan di lantai kamarku. Juga jas hujan, alat masak, semua perlengkapan naik gunung hingga jaketku.
Aku bersedih menyadari bahwa takkan ada gunung yang  bisa kudaki lagi. Aku merasa bodoh karena menghabiskan waktuku untuk diam di rumah, bukannya pergi sejauh mungkin ke tempat yang bisa kucapai. Aku merasa tidak seberuntung orang lain. Kenapa aku harus diberikan fisik yang lemah sedangkan keinginanku untuk pergi ke tempat-tempat eksotis Tuhan itu sangat tinggi? Kenapa orang-orang yang justru diberikan fisik yang kuat justru enggan pergi ke tempat-tempat itu?
Aku ingin menangis, sayangnya air mataku kering. Sesal itu mengendap saja di dalam hati tanpa seorangpun tahu dan mengerti. Sambil membereskan semua perlengkapan naik gunungku, ada rasa sesal. Semua barang ini akan menjadi mubazir, dan aku penganut inna mubadzirina kana ikhwana syaiton (Sesungguhnya menghambur-hamburkan sesuatu itu adalah sifat dari saudaranya setan). Seiblis apapun diriku, aku enggan disebut setan. Dan aku tidak mau bersaudara dengan salah satu dari mereka.

Akhirnya aku tahu mengapa tubuhku selalu lebih dingin dari pada orang-orang normal. Aku juga akhirnya tahu bahwa yang membuatku kuat bukanlah fisik, tapi hanya kemauan semata. Aku pun mengerti kenapa aku didera kurang darah yang tak kunjung normal.
Ah ternyata...

Teman-temanku mengajakku naik gunung, juga adik-adik kelasku. Aku mengiyahkan saja tanpa sedikitpun berpikir akan benar-benar merealisasikannya. Bagiku, vonis dokter itu sudah cukup jelas. Dan takdir bahwa aku seharusnya menjadi anak rumahan yang baik dan bukannya pergi naik turun gunung pun sudah jelas diterakan di keningku.
Aku lagi-lagi hanya menghela nafas.

Sore tadi, aku bicara bahwa ada seorang teman yang mengajakku pergi ke gunung gede-pangrango. Aku hanya sekedar bercerita, sekalian menceritakan ketidakmampuanku pergi kesana. Ada air mata yang menggenang di mataku saat aku bercerita.
Aku sudah istrirahat seminggu full untuk mengembalikan kondisi tubuhku pasca backpacker ke Jogja. Nyatanya aku sadar, istirahat selama apapun takkan mampu membuat tubuhku "normal". Dari awal pun aku memang sudah tidak normal, untuk apa beristirahat jika tak bisa mengembalikan semuanya?
Ayahku angkat bicara dan dia bilang  bahwa dia mengijinkanku pergi ke seluruh gunung yang kuinginkan. Mataku terbelalak. Rasanya petir menggelegar tepat di atas kepalaku. Restu? Dia memberikanku restu?
Beliau kemudian bicara tentang syarat. Aku kembali lemas. Kuyakin syarat utamanya adalah agar tensi darahku naik, agar aku sehat dan tidak bolak-balik ke dokter lagi. Apalagi ditambah dengan wajahku yang terus menerus pucat, syarat itu semakin terasa berat. Diluar dugaanku, beliau hanya meminta satu syarat dan syarat itu tak ada hubungannya dengan kesehatanku.

Tuhan, akhirnya restu itu turun juga!
Meskipun status tubuhku masih sakit, tensi darahku akan terus rendah dan aku takkan dengan cepat sembuh. Asalkan aku bisa pergi, dengan restu, maka kaki ini akan melangkah!

Apakah aku terlihat seperti Soe Hok Gie yang akan mati muda? Apakah aku terlihat akan segera mati dan seluruh keinginanku harus dikabulkan?
Aku merasa beruntung karena meskipun aku dilahirkan dengan suhu tubuh yang lebih rendah dari manusia normal, aku masih diberi kesempatan untuk pergi.

Sama sepertimu, Dad, aku mengambil filosofi hidupmu bahwa buah kelapa yang baik adalah buah kelapa yang jatuh jauh dari induknya, terhempas ke pantai, terombang-ambing ombak, bertahan hidup sendiri, mencari pantainya sendiri dan tumbuh di seberang lautan rumah. Aku akan menjadi buah kelapa yang baik, sendiri.
Dan meskipun pada akhirnya aku tahu bahwa aku takkan menjadi sembuh, aku akan menikmati waktu yang tersisa saja... Apa gunanya sehat jika aku tak melangkahkan kakiku kemana-mana? Sakitpun tak apa, asal ada restumu...

Ayey!!!
Maka, mahameru...
kau akan berjodoh denganku!

apa perbedaan kalian dengan ribuan orang disana?

Aku hanya ingin sedikit bercerita tentang apa yang kurasakan dalam beberapa minggu ini.

Awal Agustus, 1 Agustus 2011. Aku berada di Kaliurang bersama si Bebek. Dalam perjalanan backpacker  ini aku merasa bahwa hidup ini terlalu indah untuk diisi penyesalan. Saat itu aku bertekad bahwa aku akan terus berjalan hingga Tuhan sendiri yang menghentikan langkahku. Aku suka perjalanan. Semua hal tentang perjalanan mengingatkanku pada masa kecilku. Aku pernah kemari, Jogja bukanlah sebuah kota tempat singgah atau bermain saja. Dalam pembuluh darahku, nama Jogja terukir, begitu juga dalam darah ibu dan nenekku. Jogja adalah tanah kelahiran mereka. Meskipun bukan tanah kelahiranku.
Si Bebek benar, aku cinta Jogja. Dan terlebih, Jogja pun mencintaiku...

Minggu kedua bulan Agustus, 8 Agustus 2011. Aku merasa ada yang beda dengan diriku yang kemarin backpacker dengan yang sedang memakai jas almamater dan mengajar di depan peserta didik. Aku cukup pandai memainkan 2 peran yang bertolak belakang tapi aku tidak bisa menyembunyikan bahwa aku sangat merindukan jaket belel dan bolong-bolongku. Aku merindukan sepatu gunungku. Aku merindukan berteriak sambil mendengarkan lagu-lagu di jalanan. Sayangnya hal itu takkan bisa kulakukan dalam balutan jas almamater ini.
Kadang, aku berharap bahwa aku adalah mahasiswa jurusan BSI saja. Aku toh mahir berbahasa Inggris. Jika pun aku adalah mahasiswa bodoh di BSI (Bahasa Sastra Inggris), aku tidak mungkin sampai tidak lulus 4 tahun. Jadi, aku bisa menjadi diriku sendiri. Tanpa balutan jas almamater dan kepribadian ganda ini.
Tapi pilihan sudah dijatuhkan, dan aku akan mengakhiri pilihan yang telah kupilih segera...

Minggu ketiga bulan Agustus, aku enggan menyebutkan tanggalnya. Aku kira, dengan puluhan hari yang tak kulalui dengan sebuah kumpulan manusia yang sudah menjadikan jas almamaternya sebagai hidup akan membuat mereka lupa tentang diriku. Karena jujur saja, aku hampir melupakan mereka semua. Ternyata aku salah. Aku masih tetap artis. Aku masih tetap si buah bibir paling manis yang masih terus ingin dicicipi dalam sebuah jamuan makan malam.
Aku hampir saja membalikan tubuhku dan pergi meninggalkan tempat itu. Aku kecewa. Aku berpuasa selama belasan hari ini untuk mendapat sebuah pencerahan dalam hidup. Ternyata mereka masih saja ingin mengotori tulisanku dengan tinta dendam. Aku tak tahu aku harus menjadi manusia yang seperti apa agar terasa benar di biji mata mereka.
Aku kecewa.
Aku kadang merasa bahwa aku tidak diinginkan dalam "tempat" itu. Aku berusaha menyembunyikan diriku dari pandangan mereka. Agar mereka bisa segera melupakanku. Bahkan, aku tak keberatan jika mereka hanya menganggapku lalat. Aku akan menjadi lalat yang diam. Sayangnya, entah sudah sebanyak apapun aku berusaha menghilangkan diriku. Aku tetap saja terlihat.
Ini sudah hampir 500 hari dan semuanya sama seperti sebelum 500 hari.
Kalian dengarkan aku, sekali saja...
Di luar sana, di "tempat" lain di seberang dunia kalian. Ribuan orang disana begitu suka cita menerimaku apa adanya. Bahkan mereka tak keberatan bersentuhan dengan jaket belel yang sudah dua bulan tak kucuci. Kadang aku sendiri bertanya-tanya, apa bedanya "aku" di hadapan kalian dengan "aku" di hadapan mereka? Kalian sama-sama melihat aku yang seperti ini. Aku tidak serta merubah kepribadianku di depan yang satu dan yang lainnya. Aku juga tidak merubah penampilanku atau caraku berbicara.
Aku tidak mengerti kenapa...
Apa perbedaan kalian dengan ribuan orang disana?




19 Agustus 2011