rindu


Di tempat KKN. Sebuah tempat yang baru. Yang tak pernah kusambangi sebelumnya. Bahkan memikirkannya pun tidak. Lalu aku berada di sini. Di tempat yang dingin. Membuat hidungku membeku. Dan hipotermia-ku kambuh.
Kopi yang kuseduh malam ini bercerita tentang ingatan-ingatan lamaku. Dan anehnya yang aku ingat adalah kalian.

Aku ingat saat menemani Rani bermain DDR di bulan puasa. Mendengar teriakan-teriakan galaunya sepanjang jalan atau jeritan yang tak sempat dia keluarkan. Mungkin kau tak berharap aku tahu. Dan aku pun tak berharap untuk tahu.
Dan entah mengapa, padahal aku tidak begitu dekat denganmu, Nezar. Tapi aku memberanikan diri mengetik sebuah sms, "Zar, lagi ada waktu gak? Aku mau curhat."
Purwa, aku merindukan saat kita berjalan jauh bersama. Diawali dengan lagu-lagu sumbang kemudian curhatan itu keluar begitu saja. Dan aku ingat terakhir kali aku bercerita padamu adalah saat aku pulang dari pernikahan Teh Siti. Ternyata jarak itu pun tidak begitu jauh untuk menguraikan ceritaku tentang si dia dan dianya.
Rukman, ceria rasanya ketika naik gunung sambil mendengar celotehanmu untuk si "kamu". Aku selalu malu ketika naik gunung murung sedangkan kamu selalu tertawa dan menebar senyum. Berbahagialah, karena kau pantas berbahagia.
Di bibir pantai Parangtritis, cerita tentangmu mengalir. Rasanya meskipun kita tidak menyukai pantai, tapi pantai punya daya magisnya sendiri. Membuka segala macam pintu, termasuk pintu hatimu.

Di tempat KKN. Masih perasaan yang sama. Kerinduan pada sosok kalian. Kerinduan pada sosok Furkon. Senyum ramah. Hangat peluknya dan wangi tubuhnya.
Kopi ini hampir habis tapi aku masih ingin bercerita. Sudah hampir jam 12, cinderella harus segera pulang. Dan ada sepasang kelopak mata yang harus ditutup.

26 Januari 2012

kehilangan




                Lucu rasanya ketika merasa kehilangan. Seperti mati saja. Aku selalu bertanya-tanya, apa dunia terus berlanjut ketika aku mati? Apakah akan ada yang merindukanku? Apakah ada yang akan merasakan bahwa aku hilang dari dunia ini?
                Aku tahu semua jawaban dari pertanyaanku adalah Ya. Dunia akan terus berlanjut meskipun aku sudah mati. Begitu juga hari ini. Sudah tiga puluh hari sejak Dia pergi meninggalkanku. Waktuku di sini terus berjalan. Juga waktunya di sana. Meskipun berbeda detik, menit jam dan hari, waktu terus berjalan.
                Akan ada seseorang yang merindukanku. Karena aku juga merindukan Dia yang pergi meninggalkanku. Biasanya aku selalu bisa melihat wajahnya. Mengganggunya dengan lelucon yang kudapat dari internet atau teman-temanku. Berebut tas atau menyuruhnya membuatkan minuman atau makanan untukku. Ya, semuanya terjadi seolah “biasanya”. Kali ini tidak. Aku tidak bisa lagi leluasa menatap wajahnya. Menatap foto tidak sama dengan menatap wajahnya langsung. Foto tidak berkedip, foto tidak tersenyum balik saat aku menyunggingkan senyum, juga foto tidak menghapus air mataku dengan tawa saat lelehannya sudah menggenang di bola mataku. Lelucon yang biasa kulontarkan kini kunikmati sendiri. Aku tak lagi berebut tas atau memintanya membuatkan makanan dan minuman untukku.
                Juga akan ada yang menyadari bahwa aku hilang. Karena seluruh jalan di Jawa ini terasa sepi. Jalan yang kususuri setiap sore ketika pulang dari kampus membawa ingatanku tentangnya. Saat aku naik vespa dengannya. Tempat-tempat yang pernah kukunjungi dengannya dan tempat yang akan kukunjungi dengannya berputar di kepalaku.
                “Jawa sepi.” Kataku berulang-ulang. Tapi aku tidak bisa bilang, “Ayo cepat pulang!”. Aku menikmati hari-hari ini dengan harapan bahwa waktu berjalan dengan sangat cepat. Nyatanya waktu terasa berjalan semakin lama.
                Dia hanya pergi meninggalkanku sejauh 28 cm di peta Indonesia. Tapi entah mengapa jarak 28 cm di peta terasa sangat jauh?


1 Januari 2012