Aku mendatangi ruangan yang dulu kutinggalkan. Ruangan yang dulunya tempat singgah aku dan kau. Di sofanya, kita sering bertukar cerita dan pendapat tentang berbagai hal. Ruangan itu lebih mirip kost-kostan dari pada sebuah rumah. Ya, kita membangunnya dalam situasi yang begitu akrab bersahabat, aku bahkan tak sadar bahwa kau merencanakan sebuah rumah, bukan sebuah gasibu. Aku masih ingat saat tawaku lepas mendengar deskripsi ruangan ini yang menjadi sebuah rumah. Kau membuatku seperti seseorang yang mabuk, padahal yang mabuk adalah kau.
Suatu ketika. Aku pergi meninggalkan ruangan itu dengan hantaman keras di pintu. Aku berjanji takkan pernah masuk ke dalam lagi. Setiap hari, aku melewati ruangan itu dan ruangan itu selalu sunyi. Tak ada satu suarapun keluar dari ruangan itu. Semua orang mulai bercerita tentang ruangan sunyi yang membuat perasaan terbakar itu.
Aku bertanya-tanya, mengapa ruangan yang sudah lama tak kudatangi itu ternyata masih tetap sama? Masih ada rasa hangat namun begitu canggung. Masih ada sisa marah dan benciku kemarin tapi sekarang lebih cenderung pada kasihan.
Ruang sunyi itu membuatku mengerti bahwa itu bukan rumah. Hanya sebuah ruangan. Yang diisi oleh satu orang yang berambisi tinggi mendirikan gedung bertingkat di atasnya, dan diisi oleh seorang yang terlalu polos untuk mengerti cinta dan pembangunan rumah.
8 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar