Kembali Lagi

Ketika aku menyadari bahwa aku sedang dalam perjalanan "kembali", aku selalu berusaha berkenalan dengan sosok diriku yang baru. Lalu aku akan bilang pada diriku yang baru itu, "kamu mau lari kemana, Lukita? Disinilah tempatmu kembali." Aku sudah sadar sejak awal kalau aku akan selalu kembali pada hal-hal yang kucintai. Mereka itu adalah yang menjadikan diriku adalah aku. Entah aku sudah ganti casing berapa kali, entah aku sudah berapa kali mengubah penyebutan namaku, aku akan selalu nyaman menyebut diriku sendiri sebagai saya.

Aku mencoba melarikan diri sejauh mungkin dari kenyataan pahit kehidupan beberapa tahun ke belakang. Aku mencoba membuat bingkai kehidupan baru yang intinya adalah caraku untuk menghapus kesalahan yang pernah kuperbuat. Aku juga mencoba memaafkan diriku sendiri melalui memaafkan orang-orang di sekelilingku. Memang butuh waktu yang tidak sebentar. Waktunya lama. Tapi bukan berarti tidak bisa. Pada akhirnya aku sadar bahwa, "tidak apa-apa untuk melakukan kesalahan, selama tidak pernah mengeluh dan berbicara kasar." Dan aku melakukan kesalahan saat itu, tapi aku tidak mengeluh. Mengeluh tidak tapi aku mulai berbicara kasar. Mengutuk adalah yang kulakukan setelahnya. Apalagi setelah aku tahu bahwa lalat-lalat itu mengerubungi bangkai kesalahanku. Aku membenci kesalahanku, juga lalat-lalat itu. Padahal, aku sekarang ini berkata pada diriku sendiri, "apa yang kamu harapkan dari lalat?"

Aang benar soal satu hal, masa lalu tidak dapat diubah. Aku sering mendengar kata-kata itu, dan dulu ketika Aang bilang itu, aku justru berpikir bahwa Aang ingin menyimpan masa lalu dan menyuruhku menyimpan masa laluku. Aku benci pada masa laluku. Kenapa aku harus tetap memasukkan masa laluku ke dalam masa depanku? Kenapa aku tidak boleh menghapus bersih seluruh masa laluku? Aku meledak, benar-benar meledak setiap kali Aang membicarakan masa lalu. Aku membenci masa lalu. Aku ketakutan bahwa aku tidak sebaik yang kupikirkan, aku takut bahwa aku mungkin lebih buruk dari yang kupikirkan.

Dan aku jauh lebih membenci masa lalu Aang. Ketakutanku muncul karena aku berpikir mungkin Aang akan lebih menikmati masa lalunya dibandingkan masa depannya bersamaku. Atau mungkin Aang juga akan menjadikanku salah satu masa lalunya. Tapi sebenarnya ketakutan itu tidak hanya kurasakan sendiri, Aangpun berpikir sama. Dalam ketakutan-ketakutan itu, aku berpura-pura kuat dengan pilihan ingin berjalan di jalan sendirian. Tapi itu hanya bagian kecil dari diriku yang bisa menerimanya, sebagian besar tidak. Mau tidak mau, Aang sudah menjadi bagian dariku.

Aang sungguh benar, masa lalu memang tidak akan pernah dapat diubah.

Aku tidak pernah jadi perempuan kuat, setidaknya aku adalah orang yang paling memahami diriku sendiri dan aku merasakan itu. Aku tidak mampu tapi demi harga diri aku akan berusaha semaksimal mungkin. Dulu aku begitu malu untuk menangis, menunjukkan bahwa kau telah menyakitiku sehebat itu, menunjukkan bahwa aku takut kehilanganmu, menunjukkan bahwa aku mencintaimu sebesar itu. Ini, tangisanku ini agar kau paham saja meskipun hanya sedikit. Bahwa dalam waktu satu detik, jika itu hanya aku yang merasakan, kau pernah berada di dalam hatiku.

Kemarin, gurauan yang sama masih datang kepadaku. Saat itu A Restu bilang, "selamat hari pernikahan, aang cintanya." That's hurt a lot. Kau tidak akan pernah tahu monster apa yang sudah kuhadapi demi sampai di titik ini. Monster itu tidak akan pernah bisa lagi, karena aku akan dengan tegas berkata, "kamu mau apa lagi?" Lalu kujawab pada A Restu, "Aang hanya cinta Lukita, tidak ada cintanya cintanya." Itu bukan aku membenci A Restu, atau orang-orang yang menyebutkan lagi masa laluku dan Aang, bukan. Itu hanya karena kita terlanjur masuk dalam permainan ini dan seseorang yang sudah beranjak dewasa harus mengajarkan bahwa hal kekanak-kanakan seperti itu sudah lama berakhir.

Seseorang terluka, melarikan diri karena takut terluka lagi. Sekarang orang itu kembali lagi, menawarkan maaf yang lapang. Kau tidak tahu lautan seluas apa yang telah dijelajahi orang itu. Dan aku berbisik seperti membisikan bibir pantai saat aku berlabuh, "aku kembali lagi...."

serangan bom atom!!!


Cie, puisi galau.

Mana?

Itu, yang tadi malem diposting difacebook tapi dihapus lagi.

Itu puisi omong kosong.


----------------------------------------------------------


Hey, aku telepon kenapa ga diangkat?

Buat apa aku angkat?

Aku kan mau mendengar suaramu.

Gimana rasanya kalo nelepon tapi ga diangkat? Enak ga? Nah itu perasaan aku kemarin pas nelepon kamu.

Curhat ding.


----------------------------------------------------------


Kok yang ngangkat cowok say?

Emangnya kenapa?

Kamu lagi sama siapa?

Siapa aja boleh.

Hiw, kok gitu? Aku cemburu nih.

Enak ga kalo kamu lagi butuh nelepon tapi yang ngangkat justru cowok? Nah itu teh perasaan aku kemarin waktu nelepon kamu dan yang angkat cewek!


----------------------------------------------------------


Hey hey, bales sms dong. Aku minta maaf deh, aku janji kalo kamu nelepon, aku pasti angkat.

Ga perlu say, hape aku sekarang speaker sama microphone-nya rusak, jadi ga ada hubungan lain selain sms. Seneng kan? :)

Loh, hape yang kemarin kemana?

Aku jual.

Kenapa? Tapi masih bisa kirim MMS kan?

Say, buat apa punya hape canggih kalo sms aja susah banget ngebalesnya? Bener ga? Nelepon aja ga pernah mau ngangkat. Sayang, kalo kamu ga ngerti arti kompleks dari LDR, jomblo jauh lebih indah. Muah! Love you.

DAFUQ

----------------------------------------------------------


*kemudian ngelempar hape ke konter


----------------------------------------------------------


One does not simply, sayangkuw.

Saik dah, sengaja nganggurin aku berhari-hari buat ngasih pelajaran, biar tambah greget say?

Mau setaun juga hayo, sayang.

Maap maap, ga gitu lagi.


----------------------------------------------------------

i'm quit

Kemarin malam, tepat sebelum tidur, setelah menarik selimut, sudah mulai merasa hangat dan nyaman, posisi enak, tiba-tiba saya seperti diketuk untuk menulis sebuah puisi, saya males bangun, kemudian saya catat di sms dan berencana baru besok pagi atau lusa untuk ngeposting, tapi ga tau kenapa, puisi itu bener-bener mendorong-dorong tubuh saya untuk keluar dari selimut yang hangat. akhirnya saya bangun, nyalain komputer kemudian OL.

Setelah menunggu lima menit hingga komputer saya bener-bener siap dipake, saya kemudian tak tik tuk mengetik satu persatu kata yang masih saya ingat. saya menuliskan bismillah di awalnya, beberapa helai kata, kemudian diakhiri dengan amin. saya bingung apa yang diawali dengan bismillah dan diakhiri dengan amin? ya, doa, doa itu diawali dan diakhiri dengan itu. kemudian apa judul selanjutnya? judul doa terlalu mainstream. dan karena saya menuliskannya sebelum tidur, maka jadilah DOA SEBELUM TIDUR.

Tidak banyak kata yang saya pakai, hanya kata-kata yang menurut saya perlu dikeluarkan dari otak sebelum saya bisa tidur nyenyak. tidak ada maksud, tidak ada tujuan, tapi mungkin bersebab dan berkarena. hehehe. nah, pagi ini, saya membuat sebuah status fesbuk yang menurut saya itu adalah sebuah protes kecil pada penjaga rumah saya yang ada dalam formasi hewan bernama ANGSA. Angsa di rumah saya itu sudah 15 tahun lebih hidup bersama saya. setiap hari kerjanya adalah merengek, entah itu merengek ketika orang asing masuk ke halaman saya, merengek bertemu ayam tetangga, merengek mengejar itik tetangga, atau sekedar merengek meminta makan. semua rengekannya terdengar sama.

hey Angsa, saya harap kamu bisa menggonggong, dan gonggongan itu jelas, untuk orang asing atau sekedar cari perhatian.... Lima belas tahun bersama, sepertinya kamu memang Angsa, bukan Anjing.

 Di kalimat terakhir, saya benar-benar menegaskan bahwa hewan itu adalah angsa, dan selama ini memang angsa. salah siapa memilih angsa sebagai penjaga rumah? ya, itu salah Ibu saya, Ibu saya menginginkan angsa hidup di halaman belakang rumah agar bisa berteriak, "Wiiiiiiwwwww...." setiap kali si angsa berbunyi. akhirnya, si angsa menjadi hewan manja, sedikit sedikit dia merengek, lagi dan lagi.

Dari puisi doa sebelum tidur, saya mendapatkan pertanyaan pedas, siapa orang yang saya tuju dengan puisi itu? apakah saya single sekarang ini? apakah saya sedang punya masalah? dan pertanyaan-pertanyaan lain mengenai kesehatan saya.

Serius, bukankah puisi itu terbaca seperti tanpa jiwa? karena memang begitulah ketika saya membuatnya. apa sulitnya merangkai huruf demi huruf yang senada kemudian memasukannya ke dalam kata yang bermakna, kemudian mencocokannya dengan kalimat penuh metafora, lalu jeng jeng jeng jeng, jadilah sebuah puisi yang maksudnya dan tujuannya blur bersama kata yang menurutku senada itu.

Saya kemudian menyanyikan lagu GRENADE dari Bruno Mars, benar-benar meresapi lagu itu sambil menjemur satu persatu potong pakaian yang baru saya cuci, dan lagu itu, bagi saya adalah puisi sekali.

Tell the devil I said "Hey" when you get back to where you're from

Katakan pada iblis. aku menyapa mereka, saat kau kembali pada asalmu. jadi jelas kan dari mana si 'kau' itu berasal?

Setelah membuat banyak puisi, saya merasa bahwa tulisan itu memang perlu waktu untuk disimpan, tidak harus selalu langsung dipublikasikan. tapi kalau tidak langsung dipublikasikan, saya pasti lupa. dan ketika saya lupa, maka saya tidak akan ingat.

doa sebelum tidur.





Bismillah...
 
Semoga satu saat kamu akan sadar;
Kamu sudah menyia-nyiakan semuanya,
...termasuk aku.


Semoga suatu saat kamu akan mengerti;
Tidak akan pernah ada perempuan yang bisa setia denganmu,
...selain aku.



Amin.






11 Februari 2013.

perjalanan 12 hari Putri Syalala

 (di aula UNISBA, acara makan-makan setelah pelantikan)

Sekembalinya adikku si Putri Syalala dari pendidikan dasar MAPENTA UNISBA, banyak hal yang berubah dari dalam dirinya. Adikku belajar untuk menangani rasa jijik, rasa takut bahkan lebih banyak berdoa, meski pun doanya ditujukan pada Tuhan biar bisa cepet pulang.

Dua belas hari bukan waktu yang sebentar di gunung. Seratus empat puluh kilometer, kaki dipaksa meniti langkah demi langkah, dari Citatah menuju Subang. Menggapai ujung ujung tebing nan curam setinggi 48 meter hanya bermodalkan sebuah tali. Kemudian naik turun gunung, sembilan gunung.

Aku tidak tahu pasti apa yang benar-benar dialami olehnya, tapi yang jelas, aku pernah merasakan perasaan yang dia rasakan. Bedanya, waktu itu aku berumur 12 tahun, dan adikku sekarang sudah 18 tahun.

Di usiaku yang baru 12 tahun, aku memutuskan ikut organisasi PMR. Nah, PMR adalah satu-satunya organisasi terekstrim di sekolahku dulu. Pendidikan Dasarnya hanya 3 hari 2 malam, mudah kelihatannya, tapi pesertanya adalah anak-anak lulusan SD yang rata-rata belum pernah pergi camping ke gunung yang jauh dari rumah.

Waktu itu aku berjalan sekitar 25 km, tanpa minum, tanpa makan dan tanpa istirahat. Panitia begitu pintar menyita uangku dengan alasan takut nanti basah, lecek dan hilang. Aku benar-benar tersiksa saat itu.
 (acara screening film dokumentasi pendidikan dasar)

Aku terus menerus berdoa, mengharapkan Ibuku cepat menjemputku atau Ayahku lebih keukeuh memaksaku tetap untuk tidak ikut organisasi itu. Tapi sayangnya, sampai di tempat pendidikan dasar pun orangtuaku tak juga muncul. Padahal aku sudah berdoa sambil terus memanggil nama ayah dan ibuku.

Adikku pun melakukan hal yang sama, sepanjang jalan, dia memanggil nama Ibuku dan berharap Ibuku menjemputnya. Tapi sayangnya, sama seperti situasiku, Tuhan berkehendak agar aku ditempa alam menjadi pribadi yang lebih baik. Ya, setidaknya itulah kesimpulan manis namun menyesakkan dada setelah perjalanan itu.

Aku dibiarkan hujan-hujanan tanpa jas hujan, kemudian berenang menyusuri sungai, merangkak di atas lumpur, berguling-guling di semak, lari di atas jalan bebatuan, jalan bebek mengelilingi lapangan, makan dengan satu sendok yang sama dengan beberapa orang, minum dengan satu gelas yang sama, nasi yang sengaja dicampur dengan jeruk dan coklat, tidur hanya beralaskan tanah, baju basah kuyup, menggigil semalaman, diserang oleh sekumpulan kaki seribu yang berusaha menyelinap masuk ke baju. Ah, aku belum pernah merasa tersiksa seperti waktu aku berusia 12 tahun.

Kini, adikku pun merasakan hal yang sama, bahkan mungkin jauh lebih berat. Dia harus melawan rasa takutnya pada ulat, kupu-kupu, ayam, belalang, bahkan akhirnya dia memakan ulat sundari dengan cara disate.

Aku memang hanya bisa tertawa mendengar ceritanya, tapi di dalam hatiku, aku bersyukur akhirnya adikku bisa berubah. Aku mengerti sekarang kenapa salah satu instrukturnya bilang bahwa para peserta pendidikan dasar itu sudah berubah jauh menjadi lebih baik, dan itu terbukti.

"Jangan makan tulang kawan! Ingat harga diri dan itikad baik."

Adalah salah satu motto hidupku juga sekarang. Kalau aku hanya bisa jadi beban dan membebani orang lain, maka pilihan akhirnya hanya dua, kembali lagi atau berusaha untuk mengimbangi langkah bersama yang lain. Tapi aku tidak mengenal kembali lagi, maka aku harus bisa mengimbangi langkah bersama yang lain.

Adikku bercerita bahwa selama perjalanan, maagnya kambuh, kakinya sudah tidak kuat lagi berjalan, namun dia tetap memaksakan, agar tetap tidak makan tulang teman. Kemudian setelah lama berjalan, adikku yang sedang sakit itu justru bisa menarik temannya yang lain dan berada di posisi depan. Teman-temannya pun kemudian mengulas kisah selama latihan sebelum pendidikan dasar, adikku selalu menjadi yang paling boyot, dan terbukti dengan di awal perjalanan, adikku kelihatan bersusah payah untuk tetap berjalan bersama, tapi setelah lama berjalan, akhirnya adikku bisa jalan lebih dulu dari semua.

Aku menyebutnya, kekuatan konstan. Seringkali orang berjalan bersemangat di awal perjalanan, menghabiskan tenaganya di awal kemudian merangkak di akhir. Aku memang tidak memiliki semangat itu, aku dan adikku hanya punya kekuatan segitu-gitunya. Dan aku penganut, selangkah demi selangkah, lama-lama sampai.

Aku dengan sengaja mengajak adik-adikku ke gunung, alasannya simpel, adik-adikku tidak pernah merasakan pendidikan dasar seperti yang dulu kurasakan. Dan mereka perlu merasakannya, agar 'tempa'-an yang mereka rasakan nanti tidak terasa begitu berat.
 (di ruang peserta, sedang ngobatin kaki yang pada lecet)

Inginnya, aku bisa memoles mereka, memberikan perkuliahan hidup, meski pun usiaku tidak terpaut jauh dari mereka. Tapi aku tidak bisa tega membiarkan adikku kehujanan, membawa tas berat, penuh lumpur atau kelaparan. Jadi sepertinya proses kuliah itu akan sangat lama.

Aku bersyukur adikku dengan sadarnya memilih organisasi MAPENTA, organisasi yang insyaAllah dapat membawa pengaruh yang baik untuknya. Dan juga aku bisa meminjam nama dan syalnya kalau-kalau aku pergi backpacker ke daerah orang, hehehe.

Setelah melalui banyak perjalanan, aku memang banyak berubah, dari yang dulu jijik-an, tidak mau satu gelas bahkan dengan adik sendiri, sekarang aku bisa berbagi satu gelas kopi bersama orang-orang yang bahkan malas untuk sikat gigi berhari-hari. Kemudian perubahan-perubahan lain yang jika kusebutkan satu persatu maka aku akan diklaim sebagai manusia riya, suka pamer, mendeskripsikan hanya untuk pencitraan atau disebut tidak tulus.

Adikku bercerita bahwa selama pendidikan dasar, teman-temannya banyak yang bertengkar, saling adu mulut, mendorong bahkan sampai hampir berkelahi, untungnya adikku tidak ada di dalam salah satu pertikaian itu. Aku pun teringat perjalananku ke puncak tertinggi pulau Jawa tahun lalu, di perjalanan menuju puncak, mereka bertengkar masalah air. Dan aku hanya bisa memandangi mereka yang adu mulut, yang satu berusaha tetap menjaga agar air awet, yang lainnya berusaha untuk mendapatkan air lebih banyak. Sifat-sifat kebinatangan, kata instruktur adikku, keluar dalam keadaan terancam dan terdesak.

Kata-kata instruktur adikku itu banyak menginspirasiku. Dulu aku berpikir bahwa semua orang berhak dan mampu untuk naik gunung, semua orang berhak ada di puncak tertinggi pulau Jawa dan semua orang pun bahkan berhak ada di puncak tertinggi di Indonesia pun dunia.

Tapi, ternyata tidak semua orang berhak ada di sana. Esensi naik gunung bukan sekedar mencapai puncak, mengukir nama atau mengibarkan panji kebanggaan di puncaknya, tapi esensi naik gunung itu mungkin bagaimana kamu mengalahkan ego diri sendiri. Akankah kamu perhatian pada teman yang tidak kuat sampai puncak? Akankah kamu meninggalkan teman? Akankah kamu memaafkan kesalahan diri kamu sendiri?

Aku pun mungkin belum berhak ada di puncak tertinggi pulau Jawa. Tapi insyaAllah, perjalanan selanjutnya, aku tidak akan pernah makan tulang kawan, akan selalu ingat harga diri dan itikad baik. Meski pun yang pergi selama 12 hari itu adalah adikku, tapi adikku membawa pelajaran berharga ke dalam rumah dan disebarkan untukku. Semoga aku pun, dengan tulisan ini, bisa mengilhami.

Jangan pernah memaksa hati kawan untuk meneruskan perjalanan, gunung tidak memberikan tempat pada yang lemah hati. Sekalian, kutambahkan, JANGAN MAKAN HATI KAWAN!

Jangan membunuh keinginan kawan. Jangan jadi beban kawan. Jangan membebani kawan.

Semoga orang-orang baik, alam, malaikat dan Tuhan selalu melindungimu, Putri Syalala, sama seperti mereka semua mengelilingiku dalam setiap langkah.



KENAPA KAMU BISA BAHAGIA DENGAN CARA MAKAN DAGING TEMEN KAMU SENDIRI?

bangsaaaaattttt!!! lain na kamu teh babaturan? lain na sehidup semati deuk babaturan? lain na kalian pernah bersatu padu jadi sahabat baik, naha kieu?

NGERAKEUN.

anjing saya ge tau rasa terimakasih, moal ngegel suku urang meski pun lapar, ai sia naon? BANGKE?

Anda tidak pantas memanusiakan diri lagi,    


malaikat kesayangan


Anak gunung sakitnya kaya gimana sih?

Sakitnya? Kayak bawa ransel gede isi sarden semua.

Wah enak dong.

Enak? Enek.

Cepet sembuh ya, mau dijengukin ga?

Kalo bilang mau juga nantinya aku yang repot

Repot kenapa?

Mesti jadi GPS yang ngasih tau koordinat rumah aku secara jelas, udah sakit, disuruh mikir. Ga sekalian dijurungin ke jurang?

Mau, tapi ke jurang hatimu, boleh?

Aduh

Kenapa?

Makin sakit deh, udah ngegendong ransel isi penuh sarden, mesti digelayutin sama kamu juga, sial deh sakitnya,

Gitu amat sih non.

Emang begitu, Bang.

Udah yah, aku ada rapat dulu

Rapat sama abege?

Abege mulu

Apa dong?

Kamu gitu

Apaan?

Cepet sembuh, nanti naik gunung lagi.

Iya, kalo hujannya udah reda.

Emang masih hujan?

Iya, nih di dalem hati makin deres

Gombal deh, cantik-cantik tukang gombal

Kamu juga, udah jelek, tukang gombal,

Nyesekk

Sama, aku juga nyesek

Aku bilangnya cantik kan?

Aku bilangnya, sana cepet rapat sama abege.

Huh

Hah

Muah

*user tertidur*

Alasan banget

*not responding*

Dadah

*Lukita's offline*

Banyak istirahat. Aku kirim malaikat kesayanganku untuk jagain kamu.

Mana?

Muah

Huah

:)

ngidam


setiap kali aku nyari bibit, biasanya aku pergi sama Ibu dan salah satu pekerja di rumah yang namanya Dani. nah, si Dani ini ga tau umurnya berapa, cuma Ibu aku nyuruh untuk manggil "A Dani". aku kalo lagi eling ya manggil A Dani, kalo engga ya manggil Dani aja. soalnya orang itu kalo diajak ngomong cengengesan mulu, dan aku ga heran kenapa dia ga cocok sama ayah aku. :p

nah, setelah beberapa minggu lalu nyari bibit, hari ini ceritanya nyari bibit lagi. aku, seperti biasa lebih cepet istirahat terus aku duduk, twitteran, fesbukan, ngaplod-ngaplod foto di instagram sambil check out di foursquare. pas aku lagi asyik main hape, dia nanyain minum, terus aku tunjuk air minum di botol kemudian dia minum. setelah itu, dia bilang gini,

"Kabita permen laaahhh...."

kemudian aku geserin sekeresek permen yang ada di sebelah aku dan dia ngambil dua bungkus permen terus lanjut nyari bibit. kalo aku udah kenal lama sama dia, mungkin aku udah ngetawain kelakuan dia. serius, aku baru nemu sama pekerja yang berani "kabita", hahahaha.

aku nyeritain kejadian tadi ke ibu aku dan ibu aku ngakak. Ibu aku cerita kalo istrinya si Dani ini lagi hamil 7 bulan. kebetulan istrinya Dani ini adalah Mbak Ratih, Mbak Ratih dulunya adalah perempuan yang ngebantuin ngepel sama nyuci piring waktu rumah aku masih di perumahan, Mbak Ratih juga disekolahin sama ayah ibu aku sampe lulus SMA kemudian dikursusin, setelah itu Mbak Ratih ini bilang kalo dia mau kerja di pabrik. aku sendiri ga inget sama Mbak Ratih ini, soalnya dia udah ga kerja lagi sama orangtua aku pas aku umur 2 tahun.

sambil masih ngakak, Ibu aku bilang kalo aku mesti baik sama si Dani ini, Ibu aku ngasih tau kalo si Dani yang berani minta permen itu mungkin bawaan ngidam istrinya. dan kalo kepercayaan orang tua, yang ngidam itu mesti dikabulin keinginannya biar anaknya ga ngeces kalo udah gedenya. ga ngerti deh kenapa ngidam bisa sampe bikin anak ngeces.

setelah itu, Ibu aku nawarin Dani permen lagi, tapi dianya nolak. tapi pas di mobil, di perjalanan pulang, bungkusan permen yang kebetulan ada di sebelah si Dani ini kedengeran terus menerus dibuka. dan aku makin ngakak dalam hati.

"Ngidam apa doyan?"

:p

kirim-kirim

ternyata, kirim-kirim itu lebih enak dari pada COD, kenapa?
secara ga perlu ketemu langsung sama pembeli yang ga tau siapa dan anak mana, ga tau juga kalo dia baik atau jahat,
dan aku pribadi sih rada kapok,,
soalnya pas ketemu sama orangnya, gilaaaakkkk.... serem banget!
dan aku berasa siswa yang mau diculik sama om-om.... :(

"Bisa ketemu ga?"
"Sorry, kalo mau ketemu, di cileunyi aja, selain dari itu, mendingan kirim-kirim aja deh."

akhirnya begitulah keputusan akhirnya, selain cileunyi, aku ga terima COD.
:p

siang.



Siang-siang makan es krim enak banget yaaa... yum yum yummy

Ga enak ah,

Kok ga enak?

Ga ngajak, makan sendiri, apa enaknya?

Cie yang selalu pengen diajak.

Huft

Lagi sibuk kah?

Iya

Jangan dong

Kenapa?

Aku udah siapin gombalan buat kamu hari ini.

Aku ga terima gombalan.

Terus nerimanya apa?

Apa ya?

Aku?

Apa?

Nerima aku ga?

Aku nerima es krimnya aja deh.

Yah, ga jadi deh kalo gitu.

Kok gitu?

Habisnya mau digombalin aja mesti disogok es krim.

Gitu aja udah nyerah.

Suka es krim apa?

Apa ya?

Oke, nanti aku beliin. Udah yah, aku mau sok sibuk, mau tebar pesona sama abege sama mau cari makan sama ibu-ibu di dapur umum.

Heh....

Kenapa?

Jangan banyak tanya, aku sibuk. Gangguin mulu orang yang lagi kerja.

Yeee.... malah ganti sok sibuk. Dadaaahhh.

Yooooomaaannnnn :)

:)

:p

:p

:D

:D
Ga beres nih sms, aku janji kalo ketemu nanti aku beliin es krim, tapi jangan banyak-banyak yah, nanti sakit perut.

Iya, gih, jangan ganggu mulu.

Aku gangguin abege dulu.

Bukti dong, bukti. Jangan cuma ngomong doang.

Bohong sih, dadaaah.

Yo...

Apa?

Hati-hati.

Pasti, kamu juga. Selamat siang Lukita.

Siang.