Sering, aku merasa apa yang kulakukan sia-sia. Tapi baru kali ini ada bukti nyata bahwa yang kulakukan adalah sia-sia.
Buku kampus itu memandangku dengan aneh, aku lagi? tanyanya enggan. Aku tersenyum dan menjawab, ya... kau lagi, kau pasti bosan berurusan denganku, akupun bosan berurusan denganmu.
"Buku kampusnya satu a!" Kataku.
"Dua ribu." Kuserahkan selembar uang dua ribuan dan berjalan menjauhi tukang foto kopi di kampus, menimang-nimang si buku yang terus mengajakku bicara itu.
Masih belum menyerah? Tanyanya.
Tidak akan, takkan sesulit dulu. Jawabku.
Bagaimana jika lebih sulit?
Sudahlah kau diam saja! Kataku. Kumasukan si buku kampus itu untuk menghentikan pembicaraan dengannya.
Ya, dialah si buku kampus, kawan di tengah malamku yang panjang, yang kuajak berdoa sambil menggoreskan keletihan di tiap garisnya. Kuajarkan ia bagaimana cara menjadi buku yang baik, yang enak di baca, yang mudah di lihat dan tak membosankan. Kuajari dia cara menjadi si anak sopan tak punya harga diri, yang harga dirinya baru saja dijual di tukang foto kopi itu seharga dua ribu rupiah.
Aku menghempaskan tasku yang penuh sesak ke atas meja, menghela sejenak dan mulai membuka isi tas itu, kubuka si buku kampus, dia mulai tertawa. Ah kamar ini lagi! Katanya sambil tertawa lepas.
Jari telunjukku menyusuri buku yang kubeli beberapa minggu lalu, persisnya kuingat, saat itu aku harus memutuskan membeli buku kuliah atau novel kesukaanku, harga diriku juga sudah terjual, kujual di hadapan si pembaca yang biasa menawarku murah dengan nilai tujuh puluh dan itu adalah harga terbesar yang diberikan, maka kupilih buku kuliah dan mengucapkan selamat tinggal pada novel-novel.
Aku saja bernilai dua ribu. Seru si buku kampus. Aku menaruh beberapa tumpukan buku yang akan menguntai malam denganku di dekat si buku kampus.
Jadi aku kini menjadi si buku hitam? Tanyanya lagi. Aku tak mengacuhkannya, aku tak ingin mengotori pikiranku yang seputih salju ini oleh pikiran kotor si buku kampus yang butut dan berpengalaman itu. Aku pernah dimiliki oleh seorang mahasiswa serajin kau, ah tidak, bahkan lebih rajin, akhirnya dia terjatuh pingsan dan masuk rumah sakit selama hampir sebulan. Pernah juga aku menjadi saksi bisu seorang mahasiswi yang dilarikan ke UGD karena menemaniku semalaman. Tahun lalu juga aku menjadi teman sakit lambungmu, sakit kepala dan ginjalmu. Lupakah?
Sudahlah. Ini takkan menjadi seperti itu. Kataku.
Aku mulai menuliskan kata-kata itu, perlahan tinta hitamku mengisi baris-baris suci, dari satu baris menjadi satu paragraf, lembar dan halaman.
Kau akan berakhir dengan terbujur kaku memegangiku. Kata si buku kampus. Dia seolah mengancamku, seolah memperingatiku. Kau akan terbujur KA-KU. Katanya.
Tak kudengar jeritan si buku kampus itu hingga tadi siang, dia kembali ke tanganku. Kutelusuri bait-bait paragraf yang kutulis kemarin hingga tak tidur. Kosong?
Kemudian kudengar di balik pintu hijau, si pembaca bilang bahwa yang kulakukan sia-sia, dia takkan pernah menilai apa yang telah kukerjakan.
Si buku kampus benar, aku terbujur kaku. Sia-sia?
Lambungku mulai bergerak liar, menyatakan kemurkaannya.
Si buku kampus tertawa puas saat melihat mataku terbelalak menatapnya.
Kosong?
Untuk malam tanpa tidur itu nilaiku adalah kosong?
Untuk pengorbanan membeli buku ketimbang novel, nilaiku adalah kosong?
Kepalaku mendidih. Pandanganku seolah menggelap. Aku hanya ingin merobek si buku kampus! Ingin kumusnahkan semua buku kampus!!!
12 oktober 2010
Buku kampus itu memandangku dengan aneh, aku lagi? tanyanya enggan. Aku tersenyum dan menjawab, ya... kau lagi, kau pasti bosan berurusan denganku, akupun bosan berurusan denganmu.
"Buku kampusnya satu a!" Kataku.
"Dua ribu." Kuserahkan selembar uang dua ribuan dan berjalan menjauhi tukang foto kopi di kampus, menimang-nimang si buku yang terus mengajakku bicara itu.
Masih belum menyerah? Tanyanya.
Tidak akan, takkan sesulit dulu. Jawabku.
Bagaimana jika lebih sulit?
Sudahlah kau diam saja! Kataku. Kumasukan si buku kampus itu untuk menghentikan pembicaraan dengannya.
Ya, dialah si buku kampus, kawan di tengah malamku yang panjang, yang kuajak berdoa sambil menggoreskan keletihan di tiap garisnya. Kuajarkan ia bagaimana cara menjadi buku yang baik, yang enak di baca, yang mudah di lihat dan tak membosankan. Kuajari dia cara menjadi si anak sopan tak punya harga diri, yang harga dirinya baru saja dijual di tukang foto kopi itu seharga dua ribu rupiah.
Aku menghempaskan tasku yang penuh sesak ke atas meja, menghela sejenak dan mulai membuka isi tas itu, kubuka si buku kampus, dia mulai tertawa. Ah kamar ini lagi! Katanya sambil tertawa lepas.
Jari telunjukku menyusuri buku yang kubeli beberapa minggu lalu, persisnya kuingat, saat itu aku harus memutuskan membeli buku kuliah atau novel kesukaanku, harga diriku juga sudah terjual, kujual di hadapan si pembaca yang biasa menawarku murah dengan nilai tujuh puluh dan itu adalah harga terbesar yang diberikan, maka kupilih buku kuliah dan mengucapkan selamat tinggal pada novel-novel.
Aku saja bernilai dua ribu. Seru si buku kampus. Aku menaruh beberapa tumpukan buku yang akan menguntai malam denganku di dekat si buku kampus.
Jadi aku kini menjadi si buku hitam? Tanyanya lagi. Aku tak mengacuhkannya, aku tak ingin mengotori pikiranku yang seputih salju ini oleh pikiran kotor si buku kampus yang butut dan berpengalaman itu. Aku pernah dimiliki oleh seorang mahasiswa serajin kau, ah tidak, bahkan lebih rajin, akhirnya dia terjatuh pingsan dan masuk rumah sakit selama hampir sebulan. Pernah juga aku menjadi saksi bisu seorang mahasiswi yang dilarikan ke UGD karena menemaniku semalaman. Tahun lalu juga aku menjadi teman sakit lambungmu, sakit kepala dan ginjalmu. Lupakah?
Sudahlah. Ini takkan menjadi seperti itu. Kataku.
Aku mulai menuliskan kata-kata itu, perlahan tinta hitamku mengisi baris-baris suci, dari satu baris menjadi satu paragraf, lembar dan halaman.
Kau akan berakhir dengan terbujur kaku memegangiku. Kata si buku kampus. Dia seolah mengancamku, seolah memperingatiku. Kau akan terbujur KA-KU. Katanya.
Tak kudengar jeritan si buku kampus itu hingga tadi siang, dia kembali ke tanganku. Kutelusuri bait-bait paragraf yang kutulis kemarin hingga tak tidur. Kosong?
Kemudian kudengar di balik pintu hijau, si pembaca bilang bahwa yang kulakukan sia-sia, dia takkan pernah menilai apa yang telah kukerjakan.
Si buku kampus benar, aku terbujur kaku. Sia-sia?
Lambungku mulai bergerak liar, menyatakan kemurkaannya.
Si buku kampus tertawa puas saat melihat mataku terbelalak menatapnya.
Kosong?
Untuk malam tanpa tidur itu nilaiku adalah kosong?
Untuk pengorbanan membeli buku ketimbang novel, nilaiku adalah kosong?
Kepalaku mendidih. Pandanganku seolah menggelap. Aku hanya ingin merobek si buku kampus! Ingin kumusnahkan semua buku kampus!!!
12 oktober 2010